DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Sabtu, 20 November 2010

KUNCI SYURGA BERGERIGI

Ibarat sebuah pintu, surga menbutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu ? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

Tetapi anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga. “
(HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shohih).

Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illalloh, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka ? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh, tetapi mereka masih meminta-minta (berdo’a dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya ? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga ? Tidak mungkin !

Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illalloh itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.

Al-Iman Al-Bukhori meriwayatkan dalam Shohih-nya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Wahab bin Munabbih (seorang Tabi’in terpercaya dari Shon’a yang hidup pada tahun 34-110 H) : “Bukankah Laa ilaaha illalloh itu kunci surga ? “Wahab menjawab : “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan di bukakan untukmu !”.

Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illalloh itu ? Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illalloh itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illalloh ! Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qoshim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illalloh itu ada delapan, yaitu : 

Pertama : Al-‘Ilmu (mengetahui), maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illalloh secara benar. Adapun artinya adalah : “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): 
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” 
(HR. Muslim). 
Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.

Kedua : Al-Yaqiinu (meyakini), maksudnya adalah anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illalloh tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syhadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.
(HR. Muslim).

Ketiga : Al-Qobulu (manerima), maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illalloh dengan senang hati, lisan dan perbuatan, tanpa menolak sedikitpun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an (yang artinya): 
“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka : (ucapkanlah) Laa ilaaha illalloh, mereka menyombongkan diri seraya berkata : Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini ? “
(QS. As-Shoffat : 35-36).

Keempat : Al-Inqiyaadu (tunduk atau patuh), maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illalloh dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): 
“Kembalilah ke jalan Tuhanmua, dan tunduklah kepada-Nya. “
(QS. Az-Zumar : 54). 
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya): 
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul (ikatan) tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh). “(QS. Luqman : 22). 
Makna “menyerahkan dirinya kepada Allah” yaitu tunduk, patuh dan pasrah kepada-Nya (ed.).

Kelima : Ash-Shidqu (jujur atau benar), maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illalloh, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa di sertai kebohongan sedikitpun. Nabi Sholallahu ‘alahi wa sallam bersabda (yang artinya) : 
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya. “
(HR. Imam Bukhori dan Muslim).

Keenam : Al-Ikhlas (ikhlas atau murni), maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya. Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illalloh semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla. “(HR. Imam Bukhori dan Muslim).

Ketujuh : Al-Mahabbah (mencintai), maksudnya anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang di cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya). “
(QS. Al-Baqarah : 165). Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan Ahlus Syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illalloh.(ed,).

Kedelapan : Al-Kufru bimaa siwaahu (mengingkari sesembahan yang lainnya), maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah-sembah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan (yang artinya): “Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh), yang tidak akan putus….”(QS. Al-Baqoroh : 256).

Saudaraku kaum muslimin dari sini dapatlah anda ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah ! Wallahu a’lamu bish showwab !.

Jawaban : Siapa Yang Menciptakan Allah?



Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

“Artinya : Sesungguhnya salah seorang kamu akan didatangi syetan, lalu bertanya : “Siapakah yang menciptakan kamu?” Lalu dia mejawab : “Allah”. Syetan berkata : “Kemudian siapa yang menciptakan Allah?”. Jika salah seorang kamu menemukan demikian, maka hendaklah dia membaca “amantu billahi wa rasulih” (aku beriman kepada Allah dan RasulNya), maka (godaan) yang demikian itu akan segera hilang darinya”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (6/258): “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ismail dia berkata : “Telah bercerita kepadaku Adh-Dhahak, dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah, bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (kemudian dia menyebutkan hadits itu).
Saya menilai : Hadits ini sanadnya hasan, sesuai dengan syarat Muslim. Semua perawi hadits ini adalah para perawi Muslim yang beliau jadikan pegangan dalam Shahih-nya. Tetapi Adh-Dhahak adalah Ibnu Utsman Al-Asadi Al-Huzami, dimana sebagian imam masih memperbincangkan mengenai hafalannya. Namun insya Allah hal itu tidak menurunkan haditsnya dari tingkat hasan. Bahkan Sufyan Ats-Tsauri dan Laits bin Salim, menurut Ibnus Sunni (201) sungguh telah mengikuti periwayatannya. Jadi hadits ini dapat dinilai shahih. Sementara itu Al-Mundziri dalam At-Targhib (2/266) menjelaskan.
“Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang bagus, kemudian Abu Ya’la dan Al-Bazzar. Lalu Ath-Thabrani juga meriwayatkannya dalam Al-Kabir dan Al-Usath dari hadits Abdullah bin Amer. Bahkan Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari hadits Khuzaimah bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu”
Jadi adanya beberapa syahid (hadits pendukung) ini dengan sendirinya menaikkan tingkat hadits tersebut kepada derajat yang sangat shahih.
Hadits Ibnu Khuzaimah menurut Imam Ahmad (5/214) para perawinya adalah tsiqah, kecuali jika di antara mereka ada Ibnu Luhai’ah, sebab ia buruk hafalannya.
Mengenai hadits Ibnu Amer ini, Al-Haitsami (341) berkomentar : Para perawinya adalah perawi-perawi shahih, kecuali Ahmad bin Nafi’ Ath-Thihan, guru Ath-Thabrani”.
Demikian dia menandaskan namun tidak menyebutkan sedikitpun mengenai keadaan Ahmad bin Nafi Ath-Thihan tersebut, begitu tidak simpatiknya Al-Haitsami kepadanya. Demikian pula saya, sama sekali tidak mengenalnya kecuali bahwa dia orang Mesir, sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Ath-Thabrani Ash-Shaghir (hal. 10)
Kemudian sesungguhnya hadits itu juga diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah yang didapat dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’ sebagaimana adanya (tidak ada perubahan apapun).
Hadits ini dikeluarkan pula oleh Imam Muslim (1/84) dan Ahmad (2/331) dari berbagai jalan dari Hisyam, tanpa kalimat, “sesungguhnya godaan itu akan hilang daripadanya”.
Selanjutnya hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Dawud (4121) yang kalimatnya sampai pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saya iman kepada Allah”. Dan ini merupakan riwayat Muslim.
“Artinya : Syetan akan datang pada salah seorang kamu, lalu berkata : “Siapakah yang menciptakan demikian ? Siapakah yang menciptakan demikian? Siapakah yang menciptakan demikian?” Sehingga dia bertanya : “Siapakah yang menciptakan Tuhanmu?” Apabila ia sampai demikian, maka hendaknya memohon perlindungan kepada Allah dan menghentikannya”
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari (2/321), Imam Muslim dan Ibnu Sunni.
Hadits ini juga mempunyai jalur lain yang besumber dari Abu Hurairah dengan lafazh.
“Artinya : Hampir orang-orang saling bertanya di antara mereka sehingga seorang di antara mereka berkata : “Ini Allah, menciptakan makhluk, lalu siapakah yang menciptakan demikian, maka katakanlah : “Allah Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. Kemudian hendaklah salah seorang kamu mengusir (isyarat meludah) ke kiri tiga kali dan memohon perlindungan dari syetan.
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (4732) dan Ibnu Sunni (621) dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata : “Telah bercerita kepadaku Utbah bin Muslim, seorang budak yang dimerdekakan Bani Tamim, dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah yang menuturkan : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kemudian ia menuturkan hadits itu)”.
Saya menilai : Hadits ini shahih sanadnya. Para perawinya tsiqah. Bahkan Ibnu Ishaq juga menjelaskan berita itu. Hingga dengan demikian amanlah hadits ini dari cela.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Umar bin Abi Salamah yang mendengar dari bapaknya, sampai perkataan : “Siapakah yang menciptakan Allah Azza wa Jalla?” Umar bin Salamah melanjutkan : “Abu Hurairah menceritakan : “Demi Allah, sesungguhnya, pada suatu hari aku duduk, tiba-tiba seseorang dari penduduk Iraq berkata kepadaku “ Ini Allah, pencipta kita. Lalu siapakah yang menciptakan Allah Azza wa Jalla?” Abu Hurairah melanjutkan ceritanya : “Kemudian aku tutupkan jariku pada telingaku lalu aku menjerit seraya berkata : “Maha benar Allah dan RasulNya”.
“Artinya : Allah Esa, tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/387). Para perawinya tsiqah kecuali Umar. Ia adalah lemah (dha’if).
Menurut Imam Ahmad (Juz II, hal. 539) hadits ini juga mempunyai jalur lain dari Ja’far dia memberitakan : “Telah bercerita kepadaku Yazid bin Al-Asham, dari Abu Hurairah secara marfu’, seperti hadits sebelumnya. Yazid mengisahkan : “Telah bercerita kepadaku Najmah bin Shabigh As-Salami, bahwa dia melihat para penunggang datang kepada Abu Hurairah. Kemudian mereka bertanya kepadanya mengenai hal itu. Lalu Abu Hurairah berkata : “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar). Tidaklah kekasihku bercerita kepadaku tentang sesuatu melainkan aku telah melihatnya dan aku menunggunya. “Ja’far berkata : “Telah sampai kepadaku bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Manakala orang-orang bertanya kepadamu tentang hal ini, maka katakanlah : “Allah adalah sebelum tiap-tiap sesuatu. Allah menciptakan tiap-tiap sesuatu dan Allah ada setelah tiap-tiap sesuatu”
Sanad marfu’nya adalah shahih adapun yang disampaikan oleh Ja’far alias Ibnu Burqan adalah mu’dhal (hadits yang perawi-perawinya banyak yang gugur), dan apa yang ada di antara shahih dan mu’dhal adalah mauquf. Tetapi Najmah disini tidak saya kenal. Demikian pula dalam Al-Musnad, Najmah ditulis dengan “mim” (Majmah) sedangkan dalam Al-Jarh wat Ta’dil (4/1/509), tertulis Najbah dengan “ba”. Selanjutnya Imam Ahmad menjelaskan.
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dimana Yazid Ibnul Asham juga meriwayatkan darinya, dan mengatakan : “Saya mendengar bapakku berkata demikian dan tidak menambahkan!” Juga Al-Hafidzh dalam At-Ta’jil, tidak menambahkannya dan itu sesuai dengan syarat yang dibuatnya.
HUKUM-HUKUM YANG TERKANDUNG DALAM HADITS
Hadits-hadits shahih ini menunjukkan bahwa sesungguhnya bagi orang yang digoda oleh syetan dengan bisikannya, “Siapakah yang menciptakan Allah?”, dia harus menghindari perdebatan dalam menjawabnya, dengan mengatakan apa yang telah ada dalam hadits-hadits tersebut.
Lebih amannya ialah dia mengatakan :
“Saya beriman kepada Allah dan RasulNya. Allah Esa, Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. Kemudian hendaklah dia berisyarat meludah ke kiri tiga kali dan memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syetan, serta menepis keragu-raguan itu”.
Saya berpendapat : Orang yang melakukan demikian semata-mata karena taat kepada Allah dan RasulNya serta ikhlas. Maka keraguan dan godaan itu akan hilang darinya dan menauhlah setannya, mengingat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya godaan itu akan hilang darinya”.
Pelajaran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini jelas lebih bermanfaat dan lebih dapat mengusir keraguan daripada terlibat dalam perdebatan logika yang sengit diseputar persoalan ini. Sesungguhnya perdebatan dalam soal ini amatlah sedikit gunanya atau boleh jadi tidak ada gunanya sama sekali. Tetapi sayang, kebanyakan orang tidak menghiraukan pelajaran yang amat bagus ini. Oleh karena itu ingatlah wahai kaum muslimin dan kenalilah sunnah Nabimu serta amalkanlah. Sesungguhnya dalam sunnah itu terdapat obat dan kemulianmu.

Perbedaan Adalah Rahmat?


Pertanyaan: Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa perbedaan adalah rahmat?

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu menjawab:
Perbedaan (ikhtilaf) ada tiga macam:
1. Ikhtilaf al-afham (perbedaan pemahaman)
Para shababat pernah mengalami perbedaan yang seperti ini. Bahkan ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu tetap makan (sahur) hingga jelas baginya perbedaan antara benang yang putih dengan benang yang hitam. Dia menaruh di bawah bantalnya, benang putih dan benang hitam, dan tetap makan (sahur), berdasarkan apa yang dia pahami dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam." (Al-Baqarah: 187)
Sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat:
مِنَ الْفَجْرِ
"Yaitu fajar." (Al-Baqarah: 187)
Ikhtilaful afham insya Allah tidak mengapa. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ وِسَادَكَ لَعَرِيضٌ
"Sesungguhnya bantalmu lebar."
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan kepadanya: "Ulangilah (puasamu) pada hari-hari yang engkau makan (sahur setelah lewatnya fajar)."
2. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan/ keanekaragaman tata cara)
Yakni, diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada beberapa macam cara/ bacaan tasyahud dalam shalat, juga ada beberapa macam bacaan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikhtilaf jenis ini, kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil (bodoh). Dan keadaannya memang seperti yang beliau rahimahullahu katakan, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil.
3. Ikhtilaf tadhad (perbedaan kontradiktif)
Apa itu ikhtilaf tadhad? Yaitu seseorang menyelisihi suatu dalil yang jelas, tanpa alasan. Inilah yang diingkari oleh para salaf, yaitu menyelisihi dalil yang shahih dan jelas tanpa alasan.
Adapun hadits yang menjadi sandaran mereka yaitu:
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
"Perbedaan umatku adalah rahmat."
Ini adalah hadits yang tidak ada sanad dan matannya. Munqathi’ (terputus sanadnya) kata As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Beliau rahimahullahu juga berkata: "Mungkin saja ada sanadnya, yang tidak kita ketahui."
Namun hal ini akan berakibat tersia-siakannya sebagian syariat, sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu.
Adapun tentang matan hadits ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ. إِلاَّ مَنْ رَّحِمَ رَبُّكَ
"Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang yang dirahmati Rabbmu." (Hud: 118-119)
Mafhum dari ayat yang mulia ini, bahwa orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah berselisih. Sedangkan orang-orang yang tidak dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berselisih.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
"Biarkanlah aku dan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Hanyalah yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian adalah banyaknya mereka bertanya, dan banyaknya penyelisihan terhadap nabi-nabi mereka."
Ini merupakan dalil bahwa ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) adalah kebinasaan, bukan rahmat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, di mana Ibnu Mas’ud dan salah seorang temannya berselisih tentang qira`ah (bacaan Al-Qur`an):
لَا تَخْتَلِفُوا كَمَا اخْتَلَفَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَهْلِكُوا كَمَا هَلَكُوا
"Janganlah kalian berselisih sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah berselisih, sehingga kalian binasa sebagaimana mereka telah binasa."
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Shahih Muslim dari hadits An-Nu’man bin Basyir c:
اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
"Luruskan (shaf kalian), dan janganlah berselisih, sehingga hati-hati kalian akan berselisih."
Dalam sebuah riwayat:
لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ وُجُوهُكُمْ
"Janganlah kalian berselisih, sehingga akan berselisihlah wajah-wajah kalian."
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abu Dawud, dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para shahabatnya berpencar. Mereka singgah di sebuah lembah, lalu setiap kelompok pergi ke tempat masing-masing. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ تَفَرُّقَكُمْ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ
"Sesungguhnya bercerai-berainya kalian ini adalah dari setan."
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk berkumpul. Bila hal ini (terjadi) dalam tercerai-berainya fisik, maka apa sangkaanmu terhadap tercerai-berainya hati? Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali. Saya telah mengumpulkan sebagiannya dalam tulisan pendek yang berjudul Nashihati li Ahlus Sunnah dan telah tercantum dalam Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna.
Yang saya inginkan dari penjelasan ini, bahwa ikhtilaf termasuk kebinasaan. Hanya saja ikhtilaf yang mana? Yaitu ikhtilaf tadhad yang dahulu diingkari oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Ikhtilaf tadhad (misalnya):
- Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Salamah ibnul Akwa’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang makan dengan tangan kirinya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Makanlah dengan tangan kanan." Orang itu menjawab: "Aku tidak bisa." Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi: "Engkau tidak akan bisa." Maka orang itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. Tidak ada yang menghalanginya kecuali kesombongan.
- Dalam Ash-Shahih dari hadits Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menjenguk seorang lelaki tua yang sedang sakit. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Thahur (Sakit ini sebagai penyuci)." Namun lelaki tua itu justru berkata: "Demam yang hebat, menimpa seorang lelaki tua, yang akan mengantarnya ke kubur." Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: "Kalau begitu, benar."
Akhirnya dia terhalangi dari barakah doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Juga kisah seorang laki-laki yang telah kita sebutkan. Yaitu ketika ada dua orang wanita berkelahi, lalu salah seorang memukul perut yang lain, sehingga gugurlah janinnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan agar wanita yang memukul membayar diyat berupa seorang budak. Maka datanglah Haml bin Malik An-Nabighah dan berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana kami membayar diyat (atas kematian seseorang) yang tidak makan dan tidak minum, tidak bicara tidak pula menangis –atau kalimat yang semakna dengan ini–, yang seperti ini tidak dituntut diyatnya." Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah, karena lelaki itu hendak membatalkan hukum Allah dengan sajaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ
"Orang ini termasuk teman-teman para dukun."
Yaitu karena sajaknya.
Adapun pengingkaran para ulama terhadap orang yang menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya, merupakan perkara yang kesempatan ini tidaklah cukup untuk menyebutkannya. Saya telah menyebutkan sebagiannya dalam akhir risalah Syar’iyyatu Ash-Shalati bin Ni’al, juga dalam Rudud Ahlil ‘Ilmi ‘ala Ath-Tha’inin fi Hadits As-Sihr.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sifat Mukmin ketika diseru kepada Alloh Ta'ala

oleh Abu Abdirrohman Anang 



Bismillahirrohmanirrohim

Sesungguhnya  mukmin adalah orang-orang yang diseru untuk berhukum dengan syariat islamiyyah, Alloh subhanahu berkata :

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

"hanyasannya adalah perkataan orang-orang yang beriman apabila mereka diseru kepada Alloh dan rosulNya agar rosul menghukumi diantara mereka bahwa mereka mengatakan kami mendengar dan kami taat "(QS. An Nur : 51).

Kemudian Alloh menjelaskan buah dari ketundukan ini yaitu berhukum dengan syariatNya dan akibat dari berhukum dengan syari'atNya, Alloh subhanahu berkata :

وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

" dan merekalah orang-orang yang beruntung"(QS. An Nur : 51)

Maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan keberuntungan di dunia dan di akhirat, dan ini tidak termasuk orang-orang yang sekedar menasabkan dirinya kepada islam akan tetapi tidak berhukum dengan syariat islam.

Adalah akibat dan adzab dari berhukum kepada selain dari apa-apa yang Alloh Ta'ala telah turunkan, sebagaimana Alloh Ta'ala  katakan :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

"Dan tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminah apabila Alloh dan RosulNya telah menetapkan suatu perkara ada bagi mereka pilihan yang lain dari urusan mereka, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Alloh dan RosulNya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata"(QS. Al Ahzab : 36)

Alloh Ta'ala telah menjelaskan dalam ayat ini- melazimkan setiap mukmin dengan kelaziman yang tidak ada keraguan dan tidak ada pilihan yaitu mengerjakan apa-apa yang telah Alloh syariatkan baik berupa perintah atau larangan dan sesungguhnya orang yang menyelisihi demikian itu maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang sangat nyata.

Dan barangsiapa yang telah sesat dari jalan Alloh Ta'ala maka dia orang yang rugi di dunia dan di akhirat, Alloh subhanahu berkata :

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

" maka hendaknya takut orang-orang yang menyelisihi perintah Nabi akan ditimpakan pada mereka fitnah atau ditimpakan pada mereka adzab yang sangat pedih"(QS. An Nur : 63)

maksudnya orang-orang yang menyelisihi perintah Nabi sholallohu 'alaihi was salam dengan meninggalkan beramal dengan tuntutan amal tersebut.

 ( أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ  ) yakni fitnah dunia,

Telah berkata Imam Syaukany rohimahulloh ta'ala : " dan fitnah disini tidak tebatas dengan salah satu bentuk dari bentuk-bentuk fitnah, ada yang mengatakan :

  • Pembunuhan dan ada yang mengatakan,
  • Gempa dan ada yang mengatakan,
  • Kedzoliman penguasa dan ada yang mengatakan,
  • Kerasnya hati-hati mereka.

( أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ  ) yakni di akhirat,

Al Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata : " dan hendaknya kuatir orang yang telah menyelisihi syariat rosul shollallohu 'alaihi was salam baik batin ataupun dhohir yaitu pada hati-hati mereka berupa kekufuran atau kemunafikan atau kebid'ahan.

wallohu a'lam bish showab

Celakalah bagi hati yang keras

oleh Abu Abdirrohman Anang 

Bismillahirrohmanirrohim

Alloh subhanahu wa ta’ala berkata :

فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَـٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Maka celakalah bagi mereka yang keras hatinya dari mengingat Alloh, mereka itulah berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS.Az-Zumar: 22).

Tidaklah Alloh 'azza wa jalla memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya hati dan jauhnya dari Alloh subhanahu wa ta’ala,

Adalah neraka diciptakan untuk melunakkan hati yang keras. Hati yang sangat jauh dari Alloh Ta'ala adalah hati yang keras, dan apabila hati sudah keras mata pun terasa gersang.

Hati yang keras ditimbulkan oleh empat perkaral yang dilakukan melebihi kebutuhan :

pertama, banyak makan

kedua, banyak tidur.

ketiga, banyak bicara (tidak bermanfaat).

keempat, pergaulan (salah memilih teman).

Sebagaimana jasmani jika dalam keadaan sakit tidak akan bermanfaat baginya makanan dan minuman, demikian pula hati jika terjangkiti penyakit-penyakit hawa nafsu dan keinginan-keinginan jiwa, maka tidak akan bermanfa'at kepadanya nasehat.

Barangsiapa hendak mensucikan hatinya maka hendaknya ia harus mengutamakan Alloh Ta'ala dibanding keinginan dan nafsu jiwanya.

Karena hati yang tergantung dengan hawa nafsu akan tertutup dari Alloh subhanahu wa ta’ala.

Banyak orang menyibukkan hatinya dengan kesibukan dunia. Seandainya mereka menyibukkan diri dengan mengingat Alloh subhanahu wa ta’ala dan kampungi akhirat tentu hatinya akan berkelana mengarungi makna-makna Kalamulloh dan ayat-ayatNya, dan ia pun akan menuai hikmah-hikmah yang langka dan faedah-faedah yang indah.

Apabila hati diberi makan dengan berdzikir dan disirami dengan berfikir serta dibersihkan dari kerusakan, ia pasti akan melihat keajaiban dan diilhami hikmah.

Tidak setiap orang yang berhias dengan ilmu dan hikmah serta memeganginya akan masuk dalam golongannya. Kecuali jika mereka menghidupkan hati dan mematikan hawa nafsunya.

Adapun mereka yang membunuh hatinya dengan menghidupkan hawa nafsunya, maka tidak akan muncul hikmah dari lisannya.

Rapuhnya hati adalah karena lalai dan merasa aman, sedang makmurnya hati karena takut kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dan dzikir. Maka jika sebuah hati merasa zuhud dari hidangan-hidangan dunia, dia akan duduk menghadap hidangan-hidangan akhirat. Sebaliknya jika ia ridho dengan hidangan-hidangan dunia,akan terlewatkan darinya hidangan akhirat.

Kerinduan bertemu Alloh subhanahu wa ta’ala adalah angin yang berhembus menerpa hati, membuatnya sejuk dengan menjauhi gemerlapnya dunia. Siapapun yang menempatkan hatinya disisi Robbnya, ia akan merasa tenang dan tentram. Dan siapapun yang melepaskan hatinya di antara manusia, ia akan semakin gundah gulana.

Ingatlah!

Kecintaan terhadap Alloh Ta'ala tidaklah akan masuk ke dalam hati yang mencintai dunia kecuali seperti masuknya unta ke lubang jarum.

Apabila Alloh subhanahu wa ta’ala cinta kepada seorang hamba, maka Alloh subhanahu wa ta’ala akan memilih dia untuk diriNya sebagai tempat pemberian nikmat-nikmatNya, dan Ia akan memilihnya di antara hamba-hambaNya, sehingga hamba itu pun akan menyibukkan harapannya hanya kepada Alloh Ta'ala.

Lisannya senantiasa basah dengan berdzikir kepadaNya, anggota badannya selalu dipakai untuk berkhidmat kepadaNya.

Hati bisa sakit sebagaimana sakitnya jasmani, dan kesembuhannya adalah dengan bertaubat. Hati pun bisa buram sebagaimana cermin, dan cemerlangnya adalah dengan berdzikir.

Hati bisa pula telanjang sebagaimana badan, dan pakaian keindahannya adalah taqwa.

Hati pun bisa lapar dan dahaga sebagaimana badan, maka makanan dan minumannya adalah mengenal Alloh subhanahu wa ta’ala, cinta, tawakkal, bertaubat dan berkhidmat untukNya.


( Al-Fawaid oleh Ibnul Qoyyim rohimahulloh hal 111-112).


Saudaraku..

Sampai kapankah dunia kau makmurkan
Sementara engkau rusak akhiratmu
Hanyasannya bagi setiap kalian memiliki hati hanya satu
Lalu kenapa engkau mencintai dunia dan akhirat?
kenapa dalam hatimu ada Alloh dan makhluk?
kenapa terjadi pada satu keadaan pada hati yang hanya satu?

inilah kedustaan..

Amalmu sebagai dalil atas keyakinanmu
Dhohirmu sebagai dalil atas batinmu

Masihkah berkilah..?


Wahai Robb ampuni kami..aamin

Saudariku..hati-hatilah dengan propaganda yang berakhir duka

Bismillahirrohmanirrohim

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam berkata :

Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaithon menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (At Tirmidzi, dishohihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shohihul Musnad, 2/36).

Duhai Saudariku, saat ini wanita telah menjadi barang dagangan yang murah, mereka yang merelakan dirinya menjadi komoditas. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, yang penting bisa mendatangkan rupiah. Wallohu musta’an

Fenomena iklan, pasti di sana ditayangkan sosok wanita. demi memuaskan nafsu dan syahwat. Padahal dampak dari kerusakan ini bisa berupa mata rantai yang panjang.

Di manakah gerangan orang-orang yang menuntut kebebasan kaum wanita ? slogan persamaan gender, menuntut kebebasan wanita padahal sebenarnya bukanlah karena simpati atau iba terhadap wanita, justru mereka menuntut kebebasan itu agar dapat menikmati wanita !

Kalian pasti tahu, bagaimana para wanita diperdagangkan oleh orang-orang yang menuntut kebebasannya? Berapa banyak sudah wanita yang terenggut kesuciannya dan ditimpa kehancuran dalam kehidupannya?

Perangkap yang membuatmu terpedaya. kemudian akhir dari sebuah kecantikan hanyalah bangkai yang menjijikkan dalam kegelapan kubur dan secarik kain kafan, beserta cacing-cacing yang merasa iri padamu dan merampas kecantikan itu darimu.

Saudariku muslimah, hendaknya engkau waspada akan bahaya, segala yang berselubung namun menyembunyikan sesuatu yang nista.

Ini semua merupakan hasil (baca: akibat) dari aturan-aturan yang mengklaim telah berbuat adil terhadap kaum wanita dan telah memberikan segala haknya, termasuk dalam hal kebebasan dan persamaan hak. Juga sebagai akibat dari opini jahat yang selalu disuarakan sebagai bentuk dukungan terhadap segala aturan dan undang-undang yang menyelisihi ketentuan (syariat) Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Bijaksana yang dicakup oleh Islam baik yang terdapat dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, yang telah memberikan untuk masing-masing dari kaum lelaki dan wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan dan keadilan.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam).

Para misionaris emansipasi wanita pun masih belum puas terhadap apa yang telah ditetapkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Hakim dalam islam, Mereka mempersoalkan, menentangnya dan mencela Islam dengan slogan-slogan yang mereka suarakan; “Menuntut persamaan, kebebasan, dan keadilan”. Apapun yang bisa dijadikan dalil diangkatlah sebagai dalil, tidak peduli haq ataukah batil.

Padahal Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan :

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Akan tetapi kaum lelaki (para suami), mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum wanita (istrinya).” (QS.Al Baqoroh : 228).

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Alloh telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa`: 34)

Demikian pula perkataan Alloh Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَاْلأُنْثَى

“Dan anak laki-laki itu tak sama dengan anak wanita.” (QS. Ali ‘Imron: 36)

Al-Imam Ibnu Katsir rohimahullohu berkata : “Yaitu dalam hal kekuatan, kesungguhan/ketabahan dalam beribadah dan mengurus...” (Tafsir Ibnu Katsir).

Mereka ‘memelintir’ ayat-ayat Al-Qur`an demi menghalalkan tuntutannya. Betapa jeleknya jalan yang mereka tempuh itu. Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ tersebut adalah perkataan Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqoroh : 228).

Mereka beralasan dengan ayat ini bahwa Islam tidak membedakan antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam semua haknya.

Padahal ayat di atas masih ada kelanjutannya yang jelas-jelas menunjukkan keutamaan kaum lelaki (para suami) atas kaum wanita (para istri). Yaitu :

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“…Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.

Adanya perbedaan yang mencolok antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam banyak halnya (di antaranya penampilan fisik) yang menjadikan hak dan kewajiban mereka pun berbeda. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :

أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

“Dan apakah patut (menjadi anak Alloh) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran?!” (QS. Az-Zukhruf : 18)

Al-Imam Asy-Syaukani rohimahullohu berkata :

“Abd bin Humaid meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma tentang tafsir “orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran” bahwa dia adalah kaum wanita. Maka dijadikanlah berbeda antara penampilan mereka (kaum wanita) dengan penampilan kaum lelaki, berbeda pula dalam hal warisan dengan dikuranginya jatah mereka daripada jatah kaum lelaki, demikian pula dalam hal persaksian. Alloh Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka untuk duduk (tidak ikut berperang), maka dari itu mereka disebut khawalif (orang-orang yang tidak ikut berperang).” (Fathul Qodir, 4/659)

Kemudian di antara tanda-tanda kekuasaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah diciptakannya untuk kaum lelaki para istri dari jenis mereka (manusia) juga, supaya kaum lelaki cenderung dan merasa tentram kepadanya serta Alloh Subhanahu wa Ta’ala jadikan antara keduanya rasa kasih dan sayang. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS.Ar-Rum: 21)

Alloh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan wanita diantaranya untuk kaum lelaki dan sebagai tempat untuk merasakan ketentraman dan kasih sayang, maka berarti posisi kaum lelaki di atas kaum wanita. Sehingga ketika seorang wanita (istri) menganggap bahwa dirinya sepadan dengan suaminya dalam segala hak, atau merasa lebih daripada suaminya maka tak akan tercipta lagi suasana tentram dan rasa kasih sayang di antara mereka itu.

Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ juga adalah perkataan  Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal sholih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl : 97).

Mereka berdalil dengan ayat ini bahwa Alloh Ta’ala memberikan hak yang sama antara laki-laki dan wanita yang beriman dalam hal pahala, atas dasar itulah tidak ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan wanita dalam hak maupun kewajiban kecuali satu kelebihan yaitu memberi nafkah yang merupakan kewajiban laki-laki.

Pendalilan mereka tentang ayat di atas tidaklah benar, bahkan bertentangan dengan syariat dan akal yang sehat, sebagaimana penjelasan berikut ini :

Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidaklah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita semata-mata karena pemberian nafkah. Bahkan (lebih dari itu) Alloh Subhanahu wa Ta’ala melebihkan mereka disebabkan kepemimpinannya atas kaum wanita (para istri). Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Alloh telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa`: 34)

Di antara hikmah diciptakannya kaum wanita oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk (kenikmatan) kaum lelaki di dunia dan juga di akhirat. Bahkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala karuniakan dari nikmat (istri) tersebut nikmat yang berikutnya, yaitu dilahirkannya anak yang tidaklah dinasabkan kecuali kepada ayahnya; fulan bin fulan atau fulanah binti fulan. Hal ini sebagai bukti akan kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :

وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ

“Alloh menjadikan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari para istri itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rizki dari yang baik-baik.” (QS. An-Nahl: 72)

Balasan mulia bagi orang-orang beriman lagi beramal sholih yang disebutkan dalam Al-Qur`an adalah (bidadari) para istri yang suci di dalam Al-Jannah. Hal ini menunjukkan betapa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita baik di dunia maupun di akhirat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal sholih, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam Al-Jannah itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang dahulu pernah diberikan kepada kami.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalam Al-Jannah tersebut ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 25)

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا. حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا. وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا. وَكَأْسًا دِهَاقًا. لاَ يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلاَ كِذَّابًا

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa itu suatu kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya (Al-Jannah) mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (An-Naba`: 31-35)

Wanita adalah orang-orang yang kurang dalam hal agama dan akal, sehingga tidaklah bisa disamakan dengan laki-laki. Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata :

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَتْ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا.

“Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah! Karena aku melihat bahwa kalianlah orang terbanyak yang menghuni neraka. Mereka berkata: ‘Dengan sebab apa wahai Rosululloh?’ Beliau  menjawab : ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan seringkali ingkar terhadap kebaikan (yang diberikan oleh para suami). Aku belum pernah melihat di antara orang-orang yang kurang dalam hal agama dan akal yang dapat menghilangkan akal seorang lelaki (suami) yang tangguh melainkan seseorang dari kalian.’ Mereka berkata: ‘Sisi apakah yang menunjukkan kurangnya agama dan akal kami wahai Rosululloh?’ Beliau menjawab : ‘Bukankah persaksian wanita setengah dari persaksian lelaki?’ Mereka berkata: ‘Ya’, kemudian beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata : ‘Maka itulah di antara kekurangan akalnya. Bukankah ketika datang masa haidnya seorang wanita tidak melakukan sholat dan puasa?’ Mereka berkata: ‘Ya’, maka Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata : ‘Maka itulah di antara kekurangan agamanya.” (Bukhori dalam Shohihnya no. 304 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu 'anhu).

Asy Syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkholi hafidhohulloh berkata :

“Dalam hadits ini terdapat kejelasan tentang kurangnya agama dan akal wanita. Dan yang nampak bahwa kekurangan ini merupakan salah satu sebab banyaknya melaknat dan terjatuhnya mereka ke dalam perbuatan ingkar terhadap kebaikan yang diberikan para suami. Sebagaimana pula dalam hadits ini terdapat kejelasan bahwa persaksian dua wanita sama dengan persaksian satu orang lelaki, yang di antara sebabnya adalah kurangnya akal pada mereka.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam).

Nasehatku wahai saudariku muslimah..

Ingatlah dengan pemberitaan Nabi shollallohu 'alaihi wasallam  :

إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة النِّسَاءُ

"Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita." (Muslim no. 2738)

Bila demikian adanya pantaslah bagi seorang wanita yang mencari keselamatan diri  dari adzab dengan menjaga kehormatan diri, waspada dari segala propaganda menyesatkan dan menghiasinya dengan sifat malu dan taqwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Wallohu a’lam bish showab