DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Selasa, 23 November 2010

JALAN KEBENARAN HANYA SATU

slam adalah agama universal yang mencakup seluruh ajaran kebaikan. Mulai dari keyakinan, ucapan maupun perbuatan diterangkan secara lengkap dalam Islam. Keterangannya baik secara global atau rinci terpampang dengan jelas dan gamblang. Itulah jalan-jalan keselamatan yang bisa ditempuh oleh para pemeluk agama ini. Jalan-jalan yang bisa menghantarkan pelintasnya ke jannah Allah Subhanahu wa ta’ala dan menyelamatkannya dari adzab neraka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَدْ جآءَكُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَكِتاَبٌ مُبِيْنٌ. يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلاَمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُماَتِ إِلىَ النُّوْرِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيْهِمْ إِلىَ صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya serta menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma`idah: 15-16)
Jalan keselamatan boleh berbilang namun kebenaran tetap hanya satu. Karena setiap jalan keselamatan adalah bagian dari kebenaran yang satu. Sehingga sebuah jalan tidak dihukumi sebagai jalan keselamatan kecuali bila nilai kebenaran menjadi muatannya. Jika terjadi perselisihan dan pertikaian mengenai sebuah jalan keselamatan maka kebenaran itu tetap berjumlah satu. Kebenaran berada pada salah satu pendapat yang dipegang oleh salah satu pihak. Tentunya tolak ukur kebenaran itu adalah Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَنْ يٌشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ ماَ تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ ماَ تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَساَءَتْ مَصِيْراً
Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (shahabat g), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Lalu Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَماَذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Ayat ini menetapkan bahwa tidak ada kedudukan ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam permasalahan mentauhidkan Allah Subhanahu wa ta’ala . Maka demikian pula perkaranya dalam permasalahan-permasalahan yang setara. Yaitu dalam permasalahan-permasalahan ushul (prinsip), kebenaran berada pada salah satu pihak.
Barangkali ada yang mengatakan: “Sesungguhnya dzahir ayat ini menunjukkan bahwa yang selain (mentauhidkan) Allah adalah kesesatan. Karena permulaan ayat berbunyi:
فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقٌّ فَماَذاَ بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya; sehingga tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Lalu kenapa memperluas pendalilan ini (yakni menggunakan ayat ini untuk mengingkari bentuk kesesatan selain kesyirikan -ed)?”
Jawabannya: Sesungguhnya para pendahulu kita yang baik telah berdalil dengan keumuman ayat ini terhadap segala kebatilan. Oleh karena itu Al-Imam Malik t berdalil dengannya dalam mengharamkan permainan catur sebagaimana pada riwayat Asyhab. Bentuk (pendalilan) itu sebagai berikut: bahwa kekafiran adalah sesuatu yang menutupi al-haq. Maka semua yang selain kebenaran berjalan di atas jalur ini.” (Tafsir Al-Qurthubi, 8/336)
Dalam setiap pertikaian dan perselisihan, kebenaran hanya satu sedangkan yang selainnya adalah keliru. Bahkan tak jarang mengandung kebatilan dan kesesatan. Inilah sebab Allah Subhanahu wa ta’ala melarang setiap perselisihan dan pertikaian. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t pernah menerangkan: “Ayat-ayat yang melarang setiap perselisihan dalam agama mengandung celaan terhadapnya. Seluruhnya mempersaksikan dengan nyata bahwa al-haq di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala hanya satu, sedangkan yang selainnya merupakan kesalahan. Kalau seandainya semua pendapat itu adalah benar, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran dan tidak pula akan mencelanya. Sungguh Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan bahwa perselisihan bukan dari sisi-Nya. Yang bukan dari sisi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak dianggap sebagai kebenaran. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَوْ كاَنَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْراً
Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82) (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594)
Dalil-dalil tentang Kebenaran Hanya Satu
Cukup banyak dalil akurat dari Al Qur`an, As Sunnah dan amalan shahabat yang menunjukkan bahwa kebenaran dalam setiap permasalahan yang diperselisihkan hanya satu. Adapun yang selainnya merupakan kesalahan. Di antara dalil-dalil tersebut:
1. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْماً فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah wasiatkan pada kalian agar kalian bertakwa.” (Al-An‘am: 153)
Ibnu Katsir t -ketika menafsirkan ayat ini- berkata: “Firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.”
(Di sini) sungguh Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang jalan-Nya dengan bentuk kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab itu, Allah menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata jamak (banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan bercabang-cabang….” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/256)
2. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَدَاوُدَ وَسُلَيْماَنَ إِذْ يَحْكُماَنِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيْهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُناَّ لِِحُكْمِهِمْ شاَهِدِيْنَ. فَفَهَّمْناَهاَ سُلَيْماَنَ وَكُلاًّ آتَيْناَ حِكْماً وَعِلْماً وَسَخَّرْناَ دَاوُدَ الْجِباَلَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وُكُناَّ فاَعِلِيْنَ
Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung serta burung-burung. Semuanya bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya.” (Al-Anbiya`: 78-79)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan -tentang dua ayat ini- sebagai berikut: “Kedua nabi yang mulia ini telah sama-sama memberikan keputusan dalam sebuah kasus yang membutuhkan vonis hukum. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala mengistimewakan salah seorang dari keduanya dengan memahamkan (kepadanya) duduk permasalahan (yang dihadapi). Bersamaan dengan itu Allah memuji masing-masing dari keduanya dengan mendatangkan pengetahuan hukum dan ilmu kepadanya. Demikian pula para ulama yang mujtahid g. Siapa yang benar dari mereka mendapatkan dua pahala sedangkan yang salah mendapatkan satu pahala. Masing-masing mereka taat kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. Allah tidak akan memberatkannya dengan sesuatu yang dia tidak mampu mengilmuinya…” (Majmu’ Al-Fatawa, 33/41)
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
إِذاَ حَكَمَ الْحاَكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصاَبَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذاَ حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad maka jika benar dia mendapatkan dua pahala dan jika salah dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Al-Imam Al-Muzani menandaskan: “Perlu dipertanyakan kepada orang yang membolehkan perbedaan pendapat dan menyangka bahwa dua orang alim jika berijtihad pada sebuah kejadian –yang satu berpendapat (halal) sementara yang lain berpendapat (haram)– masing-masing dari keduanya meraih kebenaran: Apakah engkau mengatakan ini dengan sebuah sumber (hukum) atau dengan qiyas? Bila dia menjawab: Dengan sebuah sumber (hukum). Dipertegas kepadanya: Bagaimana bisa dari sebuah sumber (hukum) sedangkan Al Qur`an menolak perbedaan pendapat. Bila dia menjawab: Dengan qiyas. Dipertegas kepadanya: Sumber-sumber (hukum) menolak perbedaan pendapat dan bagaimana engkau bisa mengqiyas atas sumber-sumber (hukum) tersebut untuk membolehkan perbedaan pendapat. Ini merupakan perkara yang tidak bisa diterima oleh orang yang berakal terlebih lagi oleh seorang yang berilmu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu ‘Abdil Barr, 2/89)
4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِي عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي الناَّرِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قَالُوا: وَمَنْ هِيَ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْْيَوْمَ وَأَصْحاَبِي
Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan akan berpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Mereka seluruhnya berada dalam api neraka kecuali golongan yang satu. Para shahabat bertanya: “Siapa golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “(Dia adalah golongan yang memegang) ajaranku dan (faham) shahabatku pada hari ini.” (HR. At-Tirmidzi dan selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Dia seorang yang dha’if. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh banyak hadits lain yang semakna. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa orang shahabat, antara lain:
1. Abu Hurairah
2. Mu’awiyah bin Abi Sufyan
3. Anas bin Malik
4. ‘Auf bin Malik
5. Ibnu Mas‘ud
6. Abu Umamah
7. ‘Ali bin Abi Thalib
8. Sa’ad bin Abi Waqqash
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semua.
Al-Imam Syathibi t memaparkan: “Sabda beliau “Kecuali golongan yang satu”, secara nash memberikan penjelasan bahwa kebenaran hanya satu dan tidak beraneka ragam. Sebab jika seandainya kebenaran menjadi milik berbagai pihak niscaya beliau tidak akan mengatakan “Kecuali golongan yang satu”…”. (Al-I’tisham, 2/755)
5. Al-Imam Al-Muzani berkata:
Para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah berbeda pendapat. Sebagian mereka menyalahkan yang lainnya. (Sebagian mereka) melihat kepada pendapat-pendapat yang lain lalu mengomentarinya. Jika mereka berpandangan bahwa seluruh pendapat mereka (ketika berselisih) adalah benar, niscaya mereka tidak akan melakukan yang demikian.
‘Umar bin Al-Khaththab pernah marah karena perselisihan Ubay bin Ka’b z dengan Abdullah bin Mas’ud mengenai hukum shalat mengenakan sehelai pakaian. Saat itu Ubay berkata: “Sesungguhnya shalat dengan mengenakan sehelai pakaian merupakan perkara yang baik lagi bagus.” Ibnu Mas’ud berkata: “Sungguh yang demikian itu (dibolehkan) bila jumlah pakaiannya sedikit.” Maka ‘Umar keluar dalam keadaan marah dan berkata: “Dua orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang dipandang dan diambil pendapatnya telah berselisih. Ubay telah benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi tidaklah aku mendengar seorang pun berselisih mengenainya setelah (aku meninggalkan) tempatku ini melainkan aku akan memperlakukannya demikian dan demikian.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/83-84)
Tidak Setiap Mujtahid Benar
Dalil-dalil di atas dengan tegas mematahkan kesesatan sebagian muslimin yang berpandangan bahwa setiap mujtahid benar. Sebab pernyataan ini adalah madzhab Mu’tazilah negeri Bashrah. Merekalah sumber dari kebid’ahan ini. Mereka berpendapat demikian karena tidak paham tentang makna-makna dan metode-metode fiqih yang mengantarkan kepada kebenaran serta memisahkan dari kerancuan-kerancuan yang batil. (Al-Bahru Al-Muhith karya Az-Zarkasyi, 6/243)
Tidak ada seorang pun dari para ulama sunnah dan imam-imam Islam yang menyuarakan bahwa setiap mujtahid benar. Adapun penisbahannya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Malik merupakan isapan jempol dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Al-Bahru Al-Muhith, 6/242 dan Shifatush-shalah karya Al-Albani hal.63-64)
Al-Imam Malik t berkata: “Tidaklah (ada) kebenaran melainkan hanya satu. (Mungkinkah -ed) dua pendapat yang saling bertentangan keduanya benar? Tidaklah al-haq dan kebenaran melainkan hanya satu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/82, 88, 89)
Hal yang hampir senada diucapkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (Majmu’ Al-Fatawa, 33/42), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594), Ibnu Abdil Barr t (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/88), dan para ulama yang lainnya.
Perselisihan Bukan Argumen untuk Mentolerir Suatu Pendapat
Berargumen dengan perselisihan dan perbedaan pendapat untuk melegitimasi suatu pemikiran (dari tokoh tertentu) atau madzhab sebagai sebuah kebenaran merupakan perkara yang tidak benar. Sikap ini tidak memiliki akurasi hujjah. Sebab Al Qur`an dan As Sunnah tidak mengajarkannya.
Al-Hafidz Abu ‘Umar bin Abdil Barr t berkata: “Perselisihan bukan hujjah menurut seluruh ahli fiqih umat ini kecuali bagi orang yang tidak punya mata hati dan pengetahuan. Maka pendapatnya bukan hujjah.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/229)
Kewajiban seorang muslim adalah mencari letak kebenaran dalam sebuah perselisihan dan pertikaian. Tidak semua pendapat mengusung kebenaran. Kebenaran hanya berada pada salah satu pihak yang berselisih dan bertikai. Ini adalah pendapat Al-imam Malik, Ahmad dan Asy-Syafi’i rahimahumullah. (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594)
Pihak yang benar adalah yang pendapatnya berlandaskan Al Qur`an dan As Sunnah beserta pemahaman Salaf. Sebuah kesalahan fatal bila seorang muslim menganggap suatu perkara dibolehkan dengan alasan (di dalam perkara tersebut terdapat) perselisihan di kalangan para ulama apalagi yang selainnya. Ini merupakan kekeliruan terhadap syariat Islam. Namun sangat disayangkan betapa banyak orang yang terjatuh di dalamnya. Mereka bukan dari golongan orang awam saja akan tetapi juga melibatkan orang-orang yang mengaku dirinya berilmu. Sebagian mereka dianggap ulama atau paling tidak bergelar kyai maupun ustadz. Bahkan tak jarang ahlul bid’ah berupaya melanggengkan berbagai kebid’ahannya dengan alasan yang demikian. Wallahul musta’an.
Marilah kita menyimak penuturan ulama berikut ini:
-Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Perkara ini telah melampaui kadar yang cukup. Sehingga terjadi pembolehan sebuah perbuatan karena berpegang pada kondisinya yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Pembolehan ini bukan bermakna untuk memelihara perselisihan, sebab hal ini memiliki sisi pandang yang lain, akan tetapi tujuannya adalah yang selain itu (yakni tujuannya tidak untuk memelihara perselisihan -red). Terkadang dalam suatu permasalahan muncul fatwa yang melarang. Lalu dipertanyakan: “Kenapa engkau melarang? Padahal permasalahannya diperselisihkan.” Maka perselisihan dijadikan argumen untuk membolehkan, semata-mata karena permasalahannya diperselisihkan. Bukan karena dalil yang menyokong kebenaran madzhab yang membolehkan. Tidak pula karena taqlid kepada orang yang lebih pantas diikuti daripada orang yang mengatakan larangan. Itulah wujud kesalahan terhadap syariat, yaitu menjadikan yang bukan pegangan sebagai pegangan dan yang bukan hujjah sebagai hujjah.” (Tahdzib Al-Muwafaqat, karya Muhammad bin Husain Al-Jizani, hal. 334)
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Siapapun tidak boleh berhujjah dengan pendapat seseorang dalam permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan. Hujjah itu hanya berupa nash (Al Qur`an dan As Sunnah), ijma’ dan dalil yang disimpulkan dari itu (sedangkan) pendahuluannya dikokohkan dengan dalil-dalil syar’i, tidak dengan pendapat-pendapat sebagian ulama. Karena pendapat-pendapat ulama perlu diberi hujjah dengan dalil-dalil syar’i, bukan untuk dijadikan sebagai hujjah atas dalil-dalil syar’i.” (Majmu’ Al-Fatawa, 26/202-203)
Setiap Pendapat Menuntut Dalil
Menuntut dalil dari setiap pendapat merupakan kewajaran di kalangan pecinta kebenaran. Tentunya tanpa memandang siapa yang menjadi sasarannya. Sebab nilai kebenaran terletak pada dalil bukan dalam kebesaran nama seseorang. Namun tidak berarti tanpa etika dan adab yang layak dalam melakukannya. Inilah barangkali yang tidak dipahami oleh para pembebek yang terperosok dalam kubangan pengkultusan tokoh. Acapkali mereka memegang sebuah pendapat karena yang mengucapkannya adalah seorang yang punya nama besar tanpa menoleh dalilnya. Terkadang profil yang dimaksud bukan ulama yang faham agama beserta dalil-dalilnya dengan benar.
Tapi keharusan berpijak kepada dalil tak bisa digugurkan walaupun pemilik pendapat adalah seorang ulama dengan kriteria yang hampir mencapai titik sempurna. Orang yang mempelajari sejarah hidup generasi terbaik umat ini akan melihat bahwa mereka tak sungkan-sungkan untuk bertanya tentang dalil sebuah pendapat kepada yang bersangkutan. Berikut beberapa riwayat dalam masalah ini:
1. Dari Abu Ghalib, ia berkata: Kami bertanya (kepada Abu Umamah ):
أَبِرَأْيِكَ قُلْتَ: هَؤُلاَءِ كِلاَبُ الناَّرِ، أَوْ شَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟
Apakah dengan pendapatmu engkau mengatakan: Mereka (Khawarij) adalah anjing-anjing neraka, atau sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah
إِنِّي لَجَرِيْءٌ بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ ثِنْتَيْنِ وَلاَ ثَلاَثٍ
“(Jika demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak hanya sekali, dua dan tiga kali.” Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya berulang kali. (HR. Ahmad, dengan sanad yang jayyid menurut penilaian Asy-Syaikh Muqbil t, lihat Al-Jami’ush Shahih, 1/199-201)
2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri z mengatakan:
الدِّناَرُ بِالدِّناَرِ، وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، فَمَنْ زَادَ – أَوِ ازْدَادَ – فَقَدْ أَرْيَى
Dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham (menukar/jual-belinya) dengan timbangan yang sama (bobotnya). Barangsiapa yang menambahi atau minta tambahan berarti dia telah berbuat riba.”
Aku (Abu Shalih) berkata kepadanya (Abu Sa’id): “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas mengatakan yang selain ini.” Abu Sa’id Al-Khudri menjawab: “Aku telah bertemu Ibnu ‘Abbas. Aku bertanya: Apakah yang engkau ucapkan ini adalah sesuatu yang pernah engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , atau engkau mendapatkannya dalam Kitabullah –k–? Beliau (Ibnu ‘Abbas –red) menjawab: Aku tidak mengatakan semua itu. Kalian lebih tahu tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam daripada aku. Akan tetapi Usamah telah memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
لاَ رِباً إِلاَّ فِي النَّسِيْئَةِ
Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah.” (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan Muslim no. 1596)
3. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafi’i (86-87): Al-Imam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafi’i rahimahumallah: “Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian?” Lalu Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab masalahnya. Al-Imam Ahmad berkata: “Dari mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits atau ayat Al Qur`an?” Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab: “Ya.” Lantas beliau mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut.” (Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69)
Demikianlah tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat disayangkan kini banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena semata-mata yang mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai. Mereka tidak bersikap ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi mau berpikir tentang akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit dan memilukan dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin belakangan ini. Bahkan penyakit ini berkembang pula di tengah para santri kebanyakan pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah serunya tatkala hal serupa ikut merebak di level para da’i yang sedang bergelut di kancah dakwah kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta’ala . Wallahul musta’an.
Semoga pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri dengan satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang pendapat? Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita selalu berada di belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan oleh nama besar sosok-sosok tertentu.
Penutup
Seluruh pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala permasalahan agama baik ushul (prinsip) maupun furu’ (cabang) tanpa perbedaan. Karena masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan yang sama erat dengan norma-norma syari’at. (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594 dan Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370)
Adapun perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu perselisihan yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau lebih dan tidak bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan metode-metode yang dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk dalam cakupannya, karena tidak masuk dalam kategori perselisihan dengan makna yang sesungguhnya. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat perselisihan yang berangkat dari keragaman dalil. Ini pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan sebagai keragaman aturan syariat Islam dalam masalah tersebut. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tanawwu’.
Dari Ibnu Mas’ud z, beliau berkata:
سَمِعْتُ رَجَلاً قَرَأَ آيَةً سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلاَفَهاَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ، فَعَرَفْتُ فِيْ وَجْهِهِ الْكَرَاهَةَ، وَقاَلَ: كِلاَكُماَ مُحْسِنٌ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَإِنَّ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُم اخْتَلَفُوْا فَهَلَكُوْا
Aku mendengar seseorang membaca satu ayat, padahal aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membaca berbeda dengan bacaannya. Maka aku memegang tangannya dan membawanya menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , lalu aku laporkan perkara itu kepada beliau. Aku melihat rasa tidak suka pada wajah beliau dan beliau bersabda: Kalian berdua telah benar dan janganlah berselisih, karena orang-orang sebelum kalian berselisih sehingga mereka binasa.” (HR. Al-Bukhari no. 2410)
Demikianlah yang dapat kami tuliskan di sini. semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Yang benar datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala , sedangkan yang salah datangnya dari kami dan setan. Karenanya kami mohon ampun kepada Allah Subhanahu wa ta’ala .Wallahu a’lam.
Sumber bacaan: -Al Qur`an, -Tafsir Ibnu Katsir, -Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah karya Muhammad Al-Mushili, -Al-I’tisham karya Asy-Syathibi tahqiq Salim Al-Hilali, -Shifat Shalat Nabi karya Asy-Syaikh Al-Albani ,-Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim Al-Utsman,- Tahdzib Al-Muwafaqat karya Muhammad bin Husain Al-Jizani
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Penulis : Al-Ustadz Abdul Mu’thi Al-Medani , Judul: Jalan Kebenaran Hanya Satu

ADAKAH BID'AH HASANAH

Sebenarnya ane sudah lama ingin menulis risalah kecil ini. Tetapi karena bingung mencari sumber dan banyak kendala dalam menyelesaikannya. Tetapi dalam rangka ilmiah dan keprihatinan akan mudahnya umat muslimin melakukan hal baru dalam agama dan mereka mengatakan bahwa ini adalah bid’ah hasanah. Lalu apa batasan bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Maka ane berazzam untuk mencari sumber-sumber yang diperlukan, Alhamdulillah sebelum mutasi ane menemukan di balik tumpukan artikel yang sudah berdebu dan beberapa sumber lainnya yang sempat ane kopi.
Semoga artikel ini membawa suasana ilmiah, dan mohon tidak usah diperdebatkan lebih jauh bila berbeda pendapat, karena tulisan ini hanya sebagai pembanding, bila tidak setuju tidak mengapa. Toh tidak setuju dengan tulisan saya tidak membuat anda keluar dari Islam.

Bismillah wal Hamdulillah

Kita awali dengan suatu hadits
Dalam hadits muslim bahwa kullu bid’atun dholalah (setiap bid’ah adalah kesesatan)

Berkata Abdullah bin Umar ra :
"Setiap  bid’ah adalah kesesatan walaupun dianggap baik oleh manusia." (Diriwayatkan oleh Al Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

Ibnu Rajab berkata bahwa hadits muslim tsb termasuk "Jawami’ul Kalim“ (kata singkat dan padat makna) Tidak ada satu perbuatan bid’ah yang dikecualikan padanya dan ini merupakan salah satu kaidah agama yang agung. (Al Jami’ Al Ulum Al Hikam)

Syaikh Muhammad al Utsaimin
Bid’ah apa saja yang di klaim sebagai bid’ah hasanah dapat dibantah dengan hadits ini (setiap bid’ah adalah kesesatan) (Al Ibda Al Kamali As Syara’ wal Katharu al Bid’ah)

Imam as Syaukani : Hadits ini tergolong kaidah agama yang mencakup berbagai macam hukum yang tak terhitung jumlahnya. Hadits ini begitu gamblang dan jelas menunjukkan batilnya pendapat beberapa fuqoha yang membagi bid’ah menjadi beberapa bagian. (hanya menolak sebagian bida’ah) (Nailul Authar)

Umar ra : Ketahuilah setiap perkara yang diadakan adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sesat dan sesat tempatnya di neraka (Lihat al bida’ )

Al Imam Asy Syatibhi ra dalam mengomentari hadits muslim diatas :
1.    Bahwa riwayat tsb datang secara mutlak dan umum, dengan banyaknya riwayat (tentang sesatnya bid’ah) tetapi tidak tedapat pengecualian sama sekali, tidak ada riwayat yang menjelaskan diantara bbid’ah ada yang pentunjuk, tidak ada pula yang disebutkan setiap bid’ah sesat kecuali ini dan itu. Ini menunjukkan bahwa seluruh dalil tsb diatas hakikatnya yang dzahir berupa lafadz “kullu” (seluruhnya)
2.    Dalam prinsip ilmiah bahwa setiap kaidah menyeluruh bila diulang ulang di banyak tempat dan tidak pernah disertai pengkhususan maka itu merupakan dalili ketetapan lafadz tersebut bersifat umum.
3.    Ijma para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in akan tercelanya bid’ah dan tidak ada sedikitpun dari mereka yang bersikap tawaqquf (abstain) atau ragu.
4.    Orang yang memahami bid’ah mengharuskan bersikap meyakini bahwa bid’ah itu sesat karena hal itu termasuk perkara yang bertentangan dengan syari’at.

Banyak kesalahpahaman antara kaum muslimin terhadap sebagian yang disebutkan dalam ulama dengan istilah bid’ah hasanah, makruh, mubah atau mahmudzah (mahmudah) dan madzmumah (tercela) dengan mendasarkan pada :
     Hadit Muslim
“Barangsiapa mencontohkan perbuatan baik dalam islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya”

Jawaban :
1.    Makna hadits tersebut adalah mencontohkan perbuatan sunah. Hal ini berkaitan anjuran nabi untuk bersedekah tetapi tidak ada yang menyambutnya lalu seorang anshor menyambutnya dan mendadak para sahabat mengikutinya.
2.    Nabi bersabda “Barangsiapa mencontohkan perbuatan baik dalam islam” dilain waktu nabi bersabda: “setiap bid’ah adalah kesesatan”. Maka tidak mungkin sabda nabi saling bertentangan satu sama lain. Dan tidak boleh mengambil satu hadits dan menolak hadits yang lain.
3.    Makna perbuatan yang baik juga bisa berarti menghidupkan sunah nabi yang telah ditinggalkan
4.    Makna perbuatan yang baik tidak bisa diartikan sebagai bid’ah. Sebab baik buruknya perbuatan harus berlandaskan syari’at.


     Mendasarkan pada hadits bukhori tentang perkataan umar ra pada saat sholat tarawih di bulan Ramadhan.
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”

Jawaban
1.    Jika orang berpendapat bahwa ini adalah dalil bid’ah hasanah maka ketahuilah bahwa sabda Nabi tidak bisa dibatalkan dengan ucapan manusia, baik Abu Bakar ra, Umar ra dll. Berkata Abdullah bin Abbas pernah berkata “ Hampir saja kalian dihujani batu dari langit. Aku katakan Nabi bersabda begini dan begini, kalian membantahnya dengan mengatakan: “Akan tetapi Abu Bakar dan Umar mengatakan begini dan begitu.” Umar bin abdul aziz ra mengatakan ; “Tidak berlaku pendapat siapapun dihadapan sunah Rasulullah saw. “
Imam Syafi’i berkata; “Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah nyata baginya sunnah Rasulullah maka tidak dibenarkan baginya meninggalkan karena ucapan seseorang. (I’lamul Muwaqqi’in)
2.    Umar mengatakan itu disaat umat muslimin melakukan sholat tarawih kembali dengan berjama’ah. Tentunya ini tidak bertentangan dengan sunah nabi yang diriwayatkan aisyah bahwa Rasulullah sholat pada suatu malam lalu diikuti oleh orang banyak dst (riwayat bukhori)
3.    Istilah bid’ah yang dikatakan Umar ra bukanlah makna dalam bid’ah dalam etimologi/bahasa bukan makna bid’ah dalam syariat karena sebelum kekhalifaan umar, Sholat tarawih berjama’ah mulai ditinggalkan dan di masa umar ra, sunah tersebut dihidupkan kembali. (pendapat ini didukung Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir dalam tafsir surat al baqoroh ayat 118, Ibnu rajab, Mohammad Rasyid Ridho).

     Mendasarkan pada pembukuan Mushaf Al Qur’an merupakan bid’ah hasanah.

Jawaban :
1.    bahwa pembukuan al Qur’an telah sesuai kitabullah
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (Al Qiyamah 17)

Dalam ayat tsb ada isyarat untuk mengumpulkannya karena keumuman lafadz tsb. Lalu kenapa dijaman Rasulullah belum dibukukan? Karena pada masa itu ada pencegah dibukukannya karena Al Qur’an turun berangsur angsur dan kadang ada ayat yang dinasakh. Maka setelah meninggalnya Rasulallah mereka baru mengumpulkannya karena telah sempurnya agama ini dan terputusnya wahyu.
2.    Hal ini merupakan ijma para sahabat, sebab ijma’ adalah salah satu hujjah di dalam islam.

     Mendasarkan pada adzan pertama di jaman utsman bin affan ra

Jawaban :
1.    Hal itu merupakan ijtihad utsman bin affan ra, akan tetapi ada salah seorang sahabat menyelisihinya sehingga bukan merupakan hujjah yang mutlak. Apabila ada sahabat berhujjah dan ada yang menyelisihninya maka kita butuh melihat yang rajih siapa yang kuat dari pendapat mereka. Ali bin abi Thalib ra ketika berada di kuffah dan beliau hanya mengamalkan yang disunahkan Rasulullah dan meninggalkan ijtihad Utsman bin Affan ra. Demikian pula Abdullah bin Umar (Lihat kitab al Ajwibah an Nafi’ah). Imam Syafi’i mengatakan dal kitab al Umm:  „Aku lebih menyukai agar adzan pada hari Jum’at di saat imam masuk ke dalam masjid dan duduk diatas mimbar. Maka apabila imam sudah melakukannya (duduk), muadzin mengumandangkan adzan dst.
2.    Sebab Utsman menambah adzan disebabkan semakin banyaknya manusia dan berjauhan rumah mereka. (lihat hadit Bukhori, Abu Dawud dan Tirmidzi). Sehingga tidak dapat mendengar adzan tsb. Sebagian ulama menggolongkan ini pada maslahah mursalah. Maka apakah kedua illat ma’qulah (sebab masuk akal) tsb ada di jaman sekarang. Berkata Albani: barangsiapa berpegang pada azan utsman secara mutlak maka dia tidak mengikutinya (Utsman) akan tetapi menyelisihinya. Karena tidak memperhatikan dengan mata ilmu sebab. Kalau tidak ada sebab tentu Utsman tidak akan melakukan penambahan atas sunah yang ada dan sunah dua khalifah setelahnya (Abu Bakar dan Umar).

     Mendasarkan pada perkataan Abdullah bin Mas’ud
”Segala sesuatu yang dipandang baik kaum muslimin, pastilah baik disisi Allah swt. “(HR Imam Ahmad)

Jawaban :
1.    Ibnul Qoyyim : Ucapan ini bukan berasal dari Rasulullah. Hanya orang orang jahil yang menisbatkan ucapan ini dari Rasulullah. Ucapan ini bersumber dari Abdullah bin Mas’ud. 
2.    Kaum muslimin yang dimaksud Abdullah bin Mas’ud adalah para sahabat karena barangsiapa memperhatikan keseluruhan riwayat itu maka akan tahu yang dimaksud adalah para sahabat. Dalam perkataannya yang panjang saya singkat saja karena udara mulai sumuk hehehe
„......kemudian melihat hati hamba-Nya setelah Muhammad, didapatinya hati para sahabat adalah paling baik setelah hati Muhammad. Lalu menjadikan wazir Rasulnya, mereka berperang atas agamanya. Segala sesuatu yang dipandang baik kaum muslimin, pastilah baik disisi Allah swt.  Ditambah lagi pendapat al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak mencantumkan hadits ini dalam Judul „Keutamaan Sahabat“  (semoga Ridha menbacanya biar nggak mencela para sahabat)

     Mereka berdalil pada ucapan Imam Syafi’i 
“Bid’ah ada dua macam. Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Madzmumah (tercela). Apa saja yang termasuk sunah maka termasuk bid’ah mahmumah dan apa saja yang menyelisihi maka termasuk bid’ah madzmudah (tercela) (Hilyatul Auliya’).

Jawaban :
Dan ucapan beliau :
Perkara muhdats (yang baru ada dua macam). Yang baru serta menyelisihi al qur’an, sunah, atsar, ijma termasuk bid’ah sesat. Tetapi perkara baru yang tidak menyelisihi al qur’an, sunah, atsar, ijma tidak termasuk bid’ah tercela (Manaqib Asy Syafi’i)
1.    perlu diketahui bahwa ucapan Imam Syafi’i tidak merubah ketetapan Rasulallah saw sebagai mana telah dijelaskan diatas ditambah perkataan Ibnu Abbas “Tidak seorangpun pendapatnya kada diterima kadan ditolak kecuali Rasulullah Saw.
2.    Barangsiapa mencermati perkataan Imam Syafi’i maka akan mengetahui bahwa yang dimaksud bid’ah mahmudah adalah bid’ah secara etimologi (bahasa) yang berkaitan dengan urusan dunia. Sedangkan bila bid’ah secara syara’ tentu bid’ah madzmumah (tercela). Karena Imam Syafi’i membatasi pada Kitab dan Sunah. Berkata Ibnu Rajab dalam mengomentari pendapat Imam Syafi’i: “Maksud Imam Syafi’i hakikat bid’ah madzmumah (tercela) adalah yang tidak ada landasan syar’inya. Sementara bid’ah mahmudah adalah yang bersesuaian dengan sunah Nabi saw. Ini adalah bid’ah dalam pengertian bahasa karena ada landasan syar’inya. (Jami’ul Ulum wal Hikam)
3.    Sudah kita ketahui bahwa Imam Syafi’i adalah ulama yang berpegang teguh dalam sunah. Bahkan beliau pernah berkata “Apabila kalian melihat dalam bukuku ucapan yang menyelisihi sunah Nabi, maka ambillah sunah Nabi dan buanglah jauh jauh ucapan itu (syiar nubala) dan masih banyak lagi perkataan beliau tentang pentingnya sunah nabi.

     Berpendapat pada ucapan Imam al Irara  bin abdussalam
“Bid’ah terbagi menjadi lima bagian, bid’ah wajib, haram, mustahab, makruh, mubah. Cara mengidentifikasi bid’ah itu berpulang kepada syari’at dst. (Qowahidul Ahkam)

Jawaban
1.    Kita tidak boleh menentang ucapan nabi dengan perkataan manusia
2.    Asy Syatibhi menolak pembagian tsb (Lihat Al I’tishom)
3.    Bid’ah yang dimaksud al Izz Abdussalam adalah bid’ah secara bahasa. Kita dapat mengetahui dari contoh contohnya dari bid’ah tsb. Misal Bid’ah wajib adalah mempelajari nahwu untuk mempelajari kitabullah dan sunah, bid’ah mustahab adalah sholat tarawih berjamaah di bulan romadhon. Jadi jelaslah bahwa yang dimaksud bid’ah oleh imam adalah bid’ah secara bahasa (etimologi). Imam Irara bin Abdussalam adalah ulama yang sangat menentang bid’ah dan memperingatkan umat dari bahaya bid’ah. Buktinya penentangan beliau akan hal hal yang dianggap orang sebagai bid’ah hasanah. Syihabudin Umar berkata beliau sering menghapus bid’ah yang dilakukan khatib (sholat jum’at) seperti mengetuk ngetuk pedang diatas mimbar. Beliau jga yg menghapus nifsu sya’ban dan shalat raghaib dan berjabat tangan seusai sholat jama’ah.(Thobaqot Asy Syafi’iah)


“Apakah mereka memiliki tandingan/sekutu yang membuat syariat dalam urusan dien bagi mereka yang tidak diberi izin oleh Allah.” (asy-Syuraa:21)

Semua tulisan saya bukan kepastian…silahkan berkomentar. Bagi saya bid’ah itu jelas…masalahnya bagaimana fiqh dakwah kita dalam merubah bid’ah itu. Apakah dengan keras dengan berkata kamu sesat, kamu sesat…atau dengan cara elegan.

Oh iya bid’ah iku panganan opo yoooo...ini gambaran singkat aja mugo mugo mudeng.
Arti bid’ah secara bahasa/etimologi: mengadakan sesuatu hal yang baru
Arti bid’ah secara syara’/syariat :
Bid'ah artinya sesuatu yang baru dlm agama setelah agama dinyatakan sempurna dan setelah wafatnya Nabi SAW. Bentuk jama'nya al-Bida'. Bid'ah juga berarti sst yang diciptakan namun menyalahi kebenaran yang diterima dari Rosulullah SAW dan prinsip agama yang benar
Dan sesuatu tidak bisa dikatakan bid'ah menurut syari'at, kecuali jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Al-Ihdaats (mengada-adakan)
2. Mengada-adakan ini disandarkan kepada agama
3. Hal yang diada-adakan ini tidak berpijak pada dasar syari'at, baik secara khusus maupun umum.


Semoga pembahasan singkat dan padat ini tidak terlalu berat. Tinggalkan bid'ah, bumikan sunah. (BANG NAVRE)

Ada 1000 Dalil yang Membicarakan Allah Berada Di Atas Seluruh Makhluk-Nya

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Mengenai keberadaan Allah tidak disangsikan lagi banyak dalil yang menunjukkannya. Bagi orang yang memiliki hati nurani yang bersih yang belum tercampuri berbagai noda penyimpangan, jika dia melihat ayat-ayat berbagai ayat dalam Al Qur’an, dia akan sangat yakin bahwa Allah, sebagai pencipta dan pemberi rizki baginya berada di atas langit, di atas ‘Arsy-Nya yang mulia. Bukan hanya satu atau dua dalil yang membicarakan mengenai hal ini, namun sangatlah banyak.
Ibnu Abil ‘Izz Ad Dimasyqi Al Hanafi dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah (2/438-442) memaparkan 18 jenis dalil yang menjelaskan hal ini. Ini baru jenis dalil. Jadi, jika diperinci lagi bisa lebih dari 18 dalil.
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan, “Di dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya dan di atas seluruh hamba-Nya.” Selain mereka pun mengatakan bahwa ada 3000 dalil yang menunjukkan hal ini. (Bayanu Talbisil Jahmiyah, 1/555)
Beberapa jenis dalil dan contoh yang menyebutkan keberadaan Allah di atas seluruh makhuknya adalah sebagai berikut.
Pertama, dalil tegas yang menyatakan bahwa Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo dan diawali huruf min). Seperti firman Allah,
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
“Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka.” (QS. An Nahl : 50)
Kedua, dalil tegas yang menyatakan bahwa Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo, tanpa diawali huruf min). Contohnya seperti firman Allah Ta’ala,
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
“Dan Dialah yang berkuasa berada di atas sana.” (QS. Al An’am : 18, 61)
Ketiga, dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata ta’ruju). Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabbnya.” (QS. Al Ma’arij : 4).
Sesuatu yang naik pasti dari bawah ke atas.
Keempat, dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata yas’udu). Seperti firman Allah Ta’ala,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Al Ma’arij : 4)
Terdapat pula contoh dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِتَّقُوْا دَعْوَةَ المَظْلُوْمِ فَإِنَّهَا تَصْعُدُ إِلَى اللهِ كَأَنَّهَا شَرَارَةٌ
“Berhati-hatilah terhadap do’a orang yang terzholimi. Do’anya akan naik (dihadapkan) pada Allah bagaikan percikan api.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Yang dimaksud dengan ‘bagaikan percikan api’ adalah cepat sampainya (cepat terkabul) karena do’a ini adalah do’a orang yang dalam keadaan mendesak. (Al Jami’ Al Kabir, 1/806, Asy Syamilah)
Kelima, dalil tegas yang menyatakan sebagian makhluk diangkat kepada-Nya (dengan menggunakan kata rofa’a).
Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya ..” (QS. An Nisa’ : 158)
Keenam, dalil tegas yang menyatakan ‘uluw (ketinggian) Allah secara mutlak mencakup ketinggian secara dzat, qodr, dan syarf. Seperti firman Allah Ta’ala (pada ayat kursi),
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah : 255)
Begitu pula dalam ayat,
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Saba’ : 23)
Juga kitas sering mengucapkan dzikir berikut ketika sujud,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Maha suci Rabbku Yang Maha Tinggi.” (HR. Muslim no. 772)
Dalil-dalil yang menyatakan Allah ‘Maha Tinggi’ di sini sudah termasuk menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi secara Dzat-Nya yaitu Allah berada di atas.
Ketujuh, dalil yang menyatakan Al Kitab (Al Qur’an) diturunkan dari sisi-Nya. Sesuatu yang diturunkan pasti dari atas ke bawah. Firman Allah Ta’ala yang menjelaskan hal ini,
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
“Kitab (Al Quraan ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Az Zumar : 1)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan : 3)
Kedelapan, dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’. Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis sama’ di sini ada dua:
• Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit
• Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian
Dua makna di atas tidaklah bertentangan.
Contoh dalil tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk : 16)
Juga terdapat dalam hadits,
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
“Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Ar Rahman. Sayangilah penduduk bumi, niscaya (Rabb) yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Daud no. 4941 dan At Tirmidzi no. 1924. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Kesembilan, ayat tegas yang menyatakan Allah beristiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi dan paling besar. Contoh ayat tersebut adalah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5)
Kesepuluh, dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
“Sesungguhnya Rabb kalian –Tabaroka wa Ta’ala- Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu pada hamba-Nya, jika hamba tersebut mengangkat tangannya kepada-Nya, lalu Allah mengembalikannya dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Daud no. 1488. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Kesebelas, dalil yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di setiap malam. Semua orang sudah mengetahui bahwa turun adalah dari atas ke bawah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kami –Tabaroka wa Ta’ala turun setiap malamnya ke langit dunia. Hingga ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ‘Siapa saja yang berdo’a pada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya. Siapa saja yang meminta pada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Siapa saja yang memohon ampunan pada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya’.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
Kedua belas, dalil yang menanyakan ‘aynallah’ (di mana Allah?).
Contohnya dalil dari hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy dengan lafazh dari Muslim,
“Saya memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara Uhud dan Al Jawaniyyah (daerah di dekat Uhud, utara Madinah, pen). Lalu pada suatu hari dia berbuat suatu kesalahan, dia pergi membawa seekor kambing. Saya adalah manusia, yang tentu juga bisa timbul marah. Lantas aku menamparnya, lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkara ini masih mengkhawatirkanku. Aku lantas berbicara pada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskan budakku ini?” “Bawa dia padaku,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berujar. Kemudian aku segera membawanya menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budakku ini,
أَيْنَ اللَّهُ
“Di mana Allah?”
Dia menjawab,
فِى السَّمَاءِ
“Di atas langit.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
مَنْ أَنَا
“Siapa saya?”
Budakku menjawab,
أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ
“Engkau adalah Rasulullah.”
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.” (HR. Ahmad [5/447], Malik dalam Al Muwatho’ [666], Muslim [537], Abu Daud [3282], An Nasa’i dalam Al Mujtaba’ [3/15], Ibnu Khuzaimah [178-180], Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah [1/215], Al Lalika’iy dalam Ushul Ahlis Sunnah [3/392], Adz Dzahabi dalam Al ‘Uluw [81])
Inilah di antara macam dalil yang dibawakan oleh para ulama dan lebih khusus lagi disebutkan Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi. Orang yang memperhatikan dalil-dalil di atas dengan seksama pasti akan mengatakan bahwa Allah berada di atas langit, berada di ketinggian, di atas seluruh makhluk-Nya.
Pembahasan ini masih bersambung pada perkataan sahabat, tabi’in dan para ulama mengenai keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya, di atas langit.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal
Panggang, Gunung Kidul, 16 Rabi’ul Akhir 1430 H