DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Selasa, 09 November 2010

Ciri Khas Akhwat Salafiyyah

Oleh : Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i Rohimahuuloh.
Ciri khas Akhwat Salafiyyah:
1. Ia berpegang teguh kepada Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa ala aalihi wa sallam dalam hukum-hukum sesuai dengan kemampuannya dengan pemahaman Salafush Sholih.
2. Dan juga selayaknya baginya untuk bermuamalah dengan sesama muslim dengan muamalah yang baik, bahkan kepada orang-orang kafir.
Alloh azza wa jalla berfirman dalam kitab-Nya yang mulia :
وقولوا للناس حسنا
“serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia” (Al-Baqoroh : 83)
Dan firman Alloh :
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” [an-nissa 58].
Dan juga firman-Nya :
وإذا قلتم فاعدلوا
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil “ (Al-An’am : 158)
Dan firman Alloh subhanahu wa ta’ala :
يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين إن يكن غنيا أو فقيرا فالله أولى بهما فلا تتبعوا الهوى أن تعدلوا وإن تلووا أو تعرضوا فإن الله بما تعملون خبيرا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (An-Nisa’ : 135)
3. Wajib baginya untuk mengenakan pakaian yang Islami dan menjauhkan diri dari tasyabbuh (menyerupai) terhadap musuh-musuh Islam.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Abdulloh bin Umarrodhiyallohu anhuma dia berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
من تشبه بقوم فهو منهم
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut.”
Dan firman Alloh tentang pakaian :
يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يُعرفن فلا يُؤذين
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dan diriwayatkan dari at-Tirmidzi dalam Jami’nya dari hadits Abdulloh bin Mas’udrodhiyallohu anhu ta’ala, dia berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wa aalihi wa sallam bersabda :
المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان
“Wanita itu aurat apabila dia keluar maka syaiton akan mengikutinya.”
4. Dan kami nasehatkan kepadanya untuk berbuat baik kepada suaminya jika ia menghendaki kehidupan yang bahagia. Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت لعنتها الملائكة ” متفق عليه . وفي صحيح مسلم : ” إلا كان الذي في السماء غاضبا عليها
Bila seseorang mengajak isterinya ke tempat tidurnya (untuk berhubungan), dan ia menolak untuk memenuhinya, maka ia dilaknat oleh malaikat.” Muttafaqun alaihi.
Dan dalam riwayat Muslim : “melainkan yang di langit akan murka kepadanya.”

5. Dia juga harus mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang islami.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam shohihnya dari hadits Abdulloh bin Umar rodhiyallohu anhuma, dia berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wa sallambersabda :
كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban tentang kepemimpinannya”
Dan menyebutkan tentang wanita bahwasanya dia :
راعية في بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها
“Pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”
dan dalam Shohihain dari hadits Ma’qil bin Yasar rodhiyallohu anhu dia berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
ما من راع يسترعيه الله رعيه ، ثم لم يحطها بنصحه إلا لن يجد رائحة الجنة
“Berapa banyak seorang pemimpin yang diberikan amanah oleh Alloh untuk memimpin kemudian ia tidak menjaganya dengan memberi nasihat kepadanya, kecuali dia tidak mendapatkan bau surga.”
Maka tidak sepatutnya baginya lebih menyibukkan diri dalam berdakwah daripada mendidik anak-anaknya.
6. Selayaknya baginya untuk ridho terhadap hukum Alloh tentang keutamaan laki-laki atas wanita, sebagaimana firman Alloh subhanahu wa ta’ala :
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain” (An-Nisa’ : 32)
Dan firman Alloh :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله به بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن اطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya“ (An-Nisa’ : 34)
Dan dalam kitab shohihain dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu, dia berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wa aalihi wa sallam bersabda :
استوصوا بالنساء خيرا فإنهن خُلقن من ضِلع ، وإن أعوج ما في الضِلع أعلاه ، فإن ذهبت تقيمه كسرته ، وإن تركته لم يزل به عوج
“Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau berusaha meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya, jika dibiarkan maka ia akan tetap bengkok. ” (Muttafaq ‘alaih)
Maka selayaknya bagi seorang wanita harus bersabar terhadap apa yang ditakdirkan Alloh atasnya dari keutamaan laki-laki atasnya. Akan tetapi maknanya bukanlah memperbudaknya.
Rosul shollallohu alaihi wa sallam bersabda dalam Jami’ at-Tirmidzi :
استوصوا بالنساء خيرا ، فإنما هن عوان عندكم ، لاتملكون منهن غير ذلك ألا وإن لكم في نساءكم حقا ، ألا وإن لنسائكم عليكم حقا ، فحقكم عليهن أن لا يوطئن فرشكم من تكرهون ولا يأذنّ في بيوتكم من تكرهون ، وحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن في طعامهن وكسوتهن
“Hendaklah kalian berbuat baik kepada wanita. Karena mereka laksana tawanan kalian. Kalian tidak berkuasa terhadap mereka sedikitpun selain itu. Ketahuilah bahwa kalian mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh istri-istri kalian, dan mereka juga mempunyai hak yang harus kalian penuhi. Adapun hak kalian yang harus dipenuhi oleh istri kalian adalah mereka tidak boleh mengijinkan seorangpun berada di tempat tidur kalian dan tidak mengijinkan masuk ke dalam rumah kalian orang yang kalian benci. Sedangkan hak istri kalian yang wajib kalian penuhi adalah memberikan makanan dan pakaian kepada mereka dengan baik “.
Dan dalam Kitab Sunan dan Musnad Imam Ahmad dari hadits Mu’awiyah bin Haidah, bahwa seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rosululloh apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap kami?” Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjawab :
أن تطعمها إذا أطعمت ، وتكسوها إذا اكتسيت ، ولا تضرب الوجه ولا تقبح ، ولا تهجر إلا في البيت
“Kamu memberinya makan jika kamu makan, kamu berikan pakaian kepadanya jika kamu berpakaian, jangan memukul wajahnya, jangan menjelek-jelekkannya, dan janganlah kamu meninggalkannya kecuali di dalam rumah.”
Maka – Semoga Alloh memberkati kalian- Seharusnya kita semua tolong-menolong dalam kebaikan, laki-laki bergaul dengan istrinya dengan pergaulan yang Islami serta menolongnya dalam menuntut ilmu dan dakwah kepada Alloh, dan begitu juga istri bergaul dengan suaminya dengan pergaulan yang Islami serta menolongnya dalam menuntut ilmu dan dakwah kepada Alloh, dan juga dalam pengaturan yang baik terhadap apa-apa yang berhubungan dengan rumah.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman :
تعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” ( Al-Ma’idah : 2)
Wallohul Musta’an.

Hukum Wanita Berangkat Haji Tanpa Mahrom

Oleh : Al-Ustadz Ahmad Sabiq Hafidzohulloh

Masjidil-HaramDatangnya bulan Dzul-Hijjah selalu mengingatkan kaum muslimin akan keagungan ibadah haji, sebuah ibadah yang dikatakan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Umroh kepada umroh lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhori: 1773, Muslim: 1349)
Namun sangat disayangkan, semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah mulia ini terkadang tidak sebanding dengan semangat mereka agar ibadahnya sesuai dengan sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dan tidak melanggar aturan syar’i. Banyak terjadi di lapangan bahwa haji sebagian kaum muslimin hanyalah sekedar formalitas belaka.
Larangan Bagi Wanita Safar Tanpa Mahrom
Ketahuilah wahai ukhti (saudari muslimah), bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam secara tegas melarang wanita mengadakan safar (perjalanan jauh) kecuali bersama mahromnya. Dia antara dalilnya ialah :
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا
Dari Abu Sa’id al-Khudri rodhiyallohu anhu berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Alloh dan hari akhir untuk melakukan safar selama tiga hari atau lebih kecuali bersama bapaknya, anak laki-lakinya, atau mahromnya yang lain.” (HR.Muslim : 1340)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ : عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ تُسَافِرُ المَرْأَةُ يَوْمَينِ إِلاَّ مَعَ زَوْجِهَا أَوْ ذِيْ مَحْرَمٍ
Dari Abdulloh bin Amr bin Ash rodhiyallohu anhu dari Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita mengadakan safar selama dua hari kecuali bersama suami atau mahromnya yang lain.” (HR.Ibnu Khuzaimah : 2522 dengan sanad shohih).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا.
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu berkata : Rosulullohu shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah untuk melakukan safar selama satu malam kecuali bersama mahromnya.” (HR.Muslim : 1339)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنهما – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ »
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu berkata : Rosulullohu shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Alloh dan hari akhir untuk melakukan safar selama satu malam tanpa mahromnya.” (HR.Bukhori : 10 1339)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُسَافِرُ امْرَأَةٌ بَرِيْدًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ،
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu berkata : Rosulullohu shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita safar sepanjang satu barid kecuali bersama mahromnya.” (HR.Abu dawud : 1725, Ibnu Khuzaimah : 2526 dengan sanad shohih)
Hadits-hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa seorang wanita muslimah dilarang safar kecuali bersama mahromnya. Dan ini adalah kesepakatan para ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar rodhiyallohu anhu dari Imam Baghowi rodhiyallohu anhu beliau berkata : “Para ulama tidak berselisih bahwa seorang wanita tidak boleh safar yang bukan wajib kecuali harus dengan suami atau mahromnya, kecuali kalau dia itu seorang wanita kafir lalu masuk Islam padahal dia masih tinggal di negeri kafir harbi, atau seorang wanita tawanan perang lalu bisa melepaskan diri.” (Fathul Bari 4/76).
Adapun tentang perbedaan batasan waktu yang terdapat dalam beberapa hadits di atas, dikatakan oleh al-Hafizh rohimahulloh : “Sebagian besar ulama mengamalkan hadits di atas secara umum karena adanya perbedaan batasan waktu dalam beberapa hadits di atas. Berkata Imam An-Nawawi rohimahulloh :’Bukanlah maksudnya dibatasi (larangan safar, pent) dengan waktu tersebut bahkan semua yang dinamakan dengan safar, maka seorang wanita terlarang melakukannya kecuali kalau bersama mahromnya. Batasan tersebut hanya menunjukkan pada yang terjadi saat itu, maka tidak dapat dipahami bahwa kebalikannya berarti boleh.’” (Fathul Bari 4/75)
Yang menguatkan pemahaman ini adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berikut ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ ، وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، اكْتُتِبْتُ فِى غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا ، وَخَرَجَتِ امْرَأَتِى حَاجَّةً . قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma bahwasanya beliau mendengar Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita dan janganlah seorang wanita melakukan safar kecualibersama mahromnya.” Maka ada seseorang yang berdiri seraya bertanya : “Wahai Rosululloh, saya terdaftar untuk berangkat perang ini dan itu, sedangkan istri saya ingin safar melakukan haji.” Maka Rosululloh shollallohu bersabda :”Pergilah dan berangkatlah haji bersama istrimu.” (HR.Bukhori : 3006, Muslim : 1341)
Hadits ini tidak membatasi dengan batasan tertentu, tapi dengan lafazh umum bahwa seorang wanita tidak boleh mengadakan safar kecuali bersama mahromnya. Oleh karena itu Imam Ibnu Hibban rohimahulloh dalam kitab Shohih-nya : 2731 membuat judul pada hadits ini dengan mengatakan : Larangan wanita safar, baik jaraknya sebentar maupun lama tanpa adanya mahrom bersamanya.”
Siapakah mahrom?
Berkata Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh “Mahrom adalah suami dan orang-orang yang haram menikah dengan dia selamanya, baik haromnya karena hubungan nasab atau karena sebab lainnya. Adapun orang yang suatu ketika boleh menikah dengannya maka bukan termasuk mahrom, seperti budak laki-lakinya atau suami saudarinya (saudara ipar).” (lihat al-Mughni 3/238)
Berkata Imam an-Nawawi rohimahulloh :”Hakikat mahrom yang menjadikan seorang laki-laki boleh melihat, berduaan, dan safar dengan seorang wanita adalah setiap laki-laki yang harom menikah dengannya untuk selamanya dengan sebuah sebab yang mubah.”
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh :”Dalam pandangan para ulama, mahrom adalah seorang yang harom menikah dengan wanita tersebut selamanya dengan sebuah sebab yang mubah karena kemahromannya. Imam Ahmad rohimahullohmengecualikan bapak yang masih kafir, beliau berkata :’Bapak yang masih kafir bukan mahrom bagi anak perempuannya yang muslimah karena kalau berduaan dengannya tidak ada rasa aman dalam agamanya.”(Fathul Bari 4/77)
Setelah menyebutkan perkataan al-Hafizh ini Imam as-Syaukani rohimahullohberkata :”Konsekuensi dari perkataan Imam Ahmad, maka semua kerabat yang masih kafir hukumnya seperti bapak yang masih kafir karena sebabnya sama.” (Nailul Author 5/17)
Berkata Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh :”Orang kafir bukan mahrom bagi wanita muslimah, walaupun (wanita itu) anak perempuannya sendiri.” (al-Mughni 3/238)
Masalah :
Apakah anak kecil yang belum baligh bisa sebagai mahrom?
Berkata Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh :”Syarat seorang mahrom adalah baligh dan berakal. Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak kecil bisa sebagai mahrom?” Beliau menjawab : “Tidak, sehingga ia baligh karena dia tidak bisa mengurusi dirinya sendiri, lalu bagaimana kalau keluar safar bersama seorang wanita? Yang demikian ini disebabkan tujuan dari mahrom adalah untuk menjaga wanita, sedangkan ini tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh laki-laki yang sudah baligh dan berakal.” (al-Mughni 3/238)
Untuk mengetahui lebih luas mengenai pembahasan mahrom, lihat kembali majalah AL-FURQON thn ke-2 edisi 3-4 rubrik Nisa’.
Kalau untuk berangkat haji, bolehkah tanpa mahrom?
Masalah ini harus diperinci:
1. Kalau haji itu bukan haji wajib, tetapi haji sunnah, misalkan haji kedua dan seterusnya; maka jumhur ulama mengatakan harom safar seorang wanita untuk melakukan haji sunnah tanpa mahrom berdasarkan keumuman hadits-hadits di atas. Bahkan Syaikh Abu Malik hafidhohulloh menyatakan bahwa ini adalah kesepakatan ulama (lihat Shohih Fiqhus Sunnah 2/165)
    Berkata Imam an-Nawawi rohimahulloh : “Yang shohih dengan kesepakatan para ulama dan inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i bahwa tidak boleh seorang wanita melakukan itu, karena itu bukan safar wajib.” (al-Majmu;7/87).
    2. Namun kalau untuk safar haji wajib, maka terdapat khilaf di kalangan ulama.
      Sebagian di antara mereka mengatakan tetap harom, dan wanita menjadi gugur kewajiban hajinya kalau tidak ada mahrom yang menyertainya. Ini adalah madzhab Hanabilah dan Hanafiyyah (lihat al-Mughni 3/230 dan al-Bada’i 3/1089)
      Dan sebagian ulama lainnya membolehkan tanpa mahrom untuk safar haji wajib, dengan syarat jalan menuju Makkah aman dan dia bersama jama’ah wanita terpercaya. Ini adalah madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah (lihat Bidayatul Mujtahid1/348 dan al-Majmu’ 7/68)
      Dan inilah dalil masing-masing madzhab :
      Dalil para ulama yang membolehkan :
      Para ulama yang membolehkan,berdalil dengan beberapa hal berikut ini :
      a. Firman Alloh Ta’ala :
        وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
        ……Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu (bagi) orang yang sanggup (mampu) mengadakan perjalanan ke Baitulloh…(QS.Ali Imron [3]:97)
        Ayat ini telah ditafsirkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bahwa makna kemampuan adalah mampu bekal dan kendaraan wajib haji walaupun tanpa adanya mahrom.
        b. Sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
          عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ.
          Dari Abdulloh bin Umar rodhiyallohu anhuma berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Alloh untuk mendatangi masjid-masjid Alloh.” (HR.Bukhori : 900)
          Mereka mengatakan bahwa Masjidil Harom yang menjadi tujuan safar haji juga termasuk masjid, yang konsekuensinya tidak boleh melarang wanita pergi ke sana.
          c. Sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam kepada Adi bin hatim rodhiyallohu anhu dalam sebuah hadits panjang, di antara lafadznya :
            عَنْ عَدِىِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ ، فَشَكَا قَطْعَ السَّبِيلِ . فَقَالَ يَا عَدِىُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ . قُلْتُ لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا . قَالَ فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ ، لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللَّهَ
            Dari Adi bin Hatim rodhiyallohu anhu berkata : Tatkala saya bersama Nabi shollallohu alaihi wa sallam tiba-tiba ada seorang datang dan mengadukan tentang kefakirannya. Kemudian datang seseorang lainnya lalu mengadukan tentang perampokan di jalanan, maka Rosululloh shollalohu alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Adi apakah engkau mengetahui daerah Hiroh” Saya menjawab “Saya belum pernah melihatnya namun saya pernah mendengar beritanya.”Lalu beliau shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Kalau engkau berumur panjang, niscaya engkau akan lihat seorang wanita safar dari daerah Hiroh sehingga dia thowaf di ka’bah, dia tidak takut kecuali hanya kepada Alloh saja.” (HR. Bukhori : 3595)
            Dalam hadits ini Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bahwa nantinya kalau Islam sudah mencapai kejayaannya, maka ada seorang wanita yang safar dari Hiroh menuju Makkah tanpa teman namun tidak takut kecuali hanya kepada Alloh saja, dan ini menunjukkan bolehnya safar tanpa mahrom.
            d. Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu mengizinkan para Ummahatul Mu’minin untuk melakukan perjalanan ibadah haji, lalu mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrohman bin Auf rodhiyallohu anhuma untuk menemani mereka. (HR.Bukhori).
            c. Dalil qiyas, yaitu perjalanan haji ini adalah wajib, maka tidak mengapa tanpa mahrom, seperti seorang wanita yang berada di negeri kafir harbi lalu masuk Islam, maka boleh baginya untuk pergi safar ke negeri Islam tanpa mahrom. Begitu juga kalau seorang muslimah menjadi tawanan perang di kalangan kafir lalu berhasil melepaskan diri maka boleh pergi tanpa mahrom.
              Dalil para ulama yang tidak membolehkan :
              Adapun dalil yang digunakan oleh para ulama tentang tidak bolehnya wanita haji tanpa mahrom adalah keumuman larangan safar wanita tanpa mahrom pada hadits-hadits di atas. Dan tidak diragukan lagi bahwa pergi haji adalah safar. Maka hukumnya berlaku umum selagi belum ada yang mengkhususkan, sebagaimana hal ini diketahui bersama dalam kaidah ushul fiqih.
              Pendapat yang kuat :
              Setelah pemaparan pendapat kedua madzhab, maka yang rojih (kuat) insya Alloh adalah pendapat para ulama yang mengatakan tidak bolehnya wanita safar tanpa mahrom secara mutlak meskipun untuk melaksanakan haji wajib.
              Hal ini karena beberapa hal :
              1. Keumuman hadits-hadits yang melarang wanita safar tanpa mahrom. Bahkan hadits riwayat Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma di atas sangat tegas bahwa meskipun safar itu untuk haji, maka Rosululloh shollallohu alaihi wa sallammemerintahkan suaminya untuk meninggalkan perangnya dan menyertai istrinya haji.
              2. Adapun argumen yang digunakan oleh para ulama yang memperbolehkan safar wanita untuk haji wajib tanpa mahrom apabila jalan menuju Makkah aman dan bersama para wanita yang terpercaya, maka bisa dijawab sebagai berikut : penafsiran “kemampuan” yang terdapat dalam ayat tersebut dengan bekal dan kendaraan saja adalah penafsiran yang didasari oleh sebuah hadits yang lemah, dan yang zhohir, mahrom masuk dalam makna kemampuan.
              Lajnah Da’imah tatkala ditanya seputar masalah ini berkata : “Tidak boleh (seorang wanita) menunaikan ibadah haji hanya didampingi oleh wanita walaupun bibi atau ibunya atau laki-laki bukan mahromnya, namun harus ditemani oleh suaminya atau laki-laki yang masih ada hubungan mahrom. Jika tidak mendapatkan mahrom yang menjadi pendampingnya maka (wanita tersebut) tidak berkewajiban menunaikan ibadah haji karena dia dianggap tidak mampu, berdasarkan firman Alloh QS. Ali Imron [3] : 97.” (Lihat Fatwa Lajnah Da’imah 11/91 no. 4909)
              Adapun hadits “Janganlah kalian melarang para wanita menuju masjid Alloh”, harus dibawa kepada makna masjid-masjid yang bisa didatangi tanpa safar. Dan yang menguatkan pemahaman ini adalah bahwa para ulama membawa hadits ini pada masalah sholat wanita jama’ah di masjid kampung mereka.
              Adapun Umar rodhiyallohu anhu mengizinkan para Ummahatul Mu’minin –rodhiyallohu anhunna- untuk berangkat haji,perkara ini bisa dijelaskan dengan beberapa jawaban :
              1. Ini perbuatan seorang sahabat, sehingga tidak bisa menentang sesuatu yang marfu’kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
              2. Ummahatul Mu’minin rodhiyallohu anhunna harom dinikahi oleh seluruh kaum muslimin
              3. Perjalanan Ummahatul Mu’minin –rodhiyallohu anhunna- saat itu di bawah pengawasan ketat Amirul Mu’minin Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu, maka berbeda dengan yang lainnya.
              4. Hal ini hanya terjadi pada Ummahatul Mu’minin rodhiyallohu anhunna- saja, dan Umar rodhiyallohu anhu maupun para sahabat rodhiyallohu anhum lainnya tidak pernah mengizinkan pada wanita lainnya.
              Adapun hadits tentang adanya wanita yang akan safar sendirian ke Makkah yang tidak takut kecuali hanya kepada Alloh, maka hadits ini hanya menunjukkan (sebagai pemberitaan) bahwa itu akan terjadi pada saat Islam mencapai kejayaannya dan tidak menunjukkan bolehnya hal itu.
              Adapun mengqiyaskan dengan wanita yang berada di daerah kafir atau yang terlepas dari tawanan, maka dijawab bahwa itu adalah dalam keadaan terpaksa, dan semua wanita yang dalam keadaan terpaksa maka dia boleh mengadakan safar tanpa mahrom; namun harus diukur sesuai dengan kadarnya yang sesuai dengan kadar keterpaksaannya. Adapun haji tidak ada unsur keterpaksaan baginya.
              Oleh karena itu Al-Baghowi rohimahulloh berkata setelah membawakan hadits larangan safar di atas : “Hadits ini menunjukkan bahwa wanita tidak wajib menjalankan ibadah haji apabila tidak ada mahrom yang keluar (menemani) safar bersamanya. Ini adalah madzhab Ibrohim an-Nakho’i, Hasan al-Bashri, ats-Tsauri, Imam Ahmad dan ashhabur ro’yi. Namun ada sebagian ulama yang mewajibkannya safar haji bersama wanita lainnya, ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik. Namun pendapat pertamalah yang lebih utama karena zhohir haditsnya demikian.” (Lihat Syarhus Sunnah 7/20)
              (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ oleh Syaikh Mushthofa al-Adawi 2/457 dan Mausu’ah Manahi Syar’iyyah oleh Syaikh salim al-Hilali 2/102)
              Faedah :
              1. Wanita yang pergi haji tanpa mahrom, hajinya tetap sah meskipun dia berdosa karena telah melakukan safar tanpa mahrom
              2. Seorang wanita hendaknya jangan memaksakan diri pergi tanpa mahrom, karena masih banyak ibadah lainnya yang bisa dikerjakan tanpa adanya mahrom.
              Wallohu A’lam
              [Disalin dari Majalah al-Furqon Edisi 05 Tahun VI // Dzul Hijjah 1427 [Januari 2007]