DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Selasa, 09 November 2010

Hukum Wanita Berangkat Haji Tanpa Mahrom

Oleh : Al-Ustadz Ahmad Sabiq Hafidzohulloh

Masjidil-HaramDatangnya bulan Dzul-Hijjah selalu mengingatkan kaum muslimin akan keagungan ibadah haji, sebuah ibadah yang dikatakan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Umroh kepada umroh lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhori: 1773, Muslim: 1349)
Namun sangat disayangkan, semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah mulia ini terkadang tidak sebanding dengan semangat mereka agar ibadahnya sesuai dengan sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dan tidak melanggar aturan syar’i. Banyak terjadi di lapangan bahwa haji sebagian kaum muslimin hanyalah sekedar formalitas belaka.
Larangan Bagi Wanita Safar Tanpa Mahrom
Ketahuilah wahai ukhti (saudari muslimah), bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam secara tegas melarang wanita mengadakan safar (perjalanan jauh) kecuali bersama mahromnya. Dia antara dalilnya ialah :
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا
Dari Abu Sa’id al-Khudri rodhiyallohu anhu berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Alloh dan hari akhir untuk melakukan safar selama tiga hari atau lebih kecuali bersama bapaknya, anak laki-lakinya, atau mahromnya yang lain.” (HR.Muslim : 1340)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ : عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ تُسَافِرُ المَرْأَةُ يَوْمَينِ إِلاَّ مَعَ زَوْجِهَا أَوْ ذِيْ مَحْرَمٍ
Dari Abdulloh bin Amr bin Ash rodhiyallohu anhu dari Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita mengadakan safar selama dua hari kecuali bersama suami atau mahromnya yang lain.” (HR.Ibnu Khuzaimah : 2522 dengan sanad shohih).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا.
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu berkata : Rosulullohu shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah untuk melakukan safar selama satu malam kecuali bersama mahromnya.” (HR.Muslim : 1339)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنهما – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ »
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu berkata : Rosulullohu shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Alloh dan hari akhir untuk melakukan safar selama satu malam tanpa mahromnya.” (HR.Bukhori : 10 1339)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُسَافِرُ امْرَأَةٌ بَرِيْدًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ،
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu berkata : Rosulullohu shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita safar sepanjang satu barid kecuali bersama mahromnya.” (HR.Abu dawud : 1725, Ibnu Khuzaimah : 2526 dengan sanad shohih)
Hadits-hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa seorang wanita muslimah dilarang safar kecuali bersama mahromnya. Dan ini adalah kesepakatan para ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar rodhiyallohu anhu dari Imam Baghowi rodhiyallohu anhu beliau berkata : “Para ulama tidak berselisih bahwa seorang wanita tidak boleh safar yang bukan wajib kecuali harus dengan suami atau mahromnya, kecuali kalau dia itu seorang wanita kafir lalu masuk Islam padahal dia masih tinggal di negeri kafir harbi, atau seorang wanita tawanan perang lalu bisa melepaskan diri.” (Fathul Bari 4/76).
Adapun tentang perbedaan batasan waktu yang terdapat dalam beberapa hadits di atas, dikatakan oleh al-Hafizh rohimahulloh : “Sebagian besar ulama mengamalkan hadits di atas secara umum karena adanya perbedaan batasan waktu dalam beberapa hadits di atas. Berkata Imam An-Nawawi rohimahulloh :’Bukanlah maksudnya dibatasi (larangan safar, pent) dengan waktu tersebut bahkan semua yang dinamakan dengan safar, maka seorang wanita terlarang melakukannya kecuali kalau bersama mahromnya. Batasan tersebut hanya menunjukkan pada yang terjadi saat itu, maka tidak dapat dipahami bahwa kebalikannya berarti boleh.’” (Fathul Bari 4/75)
Yang menguatkan pemahaman ini adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berikut ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ ، وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، اكْتُتِبْتُ فِى غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا ، وَخَرَجَتِ امْرَأَتِى حَاجَّةً . قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma bahwasanya beliau mendengar Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita dan janganlah seorang wanita melakukan safar kecualibersama mahromnya.” Maka ada seseorang yang berdiri seraya bertanya : “Wahai Rosululloh, saya terdaftar untuk berangkat perang ini dan itu, sedangkan istri saya ingin safar melakukan haji.” Maka Rosululloh shollallohu bersabda :”Pergilah dan berangkatlah haji bersama istrimu.” (HR.Bukhori : 3006, Muslim : 1341)
Hadits ini tidak membatasi dengan batasan tertentu, tapi dengan lafazh umum bahwa seorang wanita tidak boleh mengadakan safar kecuali bersama mahromnya. Oleh karena itu Imam Ibnu Hibban rohimahulloh dalam kitab Shohih-nya : 2731 membuat judul pada hadits ini dengan mengatakan : Larangan wanita safar, baik jaraknya sebentar maupun lama tanpa adanya mahrom bersamanya.”
Siapakah mahrom?
Berkata Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh “Mahrom adalah suami dan orang-orang yang haram menikah dengan dia selamanya, baik haromnya karena hubungan nasab atau karena sebab lainnya. Adapun orang yang suatu ketika boleh menikah dengannya maka bukan termasuk mahrom, seperti budak laki-lakinya atau suami saudarinya (saudara ipar).” (lihat al-Mughni 3/238)
Berkata Imam an-Nawawi rohimahulloh :”Hakikat mahrom yang menjadikan seorang laki-laki boleh melihat, berduaan, dan safar dengan seorang wanita adalah setiap laki-laki yang harom menikah dengannya untuk selamanya dengan sebuah sebab yang mubah.”
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh :”Dalam pandangan para ulama, mahrom adalah seorang yang harom menikah dengan wanita tersebut selamanya dengan sebuah sebab yang mubah karena kemahromannya. Imam Ahmad rohimahullohmengecualikan bapak yang masih kafir, beliau berkata :’Bapak yang masih kafir bukan mahrom bagi anak perempuannya yang muslimah karena kalau berduaan dengannya tidak ada rasa aman dalam agamanya.”(Fathul Bari 4/77)
Setelah menyebutkan perkataan al-Hafizh ini Imam as-Syaukani rohimahullohberkata :”Konsekuensi dari perkataan Imam Ahmad, maka semua kerabat yang masih kafir hukumnya seperti bapak yang masih kafir karena sebabnya sama.” (Nailul Author 5/17)
Berkata Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh :”Orang kafir bukan mahrom bagi wanita muslimah, walaupun (wanita itu) anak perempuannya sendiri.” (al-Mughni 3/238)
Masalah :
Apakah anak kecil yang belum baligh bisa sebagai mahrom?
Berkata Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh :”Syarat seorang mahrom adalah baligh dan berakal. Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak kecil bisa sebagai mahrom?” Beliau menjawab : “Tidak, sehingga ia baligh karena dia tidak bisa mengurusi dirinya sendiri, lalu bagaimana kalau keluar safar bersama seorang wanita? Yang demikian ini disebabkan tujuan dari mahrom adalah untuk menjaga wanita, sedangkan ini tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh laki-laki yang sudah baligh dan berakal.” (al-Mughni 3/238)
Untuk mengetahui lebih luas mengenai pembahasan mahrom, lihat kembali majalah AL-FURQON thn ke-2 edisi 3-4 rubrik Nisa’.
Kalau untuk berangkat haji, bolehkah tanpa mahrom?
Masalah ini harus diperinci:
1. Kalau haji itu bukan haji wajib, tetapi haji sunnah, misalkan haji kedua dan seterusnya; maka jumhur ulama mengatakan harom safar seorang wanita untuk melakukan haji sunnah tanpa mahrom berdasarkan keumuman hadits-hadits di atas. Bahkan Syaikh Abu Malik hafidhohulloh menyatakan bahwa ini adalah kesepakatan ulama (lihat Shohih Fiqhus Sunnah 2/165)
    Berkata Imam an-Nawawi rohimahulloh : “Yang shohih dengan kesepakatan para ulama dan inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i bahwa tidak boleh seorang wanita melakukan itu, karena itu bukan safar wajib.” (al-Majmu;7/87).
    2. Namun kalau untuk safar haji wajib, maka terdapat khilaf di kalangan ulama.
      Sebagian di antara mereka mengatakan tetap harom, dan wanita menjadi gugur kewajiban hajinya kalau tidak ada mahrom yang menyertainya. Ini adalah madzhab Hanabilah dan Hanafiyyah (lihat al-Mughni 3/230 dan al-Bada’i 3/1089)
      Dan sebagian ulama lainnya membolehkan tanpa mahrom untuk safar haji wajib, dengan syarat jalan menuju Makkah aman dan dia bersama jama’ah wanita terpercaya. Ini adalah madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah (lihat Bidayatul Mujtahid1/348 dan al-Majmu’ 7/68)
      Dan inilah dalil masing-masing madzhab :
      Dalil para ulama yang membolehkan :
      Para ulama yang membolehkan,berdalil dengan beberapa hal berikut ini :
      a. Firman Alloh Ta’ala :
        وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
        ……Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu (bagi) orang yang sanggup (mampu) mengadakan perjalanan ke Baitulloh…(QS.Ali Imron [3]:97)
        Ayat ini telah ditafsirkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bahwa makna kemampuan adalah mampu bekal dan kendaraan wajib haji walaupun tanpa adanya mahrom.
        b. Sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
          عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ.
          Dari Abdulloh bin Umar rodhiyallohu anhuma berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Alloh untuk mendatangi masjid-masjid Alloh.” (HR.Bukhori : 900)
          Mereka mengatakan bahwa Masjidil Harom yang menjadi tujuan safar haji juga termasuk masjid, yang konsekuensinya tidak boleh melarang wanita pergi ke sana.
          c. Sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam kepada Adi bin hatim rodhiyallohu anhu dalam sebuah hadits panjang, di antara lafadznya :
            عَنْ عَدِىِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ ، فَشَكَا قَطْعَ السَّبِيلِ . فَقَالَ يَا عَدِىُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ . قُلْتُ لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا . قَالَ فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ ، لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللَّهَ
            Dari Adi bin Hatim rodhiyallohu anhu berkata : Tatkala saya bersama Nabi shollallohu alaihi wa sallam tiba-tiba ada seorang datang dan mengadukan tentang kefakirannya. Kemudian datang seseorang lainnya lalu mengadukan tentang perampokan di jalanan, maka Rosululloh shollalohu alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Adi apakah engkau mengetahui daerah Hiroh” Saya menjawab “Saya belum pernah melihatnya namun saya pernah mendengar beritanya.”Lalu beliau shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Kalau engkau berumur panjang, niscaya engkau akan lihat seorang wanita safar dari daerah Hiroh sehingga dia thowaf di ka’bah, dia tidak takut kecuali hanya kepada Alloh saja.” (HR. Bukhori : 3595)
            Dalam hadits ini Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bahwa nantinya kalau Islam sudah mencapai kejayaannya, maka ada seorang wanita yang safar dari Hiroh menuju Makkah tanpa teman namun tidak takut kecuali hanya kepada Alloh saja, dan ini menunjukkan bolehnya safar tanpa mahrom.
            d. Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu mengizinkan para Ummahatul Mu’minin untuk melakukan perjalanan ibadah haji, lalu mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrohman bin Auf rodhiyallohu anhuma untuk menemani mereka. (HR.Bukhori).
            c. Dalil qiyas, yaitu perjalanan haji ini adalah wajib, maka tidak mengapa tanpa mahrom, seperti seorang wanita yang berada di negeri kafir harbi lalu masuk Islam, maka boleh baginya untuk pergi safar ke negeri Islam tanpa mahrom. Begitu juga kalau seorang muslimah menjadi tawanan perang di kalangan kafir lalu berhasil melepaskan diri maka boleh pergi tanpa mahrom.
              Dalil para ulama yang tidak membolehkan :
              Adapun dalil yang digunakan oleh para ulama tentang tidak bolehnya wanita haji tanpa mahrom adalah keumuman larangan safar wanita tanpa mahrom pada hadits-hadits di atas. Dan tidak diragukan lagi bahwa pergi haji adalah safar. Maka hukumnya berlaku umum selagi belum ada yang mengkhususkan, sebagaimana hal ini diketahui bersama dalam kaidah ushul fiqih.
              Pendapat yang kuat :
              Setelah pemaparan pendapat kedua madzhab, maka yang rojih (kuat) insya Alloh adalah pendapat para ulama yang mengatakan tidak bolehnya wanita safar tanpa mahrom secara mutlak meskipun untuk melaksanakan haji wajib.
              Hal ini karena beberapa hal :
              1. Keumuman hadits-hadits yang melarang wanita safar tanpa mahrom. Bahkan hadits riwayat Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma di atas sangat tegas bahwa meskipun safar itu untuk haji, maka Rosululloh shollallohu alaihi wa sallammemerintahkan suaminya untuk meninggalkan perangnya dan menyertai istrinya haji.
              2. Adapun argumen yang digunakan oleh para ulama yang memperbolehkan safar wanita untuk haji wajib tanpa mahrom apabila jalan menuju Makkah aman dan bersama para wanita yang terpercaya, maka bisa dijawab sebagai berikut : penafsiran “kemampuan” yang terdapat dalam ayat tersebut dengan bekal dan kendaraan saja adalah penafsiran yang didasari oleh sebuah hadits yang lemah, dan yang zhohir, mahrom masuk dalam makna kemampuan.
              Lajnah Da’imah tatkala ditanya seputar masalah ini berkata : “Tidak boleh (seorang wanita) menunaikan ibadah haji hanya didampingi oleh wanita walaupun bibi atau ibunya atau laki-laki bukan mahromnya, namun harus ditemani oleh suaminya atau laki-laki yang masih ada hubungan mahrom. Jika tidak mendapatkan mahrom yang menjadi pendampingnya maka (wanita tersebut) tidak berkewajiban menunaikan ibadah haji karena dia dianggap tidak mampu, berdasarkan firman Alloh QS. Ali Imron [3] : 97.” (Lihat Fatwa Lajnah Da’imah 11/91 no. 4909)
              Adapun hadits “Janganlah kalian melarang para wanita menuju masjid Alloh”, harus dibawa kepada makna masjid-masjid yang bisa didatangi tanpa safar. Dan yang menguatkan pemahaman ini adalah bahwa para ulama membawa hadits ini pada masalah sholat wanita jama’ah di masjid kampung mereka.
              Adapun Umar rodhiyallohu anhu mengizinkan para Ummahatul Mu’minin –rodhiyallohu anhunna- untuk berangkat haji,perkara ini bisa dijelaskan dengan beberapa jawaban :
              1. Ini perbuatan seorang sahabat, sehingga tidak bisa menentang sesuatu yang marfu’kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
              2. Ummahatul Mu’minin rodhiyallohu anhunna harom dinikahi oleh seluruh kaum muslimin
              3. Perjalanan Ummahatul Mu’minin –rodhiyallohu anhunna- saat itu di bawah pengawasan ketat Amirul Mu’minin Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu, maka berbeda dengan yang lainnya.
              4. Hal ini hanya terjadi pada Ummahatul Mu’minin rodhiyallohu anhunna- saja, dan Umar rodhiyallohu anhu maupun para sahabat rodhiyallohu anhum lainnya tidak pernah mengizinkan pada wanita lainnya.
              Adapun hadits tentang adanya wanita yang akan safar sendirian ke Makkah yang tidak takut kecuali hanya kepada Alloh, maka hadits ini hanya menunjukkan (sebagai pemberitaan) bahwa itu akan terjadi pada saat Islam mencapai kejayaannya dan tidak menunjukkan bolehnya hal itu.
              Adapun mengqiyaskan dengan wanita yang berada di daerah kafir atau yang terlepas dari tawanan, maka dijawab bahwa itu adalah dalam keadaan terpaksa, dan semua wanita yang dalam keadaan terpaksa maka dia boleh mengadakan safar tanpa mahrom; namun harus diukur sesuai dengan kadarnya yang sesuai dengan kadar keterpaksaannya. Adapun haji tidak ada unsur keterpaksaan baginya.
              Oleh karena itu Al-Baghowi rohimahulloh berkata setelah membawakan hadits larangan safar di atas : “Hadits ini menunjukkan bahwa wanita tidak wajib menjalankan ibadah haji apabila tidak ada mahrom yang keluar (menemani) safar bersamanya. Ini adalah madzhab Ibrohim an-Nakho’i, Hasan al-Bashri, ats-Tsauri, Imam Ahmad dan ashhabur ro’yi. Namun ada sebagian ulama yang mewajibkannya safar haji bersama wanita lainnya, ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik. Namun pendapat pertamalah yang lebih utama karena zhohir haditsnya demikian.” (Lihat Syarhus Sunnah 7/20)
              (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ oleh Syaikh Mushthofa al-Adawi 2/457 dan Mausu’ah Manahi Syar’iyyah oleh Syaikh salim al-Hilali 2/102)
              Faedah :
              1. Wanita yang pergi haji tanpa mahrom, hajinya tetap sah meskipun dia berdosa karena telah melakukan safar tanpa mahrom
              2. Seorang wanita hendaknya jangan memaksakan diri pergi tanpa mahrom, karena masih banyak ibadah lainnya yang bisa dikerjakan tanpa adanya mahrom.
              Wallohu A’lam
              [Disalin dari Majalah al-Furqon Edisi 05 Tahun VI // Dzul Hijjah 1427 [Januari 2007]

              Tidak ada komentar:

              Posting Komentar