DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Sabtu, 27 November 2010

Mengikuti Jalan Yang Bercabang


Syaikh Muhammad bin Musa bin Nasr 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bahwasanya umat ini akan berpecah belah berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan. Dan bahwa umat ini akan mengikuti cara-cara umat-umat sebelumnya selangkah demi selangkah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Artinya : Kalian benar-benar akan mengikuti tata cara umat-umat sebelum kalian, selangkah demi selangkah hingga mereka memasuki lubang biawak kalian pasti mengikutinya. “Para sahabat bertanya : Apakah yang engkau maksudkan Yahudi dan Nashara ?” Beliau menjawab : Kalau bukan (mereka) siapa lagi?” [Muttafaqun ‘alaihi]
Dan seandainya engkau kembali kepada pokok-pokok kelompok yang sesat, tentulah kalian akan mendapati –pokok kembalinya- tercabang dari Yahudi dan Nashara.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan juga bahwasanya perselisihan umat ini akan terjadi lebih banyak dari perselisihan yang terjadi pada Yahudi dan Nashara. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Yahudi dan Nahsrani terpecah belah menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan umatku ini akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya akan masuk neraka kecuali satu saja. Para sahabat bertanya : “Siapa mereka itu wahai Rasulullah ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Mereka itu yang berpemahaman seperti aku dan sahabatku pada hari ini” [Dikeluarkan Tirmidzi dan Ath-Thabrani dalam “Ash-Shaghir” dan “Al-Uqaikili” dalam “Adh-Dhua’afa” dan hadits ini hasan dengan penguatnya]
Hadits ini adalah bagian dari tanda-tanda kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh kita telah melihat perpecahan dan perselisihan. Dan kita membakar degan apinya, dan setiap kali datang satu masa, manusia akan melihat perselisihan lebih banyak dan perpecahan lebih dahsyat dari zaman sebelumnya. Dan inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.
“Artinya : Sesungguhnya siapa saja yang hidup diantara kalian sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaknya kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin sepeninggalku, gigitlah dengan gigi geraham, dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah ….” [Shahih dikeluarkan Tirmidzi dan lainnya]
Para sahabat yang dipanjangkan umurnya mendapatkan awal-awal munculnya perselisihan yang banyak, munculnya kelompok Khawarij, Al-Mutazilah, Ar-Rafidhah, benih-benih Tasawuf, setiap kelompok ini adalah bukti kebenaran hadits ini.
Akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan penyakit dan memberi sifat obatnya, perslisihan adalah penyakit sedangkan obatnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat dengan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin, karena sunnah mereka tidak keluar dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jalan mereka tidak menyimpang dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kebenaran mereka tegakkan, dan dengan kebenaran mereka berbicara, dan pada merekalah kebenaran berdiri dan berbicara. Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih mereka untuk menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka dan merekapun ridha kepadaNya.
Mengada-adakan suatu amalan dalam agama (berbuat bid’ah) adalah dasar kerusakan dan pondasinya, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan darinya dan bersabda.
“Artinya : Hati-hatilah kalian dari perkara-pekara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah”
Dan sebagian dai menyangka banyaknya jama’ah-jama’ah dalam medan dakwah adalah kemunculan yang diridhai, maka kepada mereka ini kami katakan : “Sesungguhnya munculnya banyak jama’ah-jama’ah adalah kemuculan yang membawa penyakit ; karena munculnya banyak jama’ah-jama’ah ini akan mengakibatkan banyaknya perselisihan, dan seluruh perselisihan ini adalah hal yang buruk, dan keburukan itu tidak mendatangkan kebaikan, khususnya bahwa sebagian jama’ah-jama’ah ini ekornya berujung pada sebagian kelompok-kelompok yang membinasakan, seperti perkataan pengkafiran terhadap seseorang yang melakukan perbuatan maksiat dan dosa (sebagaimana kelompok khawarij, -pent), pengingkaran terhadap hadits ahad (kelompok yang berpemahaman seperti ini adalah Hizbut Tahrir, -pent), membantah hadits dan atsar dengan akal dan hawa nafsu, menolak sifat-sifat Allah. Maka dalam jama’ah-jama’ah ini terdapat kebenaran dan kebatilan. Manakala pada jama’ah-jama’ah itu lebih dekat kepada kebenaran maka lebih dekat kepada shirathal mustaqim (jalan yang lurus). Dan manakala menjauh dari kebenaran maka lebih dekat kepada jalannya mereka yang berpecah belah, yaitu tujuh dua kelompok yang akan binasa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu wajib (bagi kita) mengetahui kebatilan pengikutnya serta manhaj mereka agar terjaga dan dapat berhati-hati dari mereka, sebagaimana juga wajib mengetahui jalan orang-orang yang di anugerahi nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, -yaitu jalannya kelompok yang selamat- dan hal ini bisa diketahui dengan ilmu yang shahih yang tegak diatas dalil-dalil dan hujjah yang jelas, dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah.
Dan dasar kita dalam berdiri adalah diatas pemahaman salaf –sebagaimana kami telah menyebutkan dan akan kami sebutkan- : karena merekalah manusia yang paling mengetahui tentang Allah dan RasulNya, dan merekalah yang telah mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan yang nyata ; sebagaimana Allah cintai dan ridhai. Dan Rasulullah telah bersaksi terhadap kebaikan mereka –sebagaimana diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim- beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian sesudah mereka, kemudian sesudah mereka”
Tidak dikenal pada Salafus Shalih perselisihan dalam masalah aqidah. Dan tidak bisa dijadikan alasan/hujjah perselisihan shahabat dalam masalah aqidah.
Ibnu Taimiyyah berkata dalam “Majmu Al-Fatawa 6/394”
“Adapun yang akan aku katakan dan menuliskannya … adalah seluruh ayat-ayat Al-Qur’an tentang sifat-sifat Allah : tidak ada perselisihan dikalangan sahabat tentang takwilnya, sungguh saya telah membaca tafsir-tafsir para sahabat, dan hadits-hadits yang diriwayatkan mereka, dan dengan kehendak Allah saya telah mengetahui kitab-kitab besar maupun kecil, lebih dari 100 tafsir. Maka tidak aku dapati hingga saat ini riwayat dari salah seorang sahabat yang mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits tentang sifat Allah : menyelisihi pemahaman yang diketahui kebenarannya, tetapi justru terdapat riwayat dari mereka yang menegaskan hal itu dan menetapkannya.
Oleh karena itu, membenahi aqidah-aqidah manusia serta memperbaiki manhaj mereka adalah asas dakwah para rasul dan asas setiap dakwah kepada sunnah dan dakwah yang benar ; perselisihan itu tertolak dalam seluruh perkara-perkara syari’at, terlebih lagi dalam masalah aqidah adalah lebih utama, dan tidak mungkin mengumpulkan manusia sebelum membetulkan aqidah mereka, karena yang demikian itu maknanya adalah permusuhan, kegagalan dan merintangi pertolongan Allah terhadap mereka, karena pertolongan Allah tidak akan diturunkan kepada ahli syirik dan khurafat serta para pemuka yang sesat, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan Allah benar-benar akan menolong orang yang menolongNya sesungguhnya Allah amat kuat lagi perkasa” [Al-Hajj : 40]
Maka didalam mengikuti jalan orang-orang yang beriman dan menjauhi jalan-jalan yang Allah dan rasulNya peringatkan darinya terdapat jalan keluar dari fenomena jelek yang kita hidup pada masa kita ini, dan ini adalah yang dipersaksikan oleh Al-Qur’an dan sunnah serta sejarah, lalu apakah kita mengetahuinya ?
[Disalin dari majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi 13 Th. III Shafar 1426H/ April 2005M, hal. 32-34. Penerbit Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]

Saatnya Memahami Islam Dengan Benar


Penyusun: Ummu ‘Abdirrahman

Muroja’ah: Ust. Subhan Khadafi, Lc.
Saudariku, ketahuilah sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memilihkan Islam sebagai agamamu.
“Sesungguhnya agama (yang haq) di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imron 19)
Dan Allah meridhoi Islam, menyempurnakan, dan melengkapinya untukmu agar engkau dapat meraih tujuan hidupmu yang utama yaitu beribadah kepada Allah.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhoi Islam itu sebagai agamamu.” (QS. Al Maidah 3)
Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat terbesar dari berbagai nikmat yang Allah berikan kepada umat ini. Yaitu Allah telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama yang lain dan juga tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka, Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itulah, Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan menjadikannya pula sebagai nabi yang diutus kepada seluruh manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal melainkan apa yang dihalalkannya dan tidak ada yang haram selain apa yang diharamkannya serta tidak ada agama yang benar kecuali agama yang disyari’atkannya.”
Engkau Bisa Meraih Nikmat Islam
Dan saudariku, ketahuilah… engkau belum bisa mendapatkan nikmat Islam dalam hatimu sampai engkau memahaminya dengan benar. Pegangan utama seorang muslimah dalam memahami Islam adalah mengikuti Al Quran dan hadits. Allah telah menjamin akan menganugerahkan keistiqomahan kepada orang-orang yang mengikuti Al Quran, sebagaimana disebutkan tentang perkataan jin dalam Al Quran.
“Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi memimpin kepada jalan kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Ahqoof: 30)
Allah juga menjamin akan memberikan keistiqomahan kepada para pengikut rasul sholallahu ‘alaihi wassalam yang disebutkan dalam firmanNya,
“Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syu’ara: 52)
Realita yang Engkau Hadapi
Pada realitanya, banyak sekali orang yang mengaku ber-ittiba’ (mengikuti) dan memahami Al Quran dan hadits. Sebagaimana para filosof dan orang-orang sufi mengatakan, “Kami adalah orang yang ber-ittiba’ terhadap Al Quran dan hadits dan memahaminya.” Para pengikut filsafat memang mengikuti Al Quran dan hadits, akan tetapi mereka menjadikan nash-nash Al-Qur’an dan hadits tunduk pada tuntutan akal mereka. Dengan demikian mereka sebenarnya telah meninggalkan Al Quran dan hadits dan menjadikan akal mereka sebagai Tuhan. Para pengikut sufi juga mengambil Al Quran dan hadits, namun mereka menjadikan nash-nash keduanya tunduk kepada perasaan mereka. Dengan demikian mereka pun meninggalkan Al Quran dan hadits dan menjadikan perasaan mereka sebagai Tuhan.
Kedua pemahaman tersebut merupakan contoh bahwa perpecahan telah terjadi pada umat Islam menjadi bergolong-golong. Mengapa umat Islam bisa berpecah belah? Tidak lain hal ini disebabkan manusia bersandar pada dirinya dalam memahami Al Quran dan hadits. Namun mereka tidak menyadari pemikiran manusia berbeda-beda dan tidak seragam. Di samping itu, kemampuan manusia dalam memahami Al Quran dan hadits sangat terbatas. Tidak ada satu akal pun yang sempurna, demikian juga tidak ada seorang pun yang terlepas dari kesalahan. Sehingga jadilah manusia berpecah-belah sesuai dengan pemikiran mereka masing-masing.
Semua pemahaman dari golongan-golongan tersebut salah adanya selama meraka masih berpegang pada hawa nafsu yang buruk dalam memahami Al Quran dan hadits, kecuali orang–orang yang Allah berikan petunjuk. Allah mengancam penyelewengan mereka terhadap Al Quran dan hadits dengan neraka.
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlul kitab terpecah menjadi 72 golongan dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. 72 golongan di dalam neraka dan 1 golongan berada di surga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimi, Ath Thabroni, dll.)
Ash Shan’ani rahimahullah berkata, “Penyebutan bilangan dalam hadits itu bukan untuk menjelaskan banyaknya orang yang celaka dan merugi, akan tetapi untuk menjelaskan betapa luas jalan-jalan menuju kesesatan serta betapa banyak cabang-cabangnya, sedangakan jalan menuju kebenaran hanya satu.”
Dan orang-orang yang berpecah-belah karena memahami Al Quran dan hadits dengan hawa nafsu mereka yang menyimpang adalah teman-teman setan yang mengikuti jalan kesesatan.
Dari Ibnu Mas’ud berkata, “Pada suatu hari Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam membuat sebuah garis lurus dan bersabda: ‘Ini adalah jalan Allah.’ Kemudian beliau membuat garis-garis lain di kanan kirinya, dan bersabda: ‘Ini jalan-jalan lain dan pada setiap jalan ini terdapat setan yang menyeru ke jalan-jalan tersebut.’ Beliau lalu membaca (firman Allah ta’ala): ‘Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus. Oleh karena itu, ikutilah. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain yang akan memecah belah kamu dari jalanNya.’” (QS. Al An’am 153)
Lalu, Bagaimana Memahami Islam yang Benar ?
Setelah menilik realita yang ada, kita dapat mengetahui bahwa tidak semua orang yang belajar Al Quran dan hadits mendapatkan nikmat Islam dalam hatinya. Hal ini memang merupakan hal yang sangat disayangkan. Semua golongan-golongan dalam Islam tidak akan pernah mendapat nikmat Islam karena tidak memahami Al Quran dan hadits dengan benar. Lalu, bagaimana memahami Islam yang benar?
Wahai saudariku, renungkanlah apa yang engkau baca dengan lisanmu setiap engkau sholat maka engkau akan mendapatan jawabannya. Sesungguhnya Allah berfirman, “Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat atas mereka.” (Qs. Al Fatihah: 6-7)
Dari sini, engkau mendapatkan jawabannya, saudariku! Bahwa untuk mendapatkan nikmat Islam adalah memahami Al Quran dan hadits dengan mengikuti orang-orang yang telah terlebih dahulu mendapatkan nikmat Islam. Siapakah mereka?
Ibnul Qoyyyim berkata, “Siapa saja yang lebih mengetahui kebenaran serta istiqomah mengikutinya maka ia lebih pantas untuk mendapatkan ash shiraathal mustaqiim (jalan yang lurus).”
Syaikh Abdul Malik Ramadhani menjelaskan bahwa manusia yang paling utama yang telah Allah beri nikmat ilmu dan amal adalah para shahabat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam, karena mereka mendapatkan petunjuk langsung dari Rasul shollallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Dengan demikian penafsiran dan pemahaman merekalah yang paling selamat. Selain itu, mereka adalah generasi terbaik dari umat ini dalam memahami Al Quran dan hadits serta mengamalkannya.
“Sebaik-baik umat ini adalah generasiku, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka, kemudian orang yang mengikuti mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi/ HR. Bukhori Muslim)
Yang dimaksud dengan generasiku adalah para shahabat beliau. Generasi orang yang mengikuti para shahabat dalam memahami Al Quran dan hadits adalah tabi’in dan yang mengikuti tabi’in adalah tabi’ut tabi’in.
Para shahabat merupakan kaum yang dipilihkan oleh Allah untuk menemani nabiNya, dan menegakkan agamaNya.
Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Allah memandang kepada hati para hambaNya. Dia mendapati Muhammad adalah yang paling baik hatinya. Lalu Allah memilihnya untuk diriNya dan mengutusnya dengan risalahNya. Kemudian Allah kembali memandang hati hamba-hambaNya yang lain. Dia mendapati para shahabat adalah orang-orang yang paling baik hatinya setelah beliau shollallahu ‘alaihi wasallam. Allah lalu jadikan mereka sebagai pembantu NabiNya dan mereka berperang membela agamaNya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad)
Dan pemahaman para shahabat sering juga disebut manhaj salafus sholih (pemahaman pendahulu yang sholih).
Wajibnya Berpegang Teguh pada Manhaj Salafus Sholih
Ketahuilah saudariku bahwa perpecahan umat menjadi bergolong-golong adalah tercela dan dibenci. Allah ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, (yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Ruum: 31-32)
Dan meskipun perpecahan tidak diridhoi oleh Allah, namun hanya sedikit orang yang bisa selamat darinya. Dan tidaklah seseorang selamat dari bencana ini kecuali orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah bersabda yang artinya: “Orang-orang Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan orang-orang Nashrani seperti itu juga. Adapun umat ini terpecah menjadi 73 golongan.” didalam riwayat lain disebutkan: “Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku terpecah menjadi 73 golongan semuanya di neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang (selamat) itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “(Yang mengikuti aku dan para sahabatku).” (HR.Tirmidzi dengan sanad yang hasan)
Allah hanya menginginkan kebaikan dari para hambaNya agar hambaNya kembali kepada kampung halamannya, yaitu surga. Oleh karena itu, diwajibkan atas seorang hamba untuk menyelamatkan diri dari perpecahan dan berpegang teguh pada jalan Rasulullah dan para sahabatnya.
Rasulullah saw bersabda dalam hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu yang artinya, “Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rosyidin, pegang eratlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain)
Allah memuji orang-orang yang mengikuti jejak salaf dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan di dalamnya terdapat perintah akan wajibnya mengikuti mereka, karena keridhoan Allah tidak mungkin bisa diraih melainkan hanya dengan mengikuti mereka.
Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Hidayah untuk kembali kepada Allah dan meraih surga hanya bisa diperoleh lewat jalannya para sahabat radhiyallahu ’anhum.
Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 137)
Allah mengancam orang yang durhaka kepada Rasulullah dan menyelisihi kaum mukmin pada zamannya (yaitu shohabat) dengan neraka jahannam.
“Barangsiapa yang mendurhakai Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan kaum mukmin, Kami biarakan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam, jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)
Ya Allah… mudahkanlah kami menempuh jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat atas mereka, yaitu orang-orang yang memeperoleh hidayah dan istiqomah. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, yang hati mereka telah rusak sehingga mereka menyimpang dari kebenaran meskipun telah mengetahuinya. Bukan pula jalan orang-orang yang sesat yang tidak memiliki dan tidak mau belajar ilmu agama, sehingga mereka terus-menerus dalam kesesatan dan tidak mendapatkan petunjuk kepada kebenaran. Amiin….
Washollallahu ‘ala Nabiyyi Muhammad wa ‘ala alihi wa Shahbihi wa sallam
Rujukan:
Sittu Duror Landasan Membangun Jalan Selamat karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani
Membedah Akar Bid’ah karya Ali Hasan Al Halabi Al Atsari
Artikel ‘Sudah Saatnya Meniti Manhaj Salaf’ yang merupakan penjelasan Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali dalam ceramah beliau dalam Majalah As Sunnah edisi 01/Tahun XI/ 1428H/2007M 

Menegakkan Islam dengan Cara Islam


Judul di atas menggambarkan upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan syariat Islam dengan cara yang sesuai dengan Islam. Meskipun kenyataan faktual banyak upaya yang dilakukan umat Islam dalam menegakkan kalimat Allah itu dengan berbagai cara. Adakalanya Islami tapi parsial, ada pula yang tidak Islami tetapi berusaha melegitimasi dengan dalil-dalil syar'i dengan lebih banyak bersifat ijthadi pada saat ada dalil. Sebab, ijtihad dilakukan pada saat tidak ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.

Karenanya, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi Muslim, umpamanya, menekankan perjuangan Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para ekonom Muslim menganalisis, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah, mereka mengemukakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah umat Islam ini kembali berpegang kepada Islam agar mereka jaya, tanpa memperinci lebih jauh apa dan bagaimana merealisasikannya, dst. ... dst.
Maka dari itu, tema ini menjadi penting untuk dibahas dalam rangka merekonstruksi perjuangan umat Islam dalam menegakkan dinullah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta perjalanan salafus shaleh sepanjang sejarah perjuangan umat Islam.
Tujuan
Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak pada hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karenanya, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.
Allah SWT telah berfirman (yang artinya): "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286). "Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (An-Nisa: 84). "Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu." Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan kita, yaitu: "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).
Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhoi Allah SWT. "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang nampak, maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah, hlm. 1).
Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokusnya adalah kita sementara acuannya adalah syariat Islam. Karenanya tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya, tetapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti menegakkan Islam tidak penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat Muslim sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).
Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).
Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah berkhianat. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).
Dalam istilah fiqh bahwa tanggung jawab personal itu fardhu 'ain, sedangkan tanggung jawab kolektif adalah fardhu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardhu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardhu 'ain (individu). Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardhu 'ainnya sekaligus melaksanakan fardhu kifayahnya. Kalau tidak, maka seluruh umat berdosa.
Teladan Rasulullah
Gambaran di atas akan lebih jelas pada personifikasi Rasulullah saw. sebagai teladan bagi perjuangan umat Islam. Dan, mempelajari perjalanan perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong, seperti mereka yang terperangkap dengan mengkotak-kotakkan masa Mekah dan masa Madinah. Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkannya secara sempurna. Makanya, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu secara komprehensif dan mempaktikkannya sesuai dengan kapasitas dan kondisi kita, seperti firman Allah SWT: "Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian ...." (Ath-Thaghabun: 16). Dan, Rasulullah saw. memberikan arahan atas kelengkapan syariat Islam yang harus kita pedomani:
"Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka janganlah kalian meninggalkannya; dan telah memberikan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia mengharamkan sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya)." (HR Daruqutni, hadits hasan). Dan, beliau menekankan pegangan yang harus dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan: "Maka, barang siapa yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang banyak. Maka, hendaklah kalian (mengikuti) sunnahku dan juga sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham dan hendaklah kalian menjauhui perkara-perkara yang diciptakan (bid'ah, red.), karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat."
(HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan).
Secara ringkas kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam. Nabi saw. ketika berada di Mekah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang matang ditugasi menyampaikan dakwah, seperti Mushab bin 'Umair yang dikirim ke madinah.
Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif tetapi tidak cocok. Kemudian beliau lebih memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian beliau membangunn masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempaan para kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama Muslim dengan mempersaudarakan antara Muhajirin (dari Mekah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat Piagam Madinah untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-Muslim. Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar sampai 27 kali belaiu berperang antara perang defensif dan ofensif (seperti Perang Tabuk).
Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun aqidah yang benar sampai kesatuan langkah, yaitu kepada tegaknya kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat, DR. Rabi' bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya, hlm. 87).
Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan "jihad". Beliau membagi jihad ini menjadi 4 bagian:
Jihad menundukkan hawa nafsu meliputi 4 tahap.
  1. Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
  2. Jihad melaksanakan ilmu yang diperolehnya itu, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti dan bahkan membahayakan.
  3. Jihad dengan berdakwah berdasarkan ilmu yang benar dan praktik nyata.
  4. Jihad menekan diri agar sabar terhdap cobaan dakwah berupa gangguan manusia (empat hal inilah makna yang terkandung dalam surah Al-Ashr, yang kata Imam Syafi'i seandainya Allah tidak menurunkan ayat kecuali Al-'Ashr, niscaya cukup bagi manusia).

Jihad melawan syaitan meliputi dua hal.
  1. Jihad melawan pemikiran syaitan berupa syubhat dan keragu-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah dengan keyakinan.
  2. Jihad melawan syaitan yang membisikan agar terjerumus kepada syahwat, hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan berpuasa. (Lihat QS As-Sajdah: 2).

Jihad melawan kaum kufar dan munafikin melalui 4 tahap.
  1. Dengan kalbu
  2. Dengan lisan
  3. Dengan harta
  4. Dengan tangan

Jihad melawan kaum kuffar lebih utama dengan tangan, sementara terhadap kaum munafikin dengan lisan.

Jihad melawan kezaliman, kemungkaran, dan bid'ah ditempuh melalui tiga tahap.
  1. Dengan tangan kalau mampu, kalau tidak
  2. dengan lisan, kalau tidak mampu
  3. minimal dengan hati. (HR Muslim).

Demikian 13 tingkatan jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zaadul Ma'ad, Juz 3 hlm. 6-12).
Benar kata Umar bin Khattab dalam ungkapan spektakulernya, yang artinya, "Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, seandainya kami mencari selainnya, niscaya kami akan dihinakan oleh Allah."
Juga ucapan Imam Malik, "Tidaklah urusan umat ini akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah menjadikan umat terdahulu menjadi baik." Wallahu a'lam.