DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Minggu, 07 November 2010

Al-Qur’an Bilang Teladani Rasulullah, Zaenuddin MZ Bilang Teladani Mbah Maridjan

oleh Abu Namira Hasna Al-Jauziyah pada 07 November 2010 jam 6:19

Masyarakat mungkin masih hafal sebagian ungkapan Zaenuddin MZ yang pernah dijuluki da’I sejuta umat dalam hal penyelisihan sikap orang terhadap Al-Qur’an, kurang lebihnya, ZMZ itu bilang; Al-Qur’an bilang ke utara, orang bilang ke selatan.
Pengibaratan itu mudah sekali difahami masyarakat, sehingga dia menjadi da’I yang terkenal. Tetapi apa hendak di kata, ketika apa yang dia tunjuki untuk masyarakat itu dia kacaukan sendiri. Di antaranya, Al-Qur’an jelas menegaskan uswah hasanah (teladan yang baik) itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan para pengikutnya yang setia. Namun ZMZ justru menyuara untuk meneladani Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi yang bertugas memimpin upacara labuh sesaji (upacara kemusyrikan, dosa paling besar dan dapat membatalkan keislaman) untuk roh Kyai Sapu jagat dan lainnya yang dipercayai secara batil sebagai penunggu Gunung merapi dan diyakini sebagai yang menjaga keselamatan Yogyakarta. Ini sangat-sangat batil.
Ini jelas-jelas lebih buruk dibanding ungkapan Al-Qur’an bilang ngalor, orang bilang ngidul. Karena Rasulullah adalah utusan Allah Ta’ala, bahkan sayyidul mursalin, penghulu para Rasul. Sedangkan Mbah Maridjan adalah pemimpin labuh sesaji untuk syetan.

Ayat tentang pentingnya meneladani Rasulullah dalam Al-Qur’an, sebagai berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [الأحزاب/21]
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab/ 33: 21).
Di samping itu Allah juga mengungkap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai teladan:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ [الممتحنة/4]


Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya[1470]: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.”

[1470]. Nabi Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah : Ini tidak boleh ditiru, karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang kafir (lihat surat An Nisa ayat 48).
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salllam dan Nabi Ibrahim alaihis salam itulah yang dalam Al-Qur’an disebut suri tauladan yang baik bagimu. Tetapi tahu-tahu ada da’I kondang yang justru bersuara lain, yakni untuk meneladani Mbah Maridjan.
Inilah beritanya:

NASIONAL - TOKOH

Senin, 01 November 2010 , 06:17:00

Zainuddin M.Z. Teladani Mbah Marijan

DI mata KH Zainuddin M.Z., kuncen (juru kunci) Gunung Merapi almarhum Mbah Marijan merupakan sosok yang langka dan patut diteladani. Zainuddin beralasan, konsistensi dan keikhlasan Mbah Marijan dalam menjalani profesinya tergolong sangat jarang bisa dilakoni banyak orang.
“Saya salut dengan Mbah Marijan. Loyalitas dan integritasnya dalam menjalankan amanah patut diteladani. Sungguh mahluk yang langka di Indonesia,” kata mantan ketua umum DPP Partai Bintang Reformasi (PBR) tersebut ketika menunggu penerbangan ke Jogjakarta di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, kemarin (31/10).
Tokoh kelahiran Jakarta, 2 Maret 1951, itu mengatakan, sebenarnya dirinya ingin berceramah di masjid Mbah Marijan (masjid di seberang rumah Mbah Marijan di Dusun Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, Red). Keinginan tersebut belum bisa terwujud selama ini.
Pemilik nama lengkap Zainuddin Muhammad Zein itu mengatakan, kedatangannya ke Jogja kali ini merupakan bentuk apresiasi kepada para korban Merapi dan almarhum Mbah Marijan. “Saya rela menunggu di bandara karena Garuda delay hingga lima jam. Sebab, bagaimanapun, ini dilakukan demi masyarakat Jogja yang sedang berduka,” ujar pria yang dijuluki dai sejuta umat itu.
Pria yang digosipkan pernah menjalin hubungan asmara dengan pedangdut Aida Zaskia tersebut mengatakan tidak masalah jika harus berceramah dengan menggunakan masker. Hal itu disebabkan abu vulkanis dalam volume besar menutupi daerah di sekitar kawasan Merapi. “Ini pengalaman pertama kalau harus ngasih ceramah pakai masker,” candanya. (dms/c8/dwi)

Demikianlah kekaguman ZMZ terhadap Mbah maridjan, hingga dia harapkan untuk diteladani. Padahal, apa kiprah Mbah
Maridjan itu? Inilah kiprahnya:
Mbah Maridjan Tak Bisa Iringi Labuhan Ageng di Gunung Merapi
Selasa, 13 Juli 2010 09:00:00
SLEMAN (KRjogja.com) - Labuhan Gunung Merapi tahun ini bertepatan dengan Tahun Dal, sehingga pelaksanaannya pun berbeda dengan tahun-tahun lainnya. Sayangnya, pada Labuhan Ageng ini, juru kunci Gunung Merapi Ki Surakso Hargo (Mbah Maridjan) tidak bisa mengiringi perjalanan Labuhan menuju Kendit 2, karena kondisinya belum pulih.
Pemimpin ritual labuhan yang juga putra ke-3 Mbah Maridjan, Asih mengatakan jika ayahnya sudah 2 tahun ini tidak mengikuti prosesi labuhan hingga usai. “Sejak operasi Hernia, bapak memang sudah tidak kuat untuk perjalanan jauh. Selain itu, usianya juga sudah sepuh,” terangnya sebelum prosesi upacara, Selasa (13/7) pagi.
Meski tanpa diikuti oleh juru kunci, namun prosesi labuhan sendiri tetap berjalan dengan khidmat. Asih menyatakan, labuhan ini merupakan hajat dari Ngarso Dalem HB X yang dilakukan tiap 1 Ruwah atau 30 Rajab. “Kami dari keluarga juru kunci Gunung Merapi serta para abdi dalem yang ada disini hanya menjalankan perintah kraton. Tujuannya tak lain untuk menjaga keselamatan warga Yogyakarta dan sekitarnya,” imbuhnya.
Karena pada tahun ini merupakan Labuhan Ageng, maka prosesinya pun juga berbeda pada tahun sebelumnya. Jika biasanya labuhan hanya dilakukan di Pantai Parangkusumo dan Gunung Merapi, maka kali ini juga dilakukan di perbukitan Ndlipih Wonogiri.
Pantai Parangkusumo dan perbukitan Ndlipih merupakan tempat pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul. Sementarara Gunung Merapi merupakan salah satu unsur pengadeg atau kekuatan Mataram, yakni Laut Selatan-Keraton-Merapi.
Selain itu, yang membedakan pada Labuhan Ageng ini yakni pada uba rampe sesaji yang dilabuh. Pada labuhan biasanya sesaji tersebut berupa kain Sinjang Kawung, Semekan Gadung, Semekan Gadung Melati dan Destar Dara Muluk. Sedangkan pada Labuhan Ageng ditambah dengan pelana kuda.
“Asal mula labuhan ini juga sangat panjang. Terjadi pada masa Kerajaan Mataram dan berkaitan dengan Kyai Sapu Jagad, Empu Rama, Empu Ramadi, Krincing Wesi, dan para penjaga Gunung Merapi yang lain. Ini sudah menjadi budaya leluhur Kraton Ngayogyakarta untuk terus dilakukan,” papar Asih.
Sementara prosesinya sudah dimulai Senin (12/7) kemarin. Yakni penyerahan uba rampe dari Keraton menuju rumah Mbah Maridjan yang melewati Kecamatan Depok dan Cangkringan. Sesampainya di rumah juru kunci Gunung Merapi, uba rampe sesaji tersebut disambut dengan pawai oleh masyarakat setempat. Kemudian diinapkan selama satu malam dengan tirakatan, selamatan serta wayangan dengan lakon ‘Wahyu Makuto Romo’.
Baru pada pagi hari tadi sekitar pukul 06.00 WIB dilakukan doa yang dipimpin oleh Mbah Maridjan kemudian uba rampe sesaji dibawa menuju Kendit 2. Jarak dari rumah Mbah Maridjan menuju Kendit 2 kurang lebih 8 km dengan waktu tempuh selama 2 jam. Sesampai disana, sesaji digelar dan diberi doa-doa sebagai puncak labuhan. (Dhi)
Ketika masih aktif, Mbah Maridjan yang langsung memimpin upacara sesaji untuk Thaghut (syetan, apa saja yang disembah selain Allah Ta’ala). Inilah beritanya yang lebih njelas:
16-Aug-2007
RAGAM

Mbah Marijan Pimpin Labuhan Jumenengan HB X

indosiar.com, Yogyakarta - Juru Kunci Gunung Merapi Mbah Maridjan Rabu (15/08/07) kemarin, memimpin prosesi labuhan hajat dhalem Keraton Kasultanan Yogyakarta dikawasan lereng Gunung Merapi.
Labuhan tersebut digelar sebagai bentuk penghormatan kepada Kyai Sapu Jagat yang diyakini sebagai roh penunggu Gunung Merapi yang menjaga keselamatan dan ketentraman warga Yogyakarta.
Labuhan yang digelar Rabu kemarin atau bertepatan dengan tanggal 1 Ruwah, Tahun Komariah diawali dari kampung Juru Kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan di Dusun Kinah Rejo, Umbulharjo, Cangkringan.
Para peserta berjalan kaki menyusuri lereng Merapi dengan membawa berbagai perlengkapan sesaji. Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam, Mbah Maridjan beserta rombongan sampai di pos pendakian kedua atau Bukit Kendit sebagai tempat labuhan. Setelah melakukan doa bersama, prosesi dilanjutkan dengan acara selamatan yang kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat.
Ditempat ini mereka disuguhi tari-tarian. Tradisi Labuhan Merapi ini merupakan bentuk penghormatan kepada Kyai Sapu Jagat yang diyakini sebagai roh penunggu Gunung Merapi yang menjaga keselamatan dan ketentraman Kesultanan serta warga Yogyakarta. (Sudaryono/Sup)
Sumber: indosiar.com

Itu Upacara Kemusyrikan

Upacara dengan aneka rangkaiannya untuk menghormnati roh yang dianggap sebagai penjaga keselamatan itu adalah bentuk syirik atau kemusyrikan, dosa paling besar dan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Pelakunya disebut musyrik. Berikut ini penjelasannya:
orang yang menyembah selain Allah adalah orang paling sesat sejagad raya. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُ وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاء وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru kepada sesembahan-sesembahan selain Allah, sesuatu yang jelas-jelas tidak dapat mengabulkan doa hingga hari kiamat, dan sesembahan itu juga lalai dari doa yang mereka panjatkan. Dan apabila umat manusia nanti dikumupulkan (pada hari kiamat) maka sesembahan-sesembahan itu justru akan menjadi musuh serta mengingkari peribadatan yang dilakukan oleh para pemujanya.” (QS. Al Ahqaf: 5-6)
dosa kesyirikan akan menghapuskan semua pahala amal shalih, betapapun banyak amal tersebut. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada para Nabi sebelum engkau, ‘Jika kamu berbuat syirik maka pastilah seluruh amalmu akan lenyap terhapus dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Allah mengharamkan surga dimasuki oleh orang yang berbuat syirik. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang zhalim tersebut.” (QS. Al Maa’idah: 72)

Apa Syirik Itu?

Syirik adalah bahaya yang sangat serius, bagaikan virus ganas yang bisa mengganggu kesehatan iman.Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami, seorang ulama dari kalangan madzhab Syafi’iyah, mengingatkan bahwa iman itu bercabang-cabang, demikian juga dengan kekafiran dan kemusyrikan. Orang yang menjalankan cabang-cabang iman sekaligus tersangkut cabang-cabang kemusyrikan, bisa disebut musyrik. Iman seseorang tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila hanya separuh-separuh; separuh iman, separuh kafir. Ia wajib tunduk seraya meyakini terhadap apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dan dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengamalkannya. Orang yang beriman kepada sebagian ajaran al-Qur’an dan tidak beriman kepada sebagian yang lain, termasuk orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan tentang orang-orang seperti ini,
وَيَقُوْلُوْنَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَّخِذُوْا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيْلاً
“Orang-orang kafir itu mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan kafir).” (An-Nisa: 150)
Sekadar mengucapkan dua kalimat syahadat, masih menurut Ahmad bin Hajar, tidak akan berguna hingga mau mengamalkan tuntutan yang terkandung dalam dua kalimat syahadat, yaitu melepaskan diri dari menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’alasaja. Namun, beliau mengingatkan, agar tidak terburu-buru menuduh seseorang yang melakukan tindakan syirik sebagai kafir atau musyrik, sebelum menjelaskan kepadanya tentang kekeliruannya tersebut. Barangkali orang tersebut tidak memahami masalah tersebut karena kebodohannya. Apabila sudah dijelaskan tentang masalah syirik, tetapi tetap menjalankannya, maka barulah bisa disebut sebagai musyrik. (Bayanu al-Syirk wa Wasa-iluhu ‘inda Ulama al-Syafi’iyah karya Dr. Muhammad Abdurrahman al-Khumais).

sumber : (nahimunkar.com).

Kritikan Ilmiah untuk Penentang Dakwah Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab

semoga Allah meneguhkan hati setiap ahli tauhidSesungguhnya Alloh telah berjanji menjaga kemurnian agama-Nya, dengan membangkitkan sebagian hamba-Nya untuk berjuang membela agama dan membantah ahli bid’ah, para pengekor hawa nafsu, yang seringkali menyemarakkan agama dengan kebid’ahan dan mempermainkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah seperti anak kecil mempermainkan tali mainannya. Mereka memahami nash-nash dengan pemahaman yang keliru dan lucu. Hal itu karena mereka memaksakan dalil agar sesuai dengan selera hawa nafsu.


Setelah penulis mencoba membaca tulisan yang dikirim ke kolom komentar, ternyata hanya keheranan yang saya dapati. Bagaimana tidak? Tulisan tersebut tiada berisi melainkan kebohongan dan kedustaan, sampai-sampai betapa hati ini ingin sekali berkata kepada seseorang yang menamakan dirinya Ferdian Al Faqier , ”Alangkah beraninya anda berdusta! Tidakkah anda takut ADZAB NERAKA?!”

Sungguh banyak sekali kebohongan yang kudapati dan disini ana tdk akan membahas SIAPA SYEIHK MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB karena Alhamdulillah sudah dibantah dengan sangat ilmiyah oleh saudara Andi Auza'i, namun yang menarik perhatian kita untuk menjadi topik bahasan rubrik hadits adalah ucapannya yang berkaitan tentang “hadits” sebagai berikut:

”Sungguh Nabi SAW telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau SAW dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih Bukhari & Muslim dan lainnya”. Di antaranya:

الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى الْمَشْرِقِ

Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana, sambil menunjuk ke arah timur (Nejed). HR. Muslim dalam Kitabul Fitan

يَخْرُجُ نَاسٌ مِنَ الْمَشْرِقِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لاَ يَعُوْدُوْنَ فِيْهِ حَتَّى يَعُوْدَ السَّهْمُ إِلَى فَوْقِهِ سِيْمَاهُمْ التَّحْلِيْقُ. رواه البخاري

Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak anah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ke tempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur. HR. Bukhari no 7123, Juz 6 hal 20748. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Hibban.

Nabi SAW pernah berdoa

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا

Ya Alloh, berikanlah kami berkah dalam negara Syam dan Yaman.

Para sahabat bertanya: Dan dari Nejed wahai Rasulullah, beliau berdoa: Ya Alloh, berikanlah kami berkah dalam negara Syam dan Yaman, dan pada yang ketiga kalinya beliau SAW bersabda:

هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ وَفِيْ رِوَايَةٍ قَرْنَا الشَّيْطَانِ

Di sana (Nejed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk Syetan. Dalam riwayat lain: Dua tanduk Syetan.

Bani Hanifah adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Su’ud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid Alwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahhab…”.

Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya seperti yang dikatakan oleh Sayyid Abdur Rahman al-Ahdal: “Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahhab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah SAW itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian”.

Al Allamah Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah Al-Haddad menyebutkan dalam kitabnya “Jala’udz Dzolam” sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi SAW:

سَيَخْرُجُ فِيْ ثَانِيْ عَشَرَ قَرْنًا فِيْ وَادِيْ بَنِيْ حَنِيْفَةَ رَجُلٌ كَهَيْئَةِ الثَّوْرِ لاَيَزَالُُ يَلْعَقُ بَرَاطِمَهُ يَكْثُرُ فِيْ زَمَانِهِ الْهَرَجُ وَالْمَرَجُ يَسْتَحِلُّوْنَ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَيَتَّخِذُوْنَهَا بَيْنَهُمْ مَتْجَرًا وَيَسْتَحِلُّوْنَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ

Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah Bani Hanifah seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin”. Al-Hadits.

INILAH BANTAHANNYA: (Silahkan baca dengan seksama saudara Ferdian Al Faqier )
Demikianlah teks ucapannya sebagaimana termuat dalam Majalah ”Cahaya Nabawiy” Edisi 33 Th. III Sya’ban 1426 H (September 2005 M) hal. 15-17 tanpa saya kurangi atau tambahi (adapun penulisan cetak tebal dalam beberapa kata atau kalimat adalah dari admin blog). Ucapan di atas mendorong penulis menanggapinya dalam tiga point pembahasan:

I. Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab Adalah Fitnah Nejed?([2])

Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh saudara Masun Said Alwy di atas bukanlah hal baru melainkan hanyalah daur ulang dari para pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini, semisal al-Haddad dalam Mishbahul Anam hal. 5-7, al-A’jili dalam Kasyful Irtiyab hal. 120, Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah hal. 54([3]), Muhammad Hasan al-Musawi dalam al-Barahin al-Jaliyyah hal. 71, an-Nabhani dalam ar-Raiyah ash-Sughra hal. 27, dan lain-lain dari orang-orang yang hatinya disesatkan Alloh. Semuanya berkoar bahwa maksud ”Nejed” dalam hadits-hadits di atas adalah Hijaz (Saudi Arabia sekarang) dan maksud fitnah yang terjadi adalah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab!

Kebohongan ini sangat jelas bagi orang yang dikaruniai hidayah ilmu dan diselamatkan dari hawa nafsu, ditinjau dari beberapa segi:

A. Hadits itu saling menafsirkan

Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan lafazh-lafazhnya, niscaya tidak samar lagi baginya penafsiran makna Nejed yang benar dalam hadits ini. Dalam lafazh yang dikeluarkan Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 12/384 no.13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud: Menceritakan kami Ubaidullah bin Abdullah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari Ibnu Umar – dengan lafazh:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا. فَقَالَهَا مِرَارًا, فَلَمَّا كَانَ فِيْ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا؟ قَالَ: إِنَّ بِهَا الزَّلاَزِلَ وَالْفِتَنَ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

Wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami, wahai Alloh berkahi kami dalam Yaman kami. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami?” Beliau menjawab, ”Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.”

* Sanad hadits ini bagus. Ubaidullah seorang yang dikenal haditsnya, sebagaimana kata Imam Bukhari dalam Tarikh al-Kabir 5/388/1247. Ibnu Abi Hatim berkata dalam al-Jarh wat Ta’dil 5/322 dari ayahnya, ”Shalih (bagus) haditsnya.”

* Dan dikuatkan dalam riwayat Ya’qub al-Fasawi dalam al-Ma’rifah 2/746-748, al-Mukhallish dalam al-Fawa’id al-Muntaqah 7/2-3, al-Jurjani dalam al-Fawa’id 2/164, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 6/133, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimsyaq 1/120 dari jalur Taubah al-‘Anbari dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya dengan lafazh:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَكَّتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَدِيْنَتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ صَاعِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِيْ مُدِّنَا. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَأَعْرَضَ عَنْهُ, فَرَدَّدَهَا ثَلاَثًا, كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ الرَّجُلُ: وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَيُعْرِضُ عَنْهُ, فَقَالَ: بِهَا الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

Wahai Alloh berkahilah kami dalam Makkah kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Madinah kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami. Wahai Alloh, berkahilah kami dalam sha’ kami dan berkahilah kami dalam mudd kami. Seorang bertanya, ”Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan mengulangi tiga kali. Namun tetap saja orang tersebut mengatakan, ”Dalam Iraq kami.” Nabi pun berpaling darinya seraya bersabda, ”Di sanalah kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.” (Sanad hadits ini shahih, sesuai syarat Bukhari-Muslim)

* Imam Muslim dalam Shahihnya 2905 meriwayatkan dari Ibnu Fudhail dari ayahnya, dia berkata, ”Saya mendengar ayahku Salim bin Abdullah bin Umar berkata:

يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ! مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ الصَّغِيْرَةِ وَأَرْكَبَكُمْ عَنِ الْكَبِيْرَةِ, سَمِعْتُ أَبِيْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : إِنَّ الْفِتْنَةَ تَجِيْئُ مِنْ هَا هُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ, مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

Wahai penduduk Iraq! Alangkah seringnya kalian bertanya tentang masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar! Saya mendengar ayahku Abdullah bin Umar mengatakan, ”Saya mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ’Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini –beliau sambil mengarahkan tangannya ke arah timur–, dari situlah muncul tanduk setan….’”

Riwayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa maksud ”arah timur” adalah Iraq sebagaimana dipahami oleh Salim bin Abdullah bin Umar.

* Al-Khaththabi berkata dalam I’lam Sunan 2/1274, ”Nejed: arah timur. Bagi penduduk kota Madinah, nejednya adalah Iraq dan sekitarnya. Asli makna ’Nejed’ adalah setiap tanah yang tinggi, lawan kata dari ’Ghaur’ yaitu setiap tanah yang rendah seperti Tihamah (sebuah kota di Makkah–pen) dan Makkah. Fitnah itu muncul dari arah timur dan dari arah itu pula keluar Ya’juj dan Ma’juj serta Dajjal sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.”

* Demikian pula dijelaskan oleh para ulama lainnya seperti:

1. al-‘Aini dalam Umdatul Qari 24/200,2. al-Kirmani dalam Syarh Shahih Bukhari 24/168,3. al-Qashthalani dalam Irsyad Sari 10/181,4. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/47,5. dan sebagainya.

Hal ini dapat kita temukan juga dalam kitab-kitab kamus bahasa Arab seperti al-Qamus al-Muhith oleh ar-Razi dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur, dan dalam kitab-kitab gharib hadits seperti an-Nihayah fi Gharib Hadits oleh Ibnu Atsir.

Dengan sedikit keterangan di atas, jelaslah bagi orang yang memiliki pandangan, bahwa maksud ”Nejed” dalam riwayat hadits di atas bukanlah nama negeri tertentu, tetapi untuk setiap tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Dengan demikian maka Nejed yang dikenal oleh dunia Arab banyak sekali jumlahnya. (lihat Mu’jam al-Buldan 5/265, Taj al-Arus 2/509, Mu’jam al-Mufahras li Alfazh Hadits 8/339)

* Jadi, Nejed yang merupakan tempat munculnya tanduk setan dan sumber kerusakan (fitnah) adalah arah Iraq. Karena itulah timur kota Madinah Nabawiyah. Maka seluruh riwayat dan lafazh hadits ini kalau digabungkan, ternyata saling menafsirkan antara satu dengan lainnya, sebagaimana hal ini juga dikuatkan oleh penafsiran para ulama –yang terdepan adalah Salim, anak Ibnu Umar-radhiyallahu a’nhu- dan para pakar ahli bahasa.

(2) Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi n/ di atas. Benarlah, Iraq adalah sumber fitnah([4]), baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Seperti:

1. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj,2. Perang Jamal,3. Perang Shifin,4. Fitnah Karbala’,5. Tragedi Tatar.6. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti

* Khawarij yang muncul di kota Harura’ –kota dekat Kufah–,* Rafidhah (Syi’ah) –hingga kini masih kuat–,* Mu’tazilah,* Jahmiyah, dan* Qadariyah.

Awal kemunculan mereka di Iraq, sebagaimana dalam hadits pertama Shahih Muslim.


Dan kenyataan yang kita saksikan dengan mata kepala pada saat ini, keamanan di Iraq terasa begitu mahal. Banyak peperangan dan pertumpahan darah, serta andil (campur tangan) orang-orang kafir dalam menguasai Iraq. Kita berdo’a kepada Alloh agar memperbaiki keadaan di Iraq, menetapkan langkah para mujahidin di Iraq dan menyatukan barisan mereka. Amiin.

* Ibnu Abdil Barr berkata dalam al-Istidzkar (27/248), ”Rasulullah mengkhabarkan datangnya fitnah dari arah timur, dan memang benar secara nyata bahwa kebanyakan fitnah muncul dari timur dan terjadi di sana. Seperti perang Jamal, perang Shifin, terbunuhnya al-Husain, dan lain sebagainya dari fitnah yang terjadi di Iraq dan Khurasan semenjak dahulu hingga sekarang. Akan sangat panjang kalau mau diuraikan. Memang, fitnah terjadi di setiap penjuru kota Islam, namun terjadinya dari arah timur jauh lebih banyak.”

* Syaikh Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il (4/264-265), ”Telah terjadi di Iraq beberapa fitnah dan tragedi mengerikan yang tidak pernah terjadi di Nejed Hijaz. Hal itu diketahui oleh seorang yang menelaah sejarah, seperti keluarnya Khawarij, pembunuhan al-Husain, fitnah Ibnu Asy’ats, fitnah Mukhtar yang mengaku sebagi nabi … dan apa yang terjadi pada masa pemerintahan Hajjaj berupa pertumpahan darah, sangat panjang kalau mau diuaraikan.”

* Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi al-Iraqi berkata dalam Ghayatul Amani (2/180), ”Tidak aneh, Iraq memang pusat fitnah dan musibah. Penduduk Islam di sana selalu dihantam fitnah satu demi satu. Tidak samar lagi bagi kita, fitnah ahli Harura’ (kelompok Khawarij–pen) yang mencemarkan Islam. Fitnah Jahmiyah yang banyak dikafirkan oleh mayoritas ulama salaf juga muncul dan berkembang di Iraq. Fitnah Mu’tazilah dan ucapan mereka terhadap Hasan al-Bashri serta lima pokok ajaran mereka yang berseberangan dengan paham Ahli Sunnah begitu masyhur. Fitnah ahli bid’ah kaum sufi yang menggugurkan beban perintah dan larangan yang berkembang di Bashrah. Dan fitnah kaum Rafidhah dan Syi’ah serta perbuatan ghuluw (berlebihan) mereka terhadap ahli bait, ucapan kotor terhadap Ali bin Abu Thalib-radhiyallahu a’nhu- serta celaan terhadap pembesar para sahabat, merupakan hal yang sangat masyhur juga.”

(3) Anggaplah bahwa ”Nejed” yang dimaksud hadits di atas adalah Nejed Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka, sebab hadits tersebut hanya mengkhabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak menvonis perorangan seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya suatu fitnah di suatu tempat, tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang yang bertempat tinggal di tempat tersebut.

* Bukankah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga mengkhabarkan akan terjadi fitnah di kota Madinah Nabawiyah?! Seandainya terjadinya fitnah di suatu tempat pasti mengakibatkan setiap penduduknya tercela, maka itu artinya seluruh penduduk Madinah tercela, padahal tak seorangpun mengatakan hal ini. Bahkan tidak ada suatu tempat pun di dunia ini –baik telah terjadi maupun belum– kecuali akan terjadi fitnah di dalamnya. Lantas akankah seseorang berani mencela seluruh kaum muslimin seantero dunia?! Jadi, timbangan celaan seorang bukanlah karena dia lahir di tempat ini atau itu. Tetapi timbangannya adalah kalau dia sebagai pencetus fitnah berupa kekufuran, kesyirikan, dan kebid’ahan. (Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hal. 498-500 oleh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi)

* Syaikh Abdur Rahman bin Hasan mengatakan, ”Bagaimanapun juga, celaan itu silih berganti waktu tergantung kepada penduduknya, sekalipun memang tempat itu bertingkat-tingkat keutamaannya. Tempat maksiat pada suatu waktu bisa saja akan menjadi tempat ketaatan di waktu lain, demikian pula sebaliknya.

* Seandainya Nejed tercela karena Musailamah (al-Kadzdzab) setelah kemusnahannya bersama para pengikutnya, niscaya Yaman juga tercela karena Aswad al-Ansiy yang mengaku nabi….

* Kota Madinah tidaklah tercela karena kaum Yahudi tinggal di sana dan kota Makkah tidaklah tercela disebabkan penduduknya dahulu mendustakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan memusuhi dakwahnya.” (Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il 4/265).

Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Minhaj Ta’sis wa Taqdis hal. 92,

”Timbangan keutamaan itu tergantung pada penduduknya, berbeda dan berpindah bersama ilmu dan agama. Kota dan desa yang paling utama di setiap waktu adalah yang paling banyak ilmu dan sunnahnya, dan sejelek-jelek kota adalah yang paling sedikit ilmu, paling banyak kejahilan, kebid’ahan, dan kesyirikan, paling lemah dalam menjalankan sunnah dan jejak salafush shalih. Jadi, keutamaan kota itu tergantung kepada penduduk dan orangnya.”

Sebagai kesimpulan, penulis ingin menurunkan ucapan berharga dari penjelasan ahli hadits abad ini, Muhammad Nashiruddin al-Albani yang telah menepis salah paham hadits ini dalam berbagai kesempatan. Beliau berkata setelah takhrij hadits yang panjang,

”Sengaja saya memperluas keterangan takhrij hadits shahih ini serta menyebutkan jalur dan lafazh-lafazhnya, karena sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid telah mencela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, pembaharu dakwah tauhid di jazirah Arab, dan mereka mengarahkan hadits ini pada beliau, dengan alasan karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.

Mereka tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu bahwa hal itu bukanlah yang dimaksud oleh hadits ini, namun yang dimaksud adalah Iraq sebagaimana dijelaskan oleh kebanyakan jalur hadits ini. Demikianlah yang ditegaskan oleh para ulama semenjak dahulu seperti Imam Khaththabi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan sebagainya.

Mereka tidak tahu juga bahwa orang yang berasal dari negeri tercela tidaklah otomatis dia tercela kalau memang dia orang yang shalih. Demikian pula sebaliknya, betapa banyak orang fajir dan fasik di Makkah, Madinah, dan Syam. Dan betapa banyak orang alim dan shalih di Iraq([5])? Alangkah bagusnya ucapan Salman al-Farisi kepada Abu Darda’ tatkala mengajak dirinya hijrah dari Iraq ke Syam, ”Amma ba’du, sesungguhnya negeri yang mulia tidaklah membuat seorang pun menjadi mulia, namun yang membuat mulia ialah amal perbuatannya.”

(Silsilah Ahadits Shahihah 5/305)

Beliau juga berkata,

”Jalur-jalur hadits ini menguatkan bahwa arah yang diisyaratkan oleh Nabi adalah arah timur, yang tepatnya adalah Iraq, sebagaimana anda lihat secara jelas dalam sebagian riwayat. Hadits ini merupakan tanda diantara tanda-tanda kenabian, sebab awal fitnah adalah dari arah timur, yang merupakan penyebab perpecahan di tengah kaum muslimin, demikian pula bid’ah-bid’ah muncul dari arah yang sama, seperti bid’ah Syi’ah, Khawarij, dan sebagainya. Imam Bukhari 7/77 dan Ahmad 2/85, 153 meriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’min, bahwasanya dia menyaksikan Ibnu Umar -radhiyallahu a’nhu- ketika ditanya oleh seorang dari Iraq tentang hukum membunuh lalat bagi muhrim (orang yang sedang ihram). Maka berkata Ibnu Umar,

’Wahai penduduk Iraq! Kalian bertanya kepadaku tentang orang muhrim membunuh lalat, padahal kalian telah membunuh anak putri-Rasulullah, sedangkan beliau (Nabi) sendiri bersabda: Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah kesayanganku di dunia.’”

(Silsilah Ahadits Shahihah 5/655-656)

Beliau juga berkata,

”Apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah terbukti. Sebab kebanyakan fitnah besar munculnya dari Iraq, seperti peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, antara Ali dan Khawarij, antara Ali dan Aisyah, dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Dengan demikian, hadits ini merupakan salah satu mu’jizat dan tanda-tanda kenabiannya.”

(Takhrij Ahadits Fadha’il Syam wa Dimsyaq, hal. 26-27)

II. Muhammad bin Abdul Wahhab dan cukur rambut([6])

Adapun tudingan saudara Masun Said Alwy bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya dan ini termasuk dalam hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, ”Tanda mereka adalah cukur rambut.”

* Kebohongan ini pun bukanlah hal yang baru. Ini hanya daur ulang dari para pembohong sebelumnya seperti:

1. Jamil az-Zuhawi al-Iraqi dalam al-Fajr ash-Shadiq dan2. Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus Saniyyah,3. dan lain-lain.

Tuduhan ini sangat mentah. Tujuan di balik itu sangat jelas, yaitu melarikan manusia dari dakwah yang disebarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada beberapa point untuk mendustakan tuduhan ini:

(1) Mereka mendustakan tuduhan bohong ini

* Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala membantah tuduhan bahwa ulama dakwah mengkafirkan orang yang tidak mencukur rambut kepalanya, ”Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan kebohongan kepada kami. Seorang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir tidak mungkin melakukan hal ini. Karena kekufuran dan kemurtadan tidaklah terealisasikan kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama yang maklum bi dharurah (diketahui oleh semua). Macam-macam kekufuran, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk di antaranya (kekufuran atau kemurtadan), bahkan kamipun tidak berpendapat bahwa mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari Islam bila ditinggalkan.” (Durarus Saniyyah 10/275-276, cet. kelima)

* Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata, ”Ini termasuk kebohongan, kedustaan, kezhaliman, dan penganiayaan.” (adh-Dhiya’ asy-Syariq hal. 119)

* Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi berkata juga, ”Ini adalah kedustaan yang sangat jelas dan kebohongan yang sangat keji.” (Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hal. 560)

(2) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang mencukur rambut

* Merupakan bukti yang menguatkan kebohongan tuduhan ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menjelaskan pendapatnya dalam masalah mencukur rambut atau memeliharanya, yang menyelisihi tuduhan musuh-musuhnya. Beliau berkata, ”Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang yang memelihara rambutnya? Dia menjawab, ’Sunnah yang bagus, seandainya kami mampu maka kami akan melakukannya. Rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai ke bahunya.’ Dan disunnahkan sifat rambut seorang seperti sifat rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kalau panjang maka sampai ke bahu, kalau pendek maka sampai ke daun telinga.”

* Beliau juga berkata, ”Dibencikah mencukur rambut kepala pada selain haji dan umrah? Ada dua riwayat; Pertama: Dibenci, berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, ’Tanda mereka adalah bercukur.’ Kedua: Tidak dibenci, berdasarkan larangannya tentang qaza’ (mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian lainnya), ’Cukurlah semua atau biarkan semua.’ (HR. Abu Dawud). Ibnu Abdil Barr berkata, ’Para ulama di setiap tempat bersepakat bolehnya bercukur.’ Cukuplah ini sebagai hujjah.” (Mukhtashar al-Inshaf wa Syarh al-Kabir, kumpulan karya Syaikh Ibnu Abdil Wahhab 1/28, cet. Jami’ah Imam)

(3) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang Khawarij

* Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dikategorikan termasuk hadits yang disinyalir Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, padahal beliau sendiri berlepas diri dari Khawarij. Perhatikan ucapannya, ”Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang ciri-ciri khawarij, kejelekan mereka serta anjuran memerangi mereka.” (Mukhtashar Sirah Rasul hal. 498)

(4) Ibadah dengan mencukur gundul merupakan syi’ar Khawarij

* Adapun ucapan saudara ”Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya”, ini merupakan kesalahan dan kejahilan. Sebab ibadah dengan cukur gundul ini adalah syi’ar aliran sesat Khawarij dan diikuti sebagian sufi.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata dalam Fatawanya (hal. 347): ”Alasan para ulama membenci cukur rambut dan menganggapnya menyelisihi sunnah karena hal itu adalah syi’ar Khawarij dahulu.” (lihat pula Aridhatul Ahwadzi 7/256 oleh Ibnul Arabi dan Fathul Bari 13/669 oleh Ibnu Hajar)

* Dan (syi’ar) ini juga diikuti oleh sebagian kelompok sufi, sebagaimana dijelaskan oleh:

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam: al-Istiqamah 1/2562. dan muridnya, Ibnul Qayyim, dalam Ahkam Ahli Dzimmah2/749.

Maka ucapan “Hal ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya” adalah kejahilan dan kesalahan.

III. Berdusta atas nama hadits([7])

Adapun hadits yang dinukil oleh saudara Masun Said Alwy dari kitab “Jala’udz Dzolam fir Raddi ‘ala Najdi Al-Ladzi Adholla Awam” oleh Sayyid Alwy al-Haddad dari Abbas bin Abdul Muthallib, maka ini adalah kebodohan di atas kebodohan. Sebab hadits ini tidak ada asal usulnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, tetapi tetap dijadikan argumen untuk mendukung hawa nafsunya.

* Anda jangan tertipu dengan ucapan di akhirnya: “Al-Hadits”!!

Seandainya itu diriwayatkan oleh ahli hadits, maka mengapa tidak dia sebutkan?! Apa beratnya? Lebih terkejut lagi, kalau anda tahu bahwa ucapan “Al-Hadits” ini sebenarnya bukan dari kitab aslinya, melainkan hanyalah ucapan Masun Said Alwy.

* Seharusnya saudara Masun Said Alwy menukil takhrij lucu dari kitab aslinya. Si pengarang kitab tersebut mengatakan, ”Hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) yang mendukung maknanya, sekalipun tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya.” !!

* Kalau memang tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya, mengapa dia berdalil dengannya?! Jadi, hadits ini hanyalah buatan orang tersebut dan yang semodel dengannya. Dia berdusta atas nama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- secara terang-terangan di depan makhluk. Aduhai, alangkah rusaknya hati yang berani berbuat demikian, dan alangkah buruknya hati yang mencintai orang-orang model mereka! Mereka berdusta atas nama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengaku cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Mungkinkah dua hal ini dapat bersatu di hati seseorang?! Sekali-kali tidak, kecuali di hati seorang ahli bid’ah dan pendusta.

* Sungguh lucu ucapannya “Tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya”. Seandainya dia menyandarkannya kepada kitab yang tidak ada wujudnya, niscaya akan lebih laris kebohongannya di tengah-tengah orang-orang jahil, bukan bagi para ulama yang mengetahui cahaya ucapan Nabi.

Kami harap anda jangan heran, karena berdusta dan menyebarkan hadits-hadits dusta adalah kebiasaan setiap penggemar bid’ah.

PENUTUP & NASIHAT

Usai kita menanggapi tiga permasalahan di atas, penulis merasa perlu menyodorkan nasihat bagi kita semua dan secara khusus kepada saudara Masun Said Alwy, penulis artikel ”Membongkar Kedok Wahabi”:

(1) Hendaknya kita mempelajari makna hadits dengan bantuan kitab-kitab syarah (penjelasan) para ulama agar tidak ngawur menafsirkannya.

* Alangkah indahnya ucapan Sufyan bin ‘Uyainah:

يَا أَصْحَابَ الْحَدِيْثِ تَعَلَّمُوْا مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ فَإِنِّيْ تَعَلَّمْتُ مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً

Wahai penuntut ilmu hadits! Pelajarilah makna hadits, sesungguhnya saya mempelajari makna hadits selama tiga puluh tahun.

(2) Hendaknya kita lebih selektif dan kritis dalam menerima berita, sebagaimana yang diperintahkan Alloh dalam kitab-Nya (yang artinya):

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti. (QS. al-Hujurat: 6)

* Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata, ”Sesungguhnya telah sampai kepada para ulama India dan Yaman berita-berita tentang Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Lalu mereka membahas, memeriksa, dan meneliti sebagaimana perintah Alloh, hingga jelaslah bagi mereka bahwa para pencelanya adalah pembohong yang tidak amanah.” (Muqaddimah Syiyanatul Insan hal. 29-30)

* Maka kepada para pendengki dakwah ini, bersikap adillah kalian dan periksalah berita yang sampai kepada kalian, niscaya kalian akan segera sadar bahwa kalian dibutakan dengan kedustaan dan tuduhan!

(3) Seringkali kami menasehatkan kepada saudara-saudara kami agar waspada dalam menyampaikan hadits lemah dan palsu, apalagi dusta yang tidak ada asal usulnya. Ditambah lagi, apabila hal itu untuk mendukung selera hawa nafsu. Semua itu dosa yang sangat berbahaya, karena termasuk dusta atas nama Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

* Sebagaimana kami nasehatkan juga agar kita selektif dalam menyebutkan hadits, yaitu hendaknya disertai riwayatnya, jangan hanya sekedar menyebutkan “al-Hadits” begitu saja.

Akhirnya kita memohon kepada Alloh hidayah dan taufiq, sesungguhnya Dia Maha Pemurah.