DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Minggu, 07 November 2010

Tingginya Semangat Para Ulama Dalam Menuntut Ilmu

Al Ustadz Abu Karimah Askari

Dalam pembahasan ini kita ingin mengetahui bagaimana sesungguhnya ilmu itu bisa dicapai, bagaimana sesungguhnya ilmu itu bisa seseorang mendapatkannya sehingga ia dikatakan sebagai ahlul ilmi, bagaimana mereka menggapai ilmu tersebut, apa jalan-jalan yang mereka harus tempuh sehingga mereka mendapatkan keutamaan yang besar di sisi Allah Subhanahu wata’ala. ini yang perlu kita ketahui. Dan juga kita ingin mengetahui bagaimana himmah (semangat) yang ada pada mereka dari kalangan para ulama as salaf sehingga mereka mendapatkan derajat yang dimuliakan Allah Subhanahu wata’ala. Kenapa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda di dalam haditsnya,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 2457, 2458 dan Al-Imam Muslim no. 4600, 4601, 4602 dari shahabat Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.)
Kenapa tiga generasi ini dimuliakan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Demikian pula kenapa Allah Subhanahu wata’ala mengangkat derajat mereka di dalam firman-Nya,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Al Mujaadilah: 11)
Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wata’ala berfirman.
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ
"Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat." (Al An’aam: 83)
Kata Imam Malik rahimahullahu ketika beliau menjelaskan ayat ini, "Yaitu dengan berilmu seseorang akan diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu wata’ala."
Sehingga yang penting di sini, kita ingin mengetahui bagaimana sirah (perjalanan) yang terdapat pada ulama Salafush Shalih sehingga mereka mendapatkan seperti ini. Kenapa mereka begitu semangatnya dalam menuntut ilmu, kenapa mereka begitu hirsh walaupun untuk mendapatkan satu ilmu. Kalau itu merupakan kebenaran mereka berbondong-bondong dan saling berlomba untuk mendapatkan ilmu tersebut. Apa sebenarnya yang menyebabkan mereka demikian.
Maka dari itu kita perlu mengetahui di sini perkara-perkara yang akan menimbulkan himmah, kita pelajari dari sirah mereka, apa yang mereka lakukan, kenapa mereka diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu wata’ala. Dan ini sangat penting bagi kita memepelajari sirah (perjalanan) para ulama.
Oleh karena itu, Abu Hanifah rahimahullahu diantara perkataan beliau,
"Sejarah para ulama as salaf merupakan salah satu tentara dari tentara-tentara Allah Subhanahu wata’ala."
Karena begitu kita mempelajarinya maka kita akan mendapatkan ibrah dari sejarah mereka dan mengikuti langkah-langkah mereka.
Kenapa para ulama as salaf mendapatkan kemuliaan dan menjadi para ulama, dan mereka sampai mampu menulis kitab berjilid-jilid banyaknya. Apa yang menyebabkan hal tersebut?
Ini disebabkan karena ‘uluwul himmah (tingginya semangat) yang ada pada mereka.
Ilmu merupakan hal yang paling mulia yang diinginkan oleh orang-orang yang menginginkannya. Dan ilmu merupakan perkara yang paling mulia yang dituntut oleh orang-orang yang hendak menuntutnya. Dan ilmu adalah hal yang paling bermanfaat bagi orang yang hendak mencarinya dan mengusahakan untuk mendapatkannya.
Kumail bin Ziyad1 berkata, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu2menggandeng tanganku kemudian mengajakku keluar ke arah dataran tinggi. Ketika kami telah berada di tempat yang tinggi, Ali bin Thalib radhiallahu’anhu duduk kemudian menarik nafas panjang. Ia berkata:
Wahai Kumail bin Ziyad, sesungguhnya hati adalah wadah, dan hati yang paling baik ialah hati yang paling sadar. Jagalah apa yang saya katakan padamu.
Manusia itu terbagi ke dalam tiga kelompok; ulama Rabbani3, penuntut ilmu di atas jalan keselamatan4, dan orang-orang awam (jelata) pengikut semua penyeru5. Kelompok terakhir miring bersama dengan hembusan angin, tidak bersinar dengan cahaya ilmu dan tidak bersandar pada tiang yang kokoh.
Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjagamu, sedang engkau menjaga harta6. Ilmu bertambah dengan diamalkan7, sedang harta berkurang dengan membelanjakannya.
Dan mencintai seorang ‘alim (para ulama) adalah agama yang mana kita beragama dengannya8. Ilmu membuat ulama ditaati sepanjang hidupnya dan dikenang sepennggalnya, sedang kebaikan karena harta itu hilang bersamaan dengan hilangnya harta.
Para penyimpan harta telah mati padahal sebenarnya mereka hidup, sedang para ulama abadi sepanjang zaman. Diri mereka telah sirna namun keteladanan mereka tetap melekat di dalam hati.9(Sampai di sini perkataan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu)
Berkata Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi10, "Saya memperhatikan dengan penuh takjub, sesungguhnya segala sesuatu yang berharga itu panjang jalannya dan banyak kelelahan dalam meraihnya."11
Maka sesungguhnya ilmu, tatkala ia merupakan sesuatu yang paling berharga maka tidak akan mudah mendapatkannya kecuali dengan perasaan lelah, sedikit tidur, selalu mengulang-ulang pelajaran, dan meninggalkan kelezataan, dan tidak istirahat.12
Oleh karena itu berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyah, "Adapun untuk mendapatkan kebahagiaan, maka sesungguhnya tidak akan diwariskan kepadamu kecuali dengan mengerahkan segala kemampuan, ada kesungguhan dalam meraihnya, dan benarnya niat."13
Seorang penyair berkata dalam sebuah syairnya:
Katakanlah kepada orang-orang yang mengharapkan urusan yang tinggi namun tidak bersungguh-sungguh, engkau mengharapkan sesuatu yang mustahil kau dapatkan.
Berkata seorang penyair yang lain:
Kalau bukan adanya kesulitan,
Maka semua manusia akan bisa menjadi sayyid (tuan)
Maka orang yang demawan akan menyebabkan kefaqiran
Dan orang yang menuju dalam berperang akan membunuh dirinya sendiri
Barang siapa yang rindu himmahnya (semangatnya) menuju kepada perkara-perkara yang mulia maka wajib baginya untuk menyingsingkan lengannya mencintai jalan-jalan agama, yakni kebahagiaan.
Walaupun memang pada awalnya seseorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan tidak pernah terlepas dari berbagai pukulan kesulitan, dan sesungguhnya kapan jiwa ini dipaksa untuk terus menerus melakukan sesuatu dan diarahkan untuk selalu tunduk dan bersabar di atasnya, maka perkara-perkara ini akan mengantarkanya kepada taman-taman yang sangat menakjubkan, dan tempat orang-orang yang shiddiq, kedudukan mulia, mendapatkan berbagai kelezatan lainnya yang melebihi lezatnya para raja. Sedangkan dunia itu tidak lebih seperti seorang anak yang sedang bermain-main burung merpati.
Maka di waktu itulah seseorang akan mendapatkan apa yang dia inginkan sebagaimana salah seorang penyair mengatakan,
Saya dahulu melihat bahwa hawa nafsu sudah mencapai puncaknya
Sampai kepada suatu tujuan yang saya tidak tahu mau ke mana lagi pergi
maka tatkala saya sudah mencapai semua itu dan memperhatikan keindahan kelezatan dunia
Maka saya yakin ternyata saya hanya bermain-main saja
Kemuliaan-kemuliaan itu tergantung di atas kebencian-kebencian (kesulitan/sesuatu yang dia benci). Adapun kebahagiaan tidaklah mungkin seseorang menyeberanginya kecuali di atas jembatan kesulitan. Maka tidak akan mungkin untuk dicapai jarak kebahagiaan itu kecuali kita mengendarai perahu yang penuh dengan kesungguhan untuk mengarunginya.
Berkata Al Imam Muslim dalam Shahihnya, Yahya bin Abi Katsir berkata: "Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan jasad yang selalu menginginkan istirahat."14
Dan adapula yang mengatakan, "Siapa yang mencari istirahat, sesungguhnya dia telah meninggalkan istirahat, siapa yang mencari bersenang-senang, ia telah meninggalkan bersenang-senang yang sebenarnya."
Wahai orang yang ingin mencari apa yang dia cintai, apakah mungkin seseorang akan menuju kepada yang dicintainya tanpa ada kesulitan sama sekali? Sekiranya banyak orang tahu dengan kelezatan nikmatnya dan besar kadarnya (menuntut ilmu), niscaya mereka akan memperebutkanya meski dengan pedang-pedang mereka.
Akan tetapi kebahagaiaan tersebut ditutupi dan dihijabi dengan perkara-perkara yang dibenci, dan ditutupi darinya dengan hijab kebodohan agar Allah Subhanahu wata’ala memilih orang-orang khusus yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya, dan Allah Subhanahu wata’ala mempunyai keutamaan yang sangat besar.
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullahu berkata, "Wajib bagi para penuntut ilmu untuk mengerahkan seluruh kesungguhannya dalam rangka memperbanyak ilmunya dan bersabar atas setiap perkara yang berusaha mengganggunya, dan niatkan ikhlas karena Allah Subhanahu wata’ala Ta’ala dalam mendapatkan ilmu tersebut baik secara nash maupun istinbath. Kemudian berkeinginan dan cinta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala agar Allah Subhanahu wata’ala memberikan pertolongan dalam menuntut ilmu."
Salah seorang penyait berkata,
Jangan engkau menyangka bahwa kemuliaan itu ketika engkau memakan kurma. Engkau tidak akan mendapatkan kemuliaan sampai engkau menelan kesabaran
Adalah para ulama rahimahumullahu memberikan nasihat kepada para penuntut ilmu untuk bersabar di atas kesulitan-kesulitan ilmu dan dalam memperolehnya, karena ini merupakan persyaratan dalam menempuh maksud dan tujuan yang mulia dan sangat mahal. Maka beliau mengatakan dalam sebuah syairnya,
Barangsiapa yang bersabar untuk mendapatkan ilmu
Maka dia akan mendapatkan kemenangan dengan mendapatkan ilmu tersebut
Dan siapa yang ingin melamar wanita yang cantik
Tentunya dia bersabar untuk mengerakan segala kemampuannya
Barangsiapa yang tidak menghinakan dirinya untuk mencari kemulian
Maka dia akan hidup sepanjang masa bersaudara dengan kehinaan
Seorang musafir bisa sampai di tempat yang dituju kalau ia bersunggh-sungguh berjalan walaupun di waktu malam. Kalau musafir tersebut tidak pernah menempuh perjalanannya dan tidur semalaman lalu kapan ia akan sampai di tempat tujuan?
Maka apabila seseorang ingin mendapatkan apa yang diingnkan harus dengan bersungguh-sunggguh. Dan jika dalam keadaan malas ia tidak akan mendapatkannya. Maka ambillah kesempatan engkau akan menuju kepada sesuatu yang engkau angan-angankan tersebut.
Maka wajib atasmu, wahai penuntut ilmu, untuk bersungguh-sungguh dalam memperoleh ilmu. Karena sesungguhnya perkara dalam menuntut ilmu seperti disebutkan oleh Ibnul Junaid, "Tidaklah seseorang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan dengan kejujurannya melainkan dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Kalau ia tidak mendapatkan semuanya, paling tidak dia akan mendapatkan sebagiannya."
Maka inilah ‘uluwul himmah (tingginya semangat) seseorang dalam menuntut ilmu, dia harus bersemangat terhadap waktu dan dia merasa benci untuk membuang waktunya dalam perkara-perkara yang tidak bermanfaat dan kebulatan tekad. Kedua perkara ini akan menjadi usang jika seseorang tidak memanfaatkannya dan inilah pedang menghunus yang bisa membunuh seseorang.
Seorang penuntut ilmu juga harus mempunyai semangat, yang dia tidak merasakan berhenti dari rasa haus (akan ilmu) kecuali apabila dia meninggalkan tempat-tempat air (ilmu) dengan membawa gelas-gelas yang penuh (yang berisi dengan ilmu).15
Dan hendaklah seorang harus tenggelam dalam pembahasan. Tidaklah memisahkan antara dia dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat melainkan karena seorang itu malu untuk menempuhnya16. Dan ia tidak mempedulikan panjanganya perjalanan yang ia tempuh.
Demikian pula bagi para penuntut ilmu hendaknya mempunyai lisan yang teratur, tidak terjermus ke dalam perbuatan sia-sia, mencela orang lain. Kenapa tidak demikian? Karena lisannya sudah tersibukkan dengan kebenaran sehingga dia tidak lagi mempedulikan suatu kebatilan.
Adalah keadaan para ulama as salaf daam menuntut ilmu, menyebarkan ilmu, dan menulis kitab, keadaan mereka sungguh menakjubkan. Mereka telah memperoleh dan memetik waktu-waktu mereka. Mereka telah menghabiskan masa muda mereka dan mereka mendapatkan suatu hasil yang mengherankan akal-akal kita dan menjadikan heran yang mempunyai akal. Dan akan mengangkat himmah (semangat) kita.
Maka marilah kita lihat keadaan mereka, mengikuti petunjuk mereka, dan berjalan di atas langkah-langkah mereka.
Berkata salah seorang penyair,
Maka engkau telah memberitakan aku tentang kisah mereka, wahai Sa’ad.
Maka engkau menambah lagi kisah tersebut
Aku semakin rindu dengan mereka
Sehingga tambahkanlah cerita-cerita tersebut kepadaku, wahai Sa’ad
Berkata seorang penyair lainnya,
Ulang-ulangilah cerita-cerita tentang mereka, wahai Hadi
aka sesungguhnya cerita mereka semakin menerangi hati yang dalam keadaa gundah gulana ini
[Dinukil dari catatan taklim kami yang singkat ketika mendengarkan rekaman daurah yang membahas kitab 'Uluwul Himmah pada Bab Tingginya Semangat Salafush Shalih Dalam Menuntut Ilmu. Kitab ini ditulis oleh Muhammad Ahmad Ismail Al Muqaddam, Dibawakan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari]
____________
Footnote:
1 Kumail bin Ziyad bin Nahik An Nakha’i adalah salah seorang tabi’in Tsiqah. Nasihat ini banyak ditulis oleh para ulama. Ini merupakan nasihat yang penting dicatat dengan tinta emas. Karena nasihat beliau sangat bermanfaat khususnya bagi orang-orang yang hendak menutut ilmu.
2 Beliau adalah Abul Hasan, sepupu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, dan beliau adalah khalifah yang keempat, dan sekaligus beliau adalah menantu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam.
Telah diceritakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Nama yang paling disukai oleh ‘Ali adalah Abu Turab. Dia senang sekali dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Suatu hari, ‘Ali marah kepada Fathimah, lalu dia keluar dari rumah menuju masjid dan berbaring di dalamnya. Bertepatan dengan kejadian tersebut Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam datang ke rumah putrinya, Fathimah, namun beliau tidak mendapatkan ‘Ali di rumah. “Mana anak pamanmu itu?”, tanya beliau. “Telah terjadi sesuatu antara aku dan dia, dan dia marah padaku lalu keluar dari rumah. Dia tidak tidur siang di sisiku,” jawab Fathimah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata kepada seseorang: “Lihatlah di mana Ali.” Orang yang disuruh tersebut datang dan mengabarkan: “Wahai Rasulullah, dia ada di masjid sedang tidur.” Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mendatanginya, yang ketika itu ‘Ali sedang berbaring dan beliau dapatkan rida`-nya (kain pakaian bagian atas) telah jatuh dari punggungnya. Mulailah beliau mengusap pasir dari punggungnya seraya berkata: “Duduklah wahai Abu Turab. Duduklah wahai Abu Turab.” (HR. Al-Bukhari no. 3703 dan Muslim no. 2409)
3 Ulama Rabbani ialah ulama yang mengamalkan ilmunya, dan bijak dalam memimpin umat. Ulama Rabbani disebutkan oleh Imam Bukhari rahimahullahu di dalam shahih Bukhari di kitabul ilmi ketika beliau menjelaskan tentang Rabbani: Ia mendidik mereka mulai dari ilmu yang kecil kepada ilmu yang besar.
Dari sini para ulama mengajarkan kepada kita bagaimana cara kita menuntut ilmu. Tidak mungkin ada seseorang yang mampu naik ke tingkat dua tanpa tangga. Artinya seseorang tidak akan mungkin mendapatkan ilmu-ilmu yang tinggi, meluaas dan besar sebelum ia melewati ilmu yang dasar terlebih dahulu.
4 Ia mempelajari untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan ini disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam di dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dipelajari dalam rangka mengharapkan wajah Allah, namun ternyata mempelajarinya karena ingin beroleh materi dari dunia ini, ia tidak akan mencium wangi surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud.)
Ini ancaman bagi yang menuntut ilmu bukan untuk mencari jalan keselamatan.
5 Ini orang yang tidak memiliki pondasi, dalam keadan ia tidak mempunyai hidayah yang tidak bisa membedakan yang haq dan bathil. Ini yang dinamakan muqallid (orang yang taqlid) yang tidak memiliki ilmu hanya sekedar ikut-ikutan, tidak memiliki landasan yang kokoh.
6 Kalau seseorang memiliki ilmu, maka ilmu itulah yang menjaganya yang bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Ketika seseorang berusaha menggoda untuk terjerumus ke dalam perbuatan yang bathil, maka dengan ilmu ia mampu menahan. Maka ilmu ini yang menjaga kita untuk tidak terjerumus ke dalam beberapa penyimpangan.
Namun harta, maka kita yang menjaganya dari kecopetan dan kecurian. Oleh karena itu orang-orang pengumpul harta selalu hidup dalam keadaan ketakutan khawatir jangan sampai hartanya hilang, itu yang selalu mereka pikirkan.
7 Karena ilmu memang untuk diamalkan. Apabila seseorang mengamakan ilmu maka akan lebih mudah ia menghafal ilmu tersebut. Oleh karena itu para ulama as salaf berkata, "Apabila kamu mau menghafal hadits, maka amalkan itu hadits."
Misal, mau menghafal sebuah hadits larangan isbal (larangan memakai kain di bawah mata kaki),
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Bagian yang di bawah mata kaki dari kain, tempatnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 5787)
Maka ia berusaha untuk tidak memakai celana, sarung, jubah, dan selainnya melebihi mata kaki. Dan ketika ada yang bertanya kenapa kamu menaikkan sarungmu tidak menutupi mata kaki? Maka ia menjawabnya dengan hadits yang dia hafal tadi.
8 Mencintai ulama adalah agama karena memang Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kita demikian. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمآءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Faathir: 28)
9 Inilah ulama yang selalu dikenang sepanjang masa. Apabila mereka disebut-sebut selalu disertai dengan rahimahullahu (semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmatinya). Ketika disebut nama shahabat dalam hadits selalu disertai dengan radhiallahu’anhu (semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhainya).
Dan memang Allah Subhanahu wata’ala memberikan keselamatan pada seseorang adalah karena ilmu, ia beramal dengan landasan ilmu. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لا يَضُرًُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَ تَعَالىَ وَ هُمْ كذَلِكَ
“Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan al haq, tidak bermudharat bagi mereka orang yang menyelisihi mereka hingga datang perkara Allah Subhanahu wata’ala tabaraka wa ta’ala sementara mereka dalam keadaan demikian.” (HR. Al-Bukhari no.7459 dan Muslim no. 1920)
Imam Bukhari ketika menjelaskan hadits ini, siapa yang dimaksudkan hadits ini, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu. Oleh karena itu ciri ahlul hadits adalah mereka mengamalkan suatu amalan dilandasi dengan ilmu dari Al Quran dan As Sunah.
Sudah berapa zaman nama para shahabat sering disebut-sebut seakan-akan mereka masih hidup. Ketika dikatakan hadits dari Abu Hurarah, Abu Bakar Ash Shiddiq, Abu Sa’id Al Khudri, Sahl bin Sa’d As Sa’idi dan para shahabat yang lainnya dari zaman dahulu, Ketika mereka diangkat oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan ilmu sampai sekarang disebut-sebut dalam banyak hadits seakan-akan mereka masih hidup karena mereka adalah orang-orang yang membawakan ilmu yang menukilkan ilmu itu kepada kita. Kita membaca sejarah-sejarah mereka dan kita berusaha untuk mengikuti mereka.
10 Ada dua nama ulama yang namanya mirip. Ibnul Qayyim Al Jauziyah dan Ibnul Jauzi, keduanya berbeda. Adapun Abul Faraj Ibnul Jauzi di antara biografinya adalah bahwa beliau berasal dari keluarga yang kaya raya dan beliau tinggalkan semua itu semata-mata untuk menuntut ilmu. Dia berangkat menuntut ilmu dengan membawa beberapa potongan roti yang keras, yang tidak bisa dimakan kecuali dicelupkan ke dalam air terlebih dahulu. Jika ia lelah dalam perjalanan maka singgah di pinggiran sungai dan mencelupkan rotinya dan makanlah ia sembari membaca kitab. Dan beliaupun menjadi salah seorang ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
11 Seakan-akan ini merupakan satu kaidah.
"Segala sesuatu yang berharga itu panjang jalannya dan banyak kelelahan dalam meraihnya."
Kita lihat sebagai permisalan orang yang mencari harta karun, mereka akan menempuh jalan berhari-hari dan berbagai halangan dan rintangan dalam perjalanan berliku mereka tempuh untuk sampai ke tempat harta karun tersebut. Demikian pula orang yang menuntut ilmu syar’i, seseorang tidak akan mungkin mendapatkan ilmu syar’i jika hanya tidur di rumah dan duduk. Seseoang tidak akan mendapatkan ilmu syar’i sampai dia berusaha menempuh ilmu tersebut walaupun panjang jalannya.
Imam An Nawawi meninggal dalam usia 36 tahun, namun masya Allah telah menghasikan banyak kitab-kitab yang berharga. Beliau tidak tidur sampai tidur yang mengalahkannya.
Perhatikan keadaan kita: Bahkan hadits innamal a’malu binniyat (hadits Arba’in An Nawawi yang pertama) saja belum hapal dan masih terbata-bata, dan anehnya kita tertawa lagi, menertawai keadaan kita sendiri.
12 Oleh karena itu para ulama tidak mengenal istilah istirahat dalam menuntut ilmu syar’i. Sampai-sampai berkata sebagian fuqaha, "Saya telah tinggal bertahun-tahun menginginkan untuk memakan roti yang baru matang, selalu tidak bisa memakannya, karena ketika dibeli roti tersebut selalu tiba waktunya belajar (tidak punya waktu memakannya)."
Perhatikan keadaan kita: Adab menuntut ilmu adalah murid yang datang terlebih dahulu. Adapun kita terkadang guru yang datang terlebih dahulu dan kita masih berada di luar dengan santai, masih di kamar mandi, masih makan, ada yg masih berbincang, dan sebagainya.
Perhatikan kondisi di Dammaj, murid-murid Syaikh Muqbil rahimahullah, ketika selesai sholat maghrib langsung berlomba-lomba mencari duduk di hadapan syaikh untuk mendengarkan pelajaran umum, atau kalau tidak demikian sulit untuk bisa duduk di shaff terdepan. Ini dikarenakan himmah (semangat) yang ada pada mereka.
13 Oleh karena itu berkata Al Imam Asy Syafi’i rahimahullahu dalam sebuah syairnya:
Wahai saudaraku, kalian tidak akan mungkin mendapatkan ilmu kecuali dengan 6 perkara, saya akan kabarkan dengan terperinci beserta penjelasannya: Kepintaran, semangat, kesungguhan, kecukupan materi (ada uang untuk membeli kitab atau sarana belajar walaupun sedikit), dengan guru, dan panjangnya masa dalam menuntut ilmu."
Pernah ada dua orang di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, orang pertama bekerja untuk mencari nafkah dan orang yang kedua menuntut ilmu di dekat Rasulullah. Suatu hari orang yang bekerja datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengadukan tentang saudaranya yang tidak pernah bekerja dan selalu menuntut ilmu. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab, "Mungkin saja kamu mendapatkan rizki disebabkan karena saudara kamu yang menuntut ilmu"
Artinya jangan sampai saudaramu tersebut putus dalam menuntut ilmu syar’i sehingga kamu tidak mendapatkan rizki dari Allah, karena bisa jadi kamu mendapatkan rizki disebabkan karena saudaramu itu yang gemar menuntut ilmu syar’i.
14 Ilmu tidak akan didapatkan oleh orang yang selalu ingin santai. Lihatlah bagaimana kesungguhan para shahabat untuk mendapatkan satu hadits, seperti Sa’id ibnu Musayyab berjalan sebulan untuk mendapatkan satu hadits. Seorang Tabi’in untuk mendapatkan satu hadits berjalan menempuh padang pasir sampai kehabisan bekal dan meminum kencingnya 5 kali karena sudah tidak ada minuman.
Adapun zaman sekarang hanya naik motor atau mobil umum, atau berjalan kaki sebentar sudah berpikir menghabiskan waktu. Itupun datang ke majelis sebulan sekali, itupun tertidur di majelis. Makanya Yahya bin Abi Katsir berkata: "Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan jasad yang selalu menginginkan istirahat."
15 Ini para ulama as salaf, di antaranya Ibrahim Ad Daijil. Daijil adalah gelar yang diberikan kepada Ibrahim, karena diumpamakan seperti burung Daijil. Burung ini jika hinggap di sebuah pohon daunnya akan dihabisi semuanya. Karena Ibrahim kalau dia sampai di seorang guru, tidaklah ia meninggalkan gurunya kecuali ilmu gurunya sudah diserap semuanya. Kemudian pergi ke guru yang lainnya sampai ia menyerap ilmu gurunya barulah ia pergi ke guru yang lainnya.
16 Sifat malu adalah salah satu penyebab seseorang akan meninggalkan ilmu. Al Imam Mujahid berkata, "Tidaklah akan mendapatkan ilmu bagi orang yang malu dan sombong."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar