DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Senin, 22 November 2010

Berhati-hatilah dari teman yang buruk

Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
مَثَلُ الْـجَلِيْسِ الصَّالـِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ. فَحَامِلُ الْـمِسْكِ إِمَّا أَنْ يَحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيْثَةً
“Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa teman dapat memberikan pengaruh negatif ataupun positif sesuai dengan kebaikan atau kejelekannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan teman bergaul atau teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi. Bila duduk dengan penjual minyak wangi, engkau akan dapati satu dari tiga perkara sebagaimana tersebut dalam hadits. Paling minimnya engkau dapati darinya bau yang harum yang akan memberi pengaruh pada jiwamu, tubuh dan pakaianmu. Sementara kawan yang jelek diserupakan dengan duduk di dekat pandai besi. Bisa jadi beterbangan percikan apinya hingga membakar pakaianmu, atau paling tidak engkau mencium bau tak sedap darinya yang akan mengenai tubuh dan pakaianmu.
Dengan demikian jelaslah, teman pasti akan memberi pengaruh kepada seseorang. Dengarkanlah berita dari Al-Qur`an yang mulia tentang penyesalan orang zalim pada hari kiamat nanti karena dulunya ketika di dunia berteman dengan orang yang sesat dan menyimpang, hingga ia terpengaruh ikut sesat dan menyimpang.
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَالَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً. يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلاً. لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
“Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, andai kiranya dulu aku tidak menjadikan si Fulan itu teman akrabku. Sungguh ia telah menyesatkan aku dari Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku.’ Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 27-29)
‘Adi bin Zaid, seorang penyair Arab, berkata:
عَنِ الْـمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْـمُقَارَنِ يَقْتَدِي
إِذَا كُنْتَ فِي قَوْمٍ فَصَاحِبْ خِيَارَهُمْ وَلاَ تُصَاحِبِ الْأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِي
Tidak perlu engkau bertanya tentang (siapa) seseorang itu, namun tanyalah siapa temannya
Karena setiap teman meniru temannya
Bila engkau berada pada suatu kaum maka bertemanlah dengan orang yang terbaik dari mereka
Dan janganlah engkau berteman dengan orang yang rendah/hina niscaya engkau akan hina bersama orang yang hina
Karenanya lihat-lihat dan timbang-timbanglah dengan siapa engkau berkawan.
Dampak Teman yang Jelek
Ingatlah, berteman dengan orang yang tidak baik agamanya, akhlak, sifat, dan perilakunya akan memberikan banyak dampak yang jelek. Di antara yang dapat kita sebutkan di sini:
1. Memberikan keraguan pada keyakinan kita yang sudah benar
Bahkan dapat memalingkan kita dari kebenaran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ. قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ إِنِّي كَانَ لِي قَرِينٌ. يَقُولُ أَئِنَّكَ لَمِنَ الْمُصَدِّقِينَ. أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَدِينُونَ. قَالَ هَلْ أَنْتُمْ مُطَّلِعُونَ. فَاطَّلَعَ فَرَآهُ فِي سَوَاءِ الْجَحِيمِ. قَالَ تَاللهِ إِنْ كِدْتَ لَتُرْدِينِ. وَلَوْلاَ نِعْمَةُ رَبِّي لَكُنْتُ مِنَ الْمُحْضَرِينَ
Lalu sebagian mereka (penghuni surga) menghadap sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) memiliki seorang teman. Temanku itu pernah berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang yang membenarkan hari berbangkit? Apakah bila kita telah meninggal dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan.” Berkata pulalah ia, “Maukah kalian meninjau temanku itu?” Maka ia meninjaunya, ternyata ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala. Ia pun berucap, “Demi Allah! Sungguh kamu benar-benar hampir mencelakakanku. Jikalau tidak karena nikmat Rabbku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka.” (Ash-Shaffat: 50-57)
Dengarkanlah kisah wafatnya Abu Thalib di atas kekafiran karena pengaruh teman yang buruk. Tersebut dalam hadits Al-Musayyab bin Hazn, ia berkata,
“Tatkala Abu Thalib menjelang wafatnya, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dapati di sisi pamannya ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnil Mughirah. Berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’ Namun kata dua teman Abu Thalib kepadanya, ‘Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus meminta pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib terus pula mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallah.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Teman yang jelek akan mengajak orang yang berteman dengannya agar mau melakukan perbuatan yang haram dan mungkar seperti dirinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang munafikin:
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً
“Mereka menginginkan andai kalian kafir sebagaimana mereka kafir hingga kalian menjadi sama.” (An-Nisa`: 89)
3. Tabiat manusia, ia akan terpengaruh dengan kebiasaan, akhlak, dan perilaku teman dekatnya.
Karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu menurut agama teman dekat/sahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat1” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 927)
4. Melihat teman yang buruk akan mengingatkan kepada maksiat sehingga terlintas maksiat dalam benak seseorang.
Padahal sebelumnya ia tidak terpikir tentang maksiat tersebut.
5. Teman yang buruk akan menghubungkanmu dengan orang-orang yang jelek, yang akan memudaratkanmu.
6. Teman yang buruk akan menggampangkan maksiat yang engkau lakukan
Sehingga maksiat itu menjadi remeh/ringan dalam hatimu dan engkau akan menganggap tidak apa-apa mengurangi-ngurangi dalam ketaatan.
7. Karena berteman dengan orang yang jelek, engkau akan terhalang untuk berteman dengan orang-orang yang baik/shalih
Sehingga terluputkan kebaikan darimu sesuai dengan jauhnya engkau dari mereka.
8. Duduk bersama teman yang jelek tidaklah lepas dari perbuatan haram dan maksiat
Seperti ghibah, namimah, dusta, melaknat, dan semisalnya. Bagaimana tidak, sementara majelis orang-orang yang jelek umumnya jauh dari dzikrullah, yang mana hal ini akan menjadi penyesalan dan kerugian bagi pelakunya pada hari kiamat nanti. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ تَعَالَى فِيْهِ، إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
“Tidak ada satu kaum pun yang bangkit dari sebuah majelis yang mereka tidak berzikir kepada Allah ta’ala dalam majelis tersebut melainkan mereka bangkit dari semisal bangkai keledai2 dan majelis tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka.” (HR. Abu Dawud. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 77)
Demikian… Semoga ini menjadi peringatan!
(Dinukil secara ringkas dengan perubahan dan tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan, hal. 95-99)
Sumber: asySyariah

Catatan Kaki:

  1. Seseorang akan berperilaku seperti kebiasaan temannya dan juga menurut jalan serta perilaku temannya. Maka hendaknya setiap kita merenungkan dan memikirkan dengan siapa kita bersahabat. Siapa yang kita senangi agama dan akhlaknya maka kita jadikan ia sebagai teman, dan yang sebaliknya kita jauhi. Karena yang namanya tabiat akan saling meniru dan persahabatan itu akan berpengaruh baik ataupun buruk.
    (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Az-Zuhd, bab 45) 
  2. Sama dengan bangkai keledai dalam bau busuk dan kotornya
    (‘Aunul Ma’bud, kitab Al-Adab, bab Karahiyah An Yaqumar Rajulu min Majlisihi wala Yadzkurullah) 

Katakanlah kebenaran, janganlah berkata tanpa ilmu dan AMALkanlah apa yang engkau katakan

Berkata Ibnu ‘Abbas Rådhiyallåhu ‘anhumaa:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ فَعَلَ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika Beliau bersabda (tentang sesuatu), maka pasti beliau AMALKAN (apa yang beliau sabdakan tersebut).”
(Atsar Riwayat Bukhåriy no. 2487)
Perlu kita ketahui, bahwa Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam tidaklah berkata/bersabda, melainkan perkataan beliau tersebut adalah wahyu; beliau tidaklah berkata menurut hawa nafsu yang MENYESATKAN; sebagaimana firman Allåh:
وَالنَّجْم إِذَا هَوَىٰ . مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ . وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) TIDAK SESAT dan TIDAK PULA KELIRU. dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(an-najm: 1-4)
Ibnu Katsiir menafsirkan:
“Ayat ini merupakan kesaksian bahwa Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam berada diatas jalan yang lurus, mengikuti kebenaran dan bukan orang yang sesat.
Yang dimaksud dengan orang yang sesat adalah orang-orang yang menempuh jalan menyimpang TANPA ILMU. Dan orang yang keliru adalah orang yang mengetahui kebenaran, tetapi ia menyimpang darinya dengan sengaja.
Allåh membersihkan Råsul dan syari’atNya dari kemiripan orang-orang yang sesat, seperti orang-orang nashrani dan jalan-jalan orang (yang keliru dan dibenci/dimurkai, seperti orang) yahudi. Mereka (orang yahudi) mengetahui kebenaran, tetapi menyembunyikannya dan mengamalkan hal yang sebaliknya.
Adapun beliau shållallåhu ‘alayhi wa sallam dan syari’at yang agung yang dengannya Allåh mengutusnya, berada dipuncak kelurusan, keseimbangan dan kebenaran.
Karena itu Allåh berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. .
Yakni, Beliau shållallåhu ‘alayhi wa sallam SAMA SEKALI TIDAK MENGUCAPKAN sesuatu berdasakan hawa nafsu dan kepentingnnya.
Allåh berfirman:
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)
Yakni, Råsulullåh hanya mengatakan apa yang diperintahkan kepadanya untuk disampaikan kepada manusia DENGAN SEMPURNA, APA ADANYA, TANPA PENGURANGAN dan PENAMBAHAN.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari ‘Abdullah bin Amr, (ia) berkata:
Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah untuk kuhafalkan, namun Quraish melarangngku seraya mengatakan: Apakah engau menulis segala sesuatu, padahal Rasulullah adalah seorang manusia yang berbicara ketika marah dan ridha?! Akupun menahan diri dari penulisan sehingga aku mengadukannya kepada Rasullalh, lantas beliau mengisyaratkan dengan jarinya ke mulutnya seraya bersabda:
اكْتُبْ, فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
Tulislah, Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah keluar darinya (mulut Nabi) kecuali al-Haq (sesuatu yang jujur dan benar).
(Shahiih Tafsiir Ibnu Katsiir [VIII/586-587])
Dan PERKATAAN beliau tersebut adalah sesuatu yang DIAJARKAN (disampaikan) oleh Jibril ‘alayhis salaam kepadanya, berdasarkan firman Allåh, pada ayat setelahnya:
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ . ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ
Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli
(an-Najm 5-6)
Ibnu Katsir menafsirkan:
Yakni Jibril ‘alayhis salaam telah mengajarkan kepadanya apa yang harus disampaikan kepada manusia, sebagaimana firman Allåh:
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ . ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ . مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ
Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya
(at-Takwir: 19-21)
(Shahiih Tafsiir Ibnu Katsiir [VIII/589])
Fawaid:
Hendaknya kita MENUNTUT ILMU AGAMA (yang kemudian kita MEMAHAMINYA DENGAN BENAR) sebelum membicarakan/mengamallkan perkara agama.
Ketahuilah sesungguhnya Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam telah menjadi teladan kita dalam hal ini.. tepatlah perkataan al-imam al-bukhåriy råhimahullåh:
باب : العلم قبل و العمل
“Baab: Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”.
Perkataan beliau ini beliau sandarkan kepada firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”
(QS. Muhammad [47]: 19).
Ibnul Munir rahimahullah berkata,
“Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat diterima benarnya suatu perkataan dan perbuatan.
Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu.
Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.”
(Fathul Bari, 1/108)
dan hendaknya ilmu tersebut dituntut dari AHLInya, sebagaimana firman Allåh:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
maka bertanyalah kepada AHLI DZIKR (AHLI ILMU/ULAMA) jika kamu tidak mengetahui,
(An-Nahl: 43)
Hal yang patut kita teladani dari Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam:
1. Beliau TIDAKLAH BERKATA/BERAMAL TANPA ILMU sebagaimana yang disebutkan Allåh dalam firmanNya diatas (an-najm 2)
2. Beliau berkata dan mengamalkan sesuatu DENGAN BERDASARKAN ILMU (wahyu), berdasarkan firman Allåh (an-najm 3-4)
3. Beliau tidaklah berkata, melainkan itulah kebenaran (berdasarkan wahyu), berdasarkan hadits:
إِنِّيْ لّا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًا
“Sesungguhnya aku tak akan mengucapkan sesuatu kecuali itu benar”
[At-Tirmidzy dalam As-Sunan (1990). Hadits ini di-shohih-kan Al-Albany dalam Ash-Shohihah (1726)]
4. Beliau mendapatkan pengajaran dari AHLI-nya, sebagaimana dijelaskan Allåh dalam firmanNya (an-Najm 5-6) dan (at-takwir 19-21); yang mana wahyu yang beliau katakan/amalkan tersebut, merupakan pengajaran dari Jibril ‘alayhis salaam.
5. Beliau tidaklah berkata, melainkan beliau MENGAMALKAN perkataan yang beliau katakan tersebut, berdasarkan atsar ibnu abbas radhiyallahu ‘anhumaa diatas.
Subhanallåh.. sungguh sesuatu hal yang sangat sangat patut untuk kita teladani.. yakni mengisi hidup dengan ILMU dan AMAL..
Semoga bermanfa’at

Wahai para pemegang ilmu, AMALKANLAH ILMUMU!

‎’Aliy Rådhiyallåhu ‘anhu menasehatkan kepada kita (para penuntut ilmu):
Wahai para pemegang ilmu, hendaklah kalian mengamalkannya (yakni mengamalkan ilmu yang telah kalian ketahui), karena seorang ‘alim adalah (orang) yang mengamalkan apa yang ia ketahui, yang ilmunya cocok dengan amalannya…
Akan ada beberapa kaum, yang mereka membawa ilmu, akan tetapi ilmu mereka tidak melewati kerongkongan mereka. amal dan ilmu mereka tidak sesuai, batin dan lahir mereka tidak sesuai.
Mereka duduk-duduk bermajlis dalam sebuah kelompok dan sebagian mereka membanggakan sebagian yang lain, hingga seorang laki-laki marah kepada teman duduknya, sehingga jika duduk akan berpindah ke tempat lain, sehingga yang lain meninggalkannya. Mereka itulah yang amal mereka tidak diangkat kepada Allah”.
(Atsar Riwayat ad-Darimiy)
Benarlah apa kata beliau -rådhiyallåhu ‘anhu-, marilah kita simak hadits berikut:
Telah menceritakan kepada kami [Nashr bin Ashim Al Anthaki] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Walid] dan [Mubasysyir] -maksudnya Mubassyir bin Isma’il Al Halabi- dari [Abu Amru]. Ia (Al Walid) berkata; telah menceritakan kepada kami [Abu Amru] berkata; telah menceritakan kepadaku [Qatadah] dari [Abu Sa'id Al Khudri] dan [Anas bin Malik] dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي اخْتِلَافٌ وَفُرْقَةٌ قَوْمٌ يُحْسِنُونَ الْقِيلَ وَيُسِيئُونَ الْفِعْلَ
“Akan terjadi perbedaan dan perpecahan di antara umatku, sebagian kelompok pandai dalam berbicara, namun menyimpang amalannya..
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يَرْجِعُونَ حَتَّى يَرْتَدَّ عَلَى فُوقِهِ
Mereka membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan1. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busurnya, dan mereka tidak akan kembali lagi hingga anak panah kembali ke busurnya.
هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ طُوبَى لِمَنْ قَتَلَهُمْ وَقَتَلُوهُ
Mereka adalah seburuk-buruk manusia. Maka beruntunglah orang yang membunuhnya dan orang yang mereka bunuh.
يَدْعُونَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَلَيْسُوا مِنْهُ فِي شَيْءٍ
Mereka mengajak kepada Al-Qur’an, tetapi mereka sendiri tidak termasuk darinya2 sedikitpun.”
مَنْ قَاتَلَهُمْ كَانَ أَوْلَى بِاللَّهِ مِنْهُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا سِيمَاهُمْ
Siapa memerangi mereka, maka yang demikian lebih mulia di sisi Allah.”
(HR. Bukhåriy)
Semoga bermanfa’at

Dapat Ruku' Dapat Raka'at

Diantara perkara fiqih kontemporer yang sering muncul kepermukaan adalah perkara dapat tidaknya seseorang satu rakaat, ketika ia menjumpai imam sholat dalam keadaan ruku’?!
Dalam beberapa kesempatan ketika kami bertemu dengan sebagian ikhwah (saudara seiman), baik dalam majelis ilmu, maupun di luar, sebagian mereka bertanya tentang hal tersebut. Perkara ini semakin menguatkan kami untuk menurunkan tulisan ini.
Karenanya, kami katakan, bahwa barangsiapa yang mendapatkan imamnya dalam keadaan ruku’, maka ia telah mendapatkan raka’at tersebut, walau ia tak sempat baca Al-Fatihah. Adapun apabila ia hanya mendapati imamnya telah bangkit dari ruku’-nya, maka ia tak mendapatkan raka’at itu.
Disana terdapat beberapa hadits, dan atsar yang menguatkan apa yang kami nyatakan. Kami ambilkan dari kitab Al-Irwa’ di bawah (no.496), dan Ash-Shohihah (229) Diantaranya:
Hadits Pertama
Dari Al-Hasan-rahimahullah-,
عَنِ الْحَسَنِ: أَنَّ أَبَا بَكْرَةَ جَاءَ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاكِعٌ , فَرَكَعَ دُوْنَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ , فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَهُ قَالَ: أَيُّكُمُ الَّذِيْ رَكَعَ دُوْنَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ ؟ , فَقَالَ أَبُوْ بَكْرَةَ: أَنَا , فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
"Bahwa Abu Bakroh pernah datang, sedang Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ruku’. Maka Abu Bakroh ruku’ sebelum (masuk) shaff. Kemudian beliau berjalan menuju shaff. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyelesaikan sholatnya sholatnya, maka beliau bersabda, "Siapakah diantara kalian yang ruku’ sebelum shaff, lalu ia berjalan menuju shaff". Abu Bakroh menjawab, "Saya". Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, "Semoga Allah memberimu tambahan semangat, jangan ulangi". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (683 & 684), Ahmad dalamAl-Musnad (20421, 20452, 20475, 20476, 20488, 20528), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (2415, 4997, 4998, & 4999), dan selainnya. Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (230)]
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa seorang yang datang terlambat, lalu ia menemui imam sedang ruku’, maka ia disunnahkan untuk ruku’ sambil berjalan di belakang shaff menuju shaff dalam keadaan tenang, tanpa terburu-buru. Dengan ini, ia dianggap telah mendapatkan satu raka’at, tanpa harus menambah. Perhatikan hadits ini, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya, lalu dijawab oleh Abu Bakroh. Ini menunjukkan bahwa Abu Bakroh bukan masbuq yang harus menambah satu raka’at, sebab Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya, dan langsung dijawab oleh Abu Bakroh. Andai ia ketinggalan satu raka’at, maka ia tak akan menjawab pertanyaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- secara langsung, bahkan akan dijelaskan oleh rawi hadits bahwa Abu Bakroh sholat, lalu ia berkata demikian, dan demikian dalam menjawab pertanyaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Namun hal itu tak disebutkan dalam hadits ini sehingga kita tahu bahwa Abu Bakroh bukan masbuq yang ketinggalan satu raka’at. Alhamdulillah ala minnatih.
Hadits Kedua
Atho’ -rahimahullah- mengatakan bahwa,
عن عَطَاءٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ الزُّبَيْرِ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ: إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ وَالنَّاسُ رُكُوْعٌ فَلْيَرْكَعْ حِيْنَ يَدْخُلُ ثُمَّ يَدُبُّ رَاكِعًا حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ فَإِنَّ ذَلِكَ السُّنَّةُ , قَالَ عَطَاءٌ : وَقَدْ رَأَيْتُهُ يَصْنَعُ ذَلِكَ , قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ : وَقَدْ رَأَيْتُ عَطَاءً يَصْنَعُ ذَلِكَ
"Dia telah mendengar Abdullah bin Zubair berkata di atas mimbar, "Jika seorang di antara kalian masuk ke dalam masjid, sedang orang-orang ruku’, maka hendaknya ia ruku’ saat ia masuk, lalu berjalan dalam posisi ruku’ sampai ia masuk dalam shaff, karena sesungguhnya hal itu ternasuk sunnah". Atho’ berkata, "Sungguh aku telah melihat dia (Abdullah bin Zubair) melakukan hal itu". Ibnu Juraij berkata, "Sungguh aku telah melihat Atho’ melakukan hal itu". [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya (1571), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (7016), Al-Hakim Al-Mustadrok (777), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (5001)]
Hadits Ketiga
Utsman bin Al-Aswad berkata,
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ اْلأَسْوَدِ قَالَ: دَخَلْتُ أَنَا وَعَمْرُو بْنُ تَمِيْمٍ الْمَسْجِدَ, فَرَكَعَ اْلإِمَامُ فَرَكَعْتُ أَنَا وَهُوَ وَمَشَيْنَا رَاكِعَيْنِ حَتَّى دَخَلْنَا الصَّفَّ, فَلَمَّا دَخَلْنَا الصَّفَّ قَالَ لِيْ عَمْرٌو : الَّذِيْ صَنَعْتَ آنِفًا مِمَّنْ سَمِعْتَهُ, قُلْتُ: مِنْ مُجَاهِدٍ , قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ فَعَلَهُ
"Aku pernah masuk bersama Amr bin Tamim ke dalam masjid. Tiba-tiba imam ruku’. Maka aku pun dan dia ruku’, dan kami berjalan dalam keadaan berjalan ruku’ sehingga masuk ke shaff. Amer berkata kepadaku, ""Yang kamu lakukan tadi dari mana engkau dengar. Aku katakan, "Dari Mujahid". Dia (Amer bin Tamim) berkata, "Aku sungguh telah melihat Abdullah bin Zubair pernah melakukannya". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2631)]
Hadits Keempat
Katsir bin Abdil Muththolib dari Abdullah bin Zubair
عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ: أَنَّهُ عَلَّمَ النَّاسَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ: لِيَرْكَعْ ثُمَّ لْيَمْشِ رَاكِعًا, وَإِنَّهُ رَأَى ابْنَ الزُّبَيْرِ يَفْعَلُهُ
"Bahwa beliau mengajari manusia di atas mimbar seraya berkata, "Hendaknya seorang ruku’, lalu ia berjalan ruku’". Dia (Katsir) melihat beliau melakukannya". [HR. Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (3383)]
Hadits Kelima
Az-Zuhriy-rahimahullah- berkata,
عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ : كَانَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَالنَّاسُ رُكُوْعٌ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ, فَكَبَّرَ ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ دَبَّ وَهُوَ رَاكِعٌ حَتَّى يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ
"Dahulu Zaid bin Tsabit jika masuk masjid , sedang manusia ruku’, maka beliau menghadap kiblat, lalu bertakbir, ruku’, dan berjalan (menuju shaff), sedang beliau ruku’ sehingga beliau tiba ke shaff".[HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/91/no.2420)]
Hadits Keenam
Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif berkata ,
أَبُوْ أُمَامَةَ ابْنُ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ : أَنَّهُ رَأَى زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَاْلإِمَامُ رَاكِعٌ , فَمَشَى حَتَّى أَمْكَنَهُ أَنْ يَصِلَ الصَّفَّ وَهُوَ رَاكِعٌ , كَبَّرَ فَرَكَعَ ثُمَّ دَبَّ وَهُوَ رَاكِعٌ حَتَّى وَصَلَ الصَّفَّ
"Bahwa ia pernah melihat Zaid bin Tsabit masuk ke dalam masjid , sedang imam ruku’. Maka beliau berjalan sehingga memungkinkan dirinya sampai ke shaff, sedang ia ruku’. Kemudian beliau ruku’ lalu berjalan, sedang beliau ruku’ sehingga beliau sampai ke shaff". [HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (2417)]
Al-Imam Abu Bakr Al-Baihaqiy Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits di atas, dan hadits Abu Bakroh yang telah lewat di awal pembahasan, "Dalam hal itu terdapat dalil tentang didapatkannya satu raka’at (dengan mendapatkan ruku’nya imam, pen.). Andaikan tak demikian, maka mereka tak mungkin akan memaksakan diri melakukan hal itu". [Lihat Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (2/90)]
Hadits Ketujuh
Seorang yang tak mendapatkan imamnya ruku’, maka ia tak mendapatkan 1 raka’at. Tapi jika ia dapati imamnya dalam posisi ruku, lalu ia ruku’ bersama imam, maka ia akan mendapatkan raka’at tersebut. Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
عَنْ عَبْدِ اللهِ يَعْنِيْ ابْنَ مَسْعُوْدٍ قَالَ : مَنْ لَمْ يُدْرِكِ اْلإِمَامَ رَاكِعًا لَمْ يُدْرِكْ تِلْكَ الرَّكْعَةَ
"Barangsiapa yang tak mendapatkan imam sedang ruku’, maka ia tidak mendapatkan raka’at tersebut". [HR. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (2/90/no.2411)]
Hadits Kedelapan
Zaid bin Wahb-rahimahullah- berkata,
عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عَبْدِ اللهِ مِنْ دَارِهِ إِلَى الْمَسْجِدِ , فَلَمَّا تَوَسَّطْنَا الْمَسْجِدَ رَكَعَ اْلإِمَامُ, فَكَبَّرَ عَبْدُ اللهِ ثُمَّ رَكَعَ وَرَكَعْتُ مَعَهُ ثُمَّ مَشَيْنَا رَاكِعَيْنِ حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى الصَّفِّ حَتَّى رَفَعَ الْقَوْمُ رُؤُوْسَهُمْ, قَالَ: فَلَمَّا قَضَى اْلإِمَامُ الصَّلاَةَ قُمْتُ أَنَا, وَأَنَا أَرَى لَمْ أُدْرِكْ, فَأَخَذَ بِيَدِيْ عَبْدُ اللهِ, فَأَجْلَسَنِيْ وَقَالَ: إِنَّكَ قَدْ أَدْرَكْتَ
"Aku pernah keluar bersama Abdullah (yakni, Ibnu Mas’ud) dari rumahnya menuju ke masjid. Tatkala kami berada di tengah masjid, maka imam ruku’. Abdullah bin Mas’ud pun bertakbir lalu ruku’. Aku juga ruku’ bersamanya, lalu kami berjalan sampai tiba ke shaff saat kaum (jama’ah sholat) mengangkat kepala mereka. Dia (Zaid bin Wahb) berkata, "Tatkala imam menyelesaikan sholatnya, maka aku berdiri –sedang saya memandang bahwa aku tak mendapatkan shalat (secara sempurna)-, maka Andullah bin Mas’ud menarik tanganku, lalu mendudukkan aku, seraya berkata, "Sesungguhnya engkau telah mendapatkan sholat (secara sempurna)". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2622), Ath-Thohawiy (1/231-232), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir(9/271/no.9353), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (2/90/no.2418)]
Hadits Kesembilan
Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ: مَنْ أَدْرَكَ اْلإِمَامَ رَاكِعًا فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَرْفَعَ اْلإِمَامَ رَأْسَهُ, فَقَدْ أَدْرَكَ تِلْكَ الرَّكْعَةَ
"Barangsiapa yang mendapati imam dalam keadaan ruku’, lalu ia ruku’ sebelum imam mengangkat kepalanya, maka sungguh ia telah mendapatkan raka’at tersebut". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2520), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (2/90/no. 2413)]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata seusai membawakan beberapa hadits, dan atsar di atas, "Atsar-atsar ini menunjukkan tentang perkara lain, selain yang ditunjukkan oleh hadits ini (Hadits Abdullah bin Az-Zubair) bahwa barangsiapa yang mendapati ruku’nya imam, maka ia sungguh ia telah mendapatkan raka’at". [Lihat Ash-Shohihah (1/1/456)]
Apa yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- adalah pendapat yang terkuat berdasarkan atsar yang amat gamblang berikut ini:
Hadits Kesepuluh
Dari Abdul Aziz bin Rofi’ dari seorang laki-laki (yakni, Abdullah bin Mughoffal Al-Muzaniy) -radhiyallahu ‘anhu- berkata, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا وَجَدْتُمُوْهُ قَائِمًا أَوْ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا أَوْ جَالِسًا, فَافْعَلُوْا كَمَا تَجِدُوْنَهُ, وَلاَ تَعْتَدُّوْا بِالسَّجْدَةِ إِذَا لَمْ تُدْرِكُوْا الرَّكْعَةَ
"Jika kalian mendapati imam dalam keadaan berdiri atau ruku’, atau sujud, atau duduk, maka lakukanlah sebagaimana engkau mendapatinya. Janganlah engkau memperhitungkan sujudnya, jika engkau tak mendapati ruku’nya". [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (2/281/no.3373), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (2/296/no. 3434), dan Al-Marwaziy dalam Masa'il Ahmad wa Ishaq(1/127/1) sebagaimana dalam Ash-Shohihah (1188)]
Faedah : Kata ( الرَّكْعَةَ ) bisa bermakna raka’at, dan bisa juga bermakna ruku’. Namun dalam riwayat hadits Abdullah bin Mughoffal ini, yang dimaksud adalah ruku’. Hal itu dikuatkan oleh riwayat lain dari jalur Abdul Aziz bin Rofi’ di sisi Al-Baihaqiy dari Abdullah bin Mughoffal -radhiyallahu ‘anhu- :
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا جِئْتُمْ وَاْلإِمَامُ رَاكِعٌ فَارْكَعُوْا, وَإِنْ كَانَ سَاجِدًا فَاسْجُدُوْا, وَلاَ تَعْتَدُّوْا بِالسُّجُوْدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ الرُّكُوْعُ
"Jika kalian datang, sedang imam ruku’, maka ruku’lah. Jika ia sujud, maka bersujudlah, dan jangan perhitungkan sujudnya, jika tak ada ruku’ yang bersamanya". [HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (2/89/no.2409)]
Para Pembaca yang budiman, usai kita melihat, dan menelaah hadits-hadits, dan atsar-atsar yang berlalu, maka kita bisa menyimpulkan bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur(kebanyakan) ulama’ yang menyatakan bahwa orang yang mendapatkan imam ruku’, maka ia telah mendapatkan raka’at tersebut, walaupun ia tak sempat membaca Al-Fatihah, sebab dalam hal ini ia mendapatkan rukhshoh (keringanan) untuk tak membaca Al-FatihahWallahu a’lam.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh para ulama’ yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah. Para ulama tersebut pernah ditanya, "Seorang makmum datang terlambat, lalu ia mendapati imam ruku’. Maka ia pun bertakbir, dan ruku’ bersama imam sebelum imam bangkit dari ruku’nya. Apakah wajib bagi makmum tersebut untuk mengganti raka’at tersebut setelah imam salam".
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Jika makmum bertakbir dengan takbiratul ihram dalam keadaan berdiri, lalu ia ruku’, dan mendapati imam ruku’, maka raka’at tersebut telah cukup (sah) baginya berdasarkan hadits Abu Bakroh -radhiyallahu ‘anhu-…". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah (7/316-317), cet. Dar Balansiyah]
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 82 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Fiqh al-Fatihah

Surat Al Fatihah merupakan sebuah surat paling agung di dalam al-Qur’an. Hal itu berdasarkan hadits Abu Sa’id bin Al Mu’alla yang dikeluarkan oleh Al Bukhari (hadits nomor 4474). Surat ini telah mencakup ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.


Surat al-Fatihah adalah surat Makiyah menurut pendapat yang kuat di antara pendapat ahli ilmu. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala
‎وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
(yang artinya), “Sungguh Kami telah memberikan kepadamu tujuh yang diulang-ulang dan sebuah al-Qur’an/bacaan yang sangat agung.”
(QS. al-Hijr : 87).
Ayat ini terdapat di dalam surat al-Hijr, sedangkan surat al-Hijr adalah surat Makiyah berdasarkan ijma’ (sebagaimana dinukil oleh al-Qurthubi).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun telah menafsirkan bahwa tujuh ayat yang diulang-ulang dan al-Qur’an yang agung itu sebagai surat al-Fatihah (HR. Bukhari).
Demikian pula shalat diwajibkan di Mekah, sedangkan Nabi ‘alaihish sholatu was salam bersabda,
‎لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak sah sholat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab/surat al-Fatihah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Nama-nama lain al-Fatihah
al-Fatihah memiliki nama-nama lain, sebagian di antara nama-nama tersebut adalah :
* Fatihatul kitab
Penamaan ini tidak diperselisihkan di kalangan ulama dikarenakan al-Kitab/al-Qur’an memang dimulai dengannya, dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‎لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak sah sholat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab/surat al-Fatihah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
* Ummul Kitab
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎ كُلُّ صَلَاةٍ ا يُقْرَأُ فِيهَا بِأُمِّ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ فَهِيَ خِدَاجٌ فَهِيَ خِدَاجٌ غَيْرُ تَمَامٍ
“Setiap shalat yang tidak dibacakan didalamnya Ummul kitab (surat al fatihah) maka ia kurang, ia kurang dan tidak sempurna.”
(Shåhiih, HR. Ahmad dan lainnya)
Hal itu juga sebagaimana disebutkan di dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, yang di dalamnya dia mengatakan,
“… Dan tidaklah aku meruqyah melainkan dengan membaca Ummul Kitab.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
* Ummul Qur’an
Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‎أُمُّ الْقُرْآنِ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ
“Ummul Qur’an itu adalah sab’ul matsani -tujuh ayat yang selalu diulang-ulang- dan al-Qur’an yang agung yang dianugerahkan kepadaku.”
(HR. Bukhari)
* al-Hamdu atau alhamdulillahi Rabbil ‘alamin,
Råsulullåhh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي
“Alhamdulillah (surat Al Fatihah) adalah ummul Qur’an, ummul kitab dan sab’ul matsani.”
(Hasan Shahiih; HR. Abu Dawud, at-Tirmidziy, ad-Darimiy; dll)
Juga berdasarkan ucapan Anas:
“Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Mereka dahulu selalu membuka bacaan shalat dengan alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
[Namun dalam menafsirkan ungkapan 'alhamdulillah' di sini ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah bacaan alhamdulillah, bukan nama bagi surat al-Fatihah, lihat Shahih Muslim cet Darul Kutub Ilmiyah 1427 H, hal. 156. pent]
* ash-Shalah
Hal itu berdasarkan hadits qudsi,
Allah berfirman,
يَقُولُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Aku membagi shalat antara Aku dengan hambaKu, dan hambaku mendapatkan sesuatu yang dia minta.
“Aku membagi ‘shalat’ menjadi dua bagian antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku akan mendapat apa yang dimintanya….”
(HR. Muslim)
* as-Sab’ul Matsani wal Qur’an al-’Azhim,
Hal itu berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas (HR. Bukhari)
* ar-Ruqyah
Karena Abu Sa’id dahulu pernah meruqyah dengannya
* as-Syafiyah
Sebab orang yang terkena sengatan binatang berbisa bisa sembuh dengan membacanya dengan izin Allah tentunya
* Dan lain sebagainya, wallahu a’lam.
Pentingnya memperhatikan bacaan al-Fatihah
Penjelasan Al-Imam Ibnu Utsaimin
Beliau dalam Asy-Sayrhul Mumti jilid 3 menguraikan cukup panjang masalah ini.Kitab beliau ini adalah syarah dari kitab “Zaadul Mustaqni’ fikhtishor Al-Muqni’ buah karya Abi An-Najaa Musa bin Ahmad bin Musa.KItab yang sedikit lafadz akan tetapi banyak mengandung makna.Sebagai ringkasan dari kitab “Al-Muqni”.Kitab dalam madzhab Imam Ahmad bin Hambal.
Ucapannya
ثم يقرأ الفاتحة
(kemudian membaca Al-Fatihah)
Huruf (Alif Lam “Al“) pada Al-Fatihah menunjukkan keumuman,yaitu membacanya dengan sempurna tertib dengan ayat-ayatnya,kata-katanya,huruf-hurufnya,dan harokat-harokatnya.
Seandainya dibaca hanya enam ayat saja maka tidak sah.Seandainya dibaca tujuh ayat akan tetapi tertinggal membaca (Adh-dhollin) saja maka tidak sah.
Seandainya dibaca lengkap semua ayat tidak tertinggal satu kalimat pun akan tetapi tertinggal satu huruf semisal membaca “Shirotholladzina an’am ‘alaihim dimana tertinggal huruf “ta” maka tidaklah sah.
Seandainya tertinggal harokat juga tidak sah.
Juga jika dialek yang memungkinkan menghilangkan makna,kecuali jika tidak maka tetap sah.
Akan tetapi tidak boleh bersandar pada dialek ucapan yang salah.Misal dari yang menghilangkan (merubah) makna ucapan “Ihdina” dibaca “Ahdina” dengan memfathahkan hamzah.
Karena maknanya bisa berbeda.Yaitu jika dibaca “Ahdina” artinya “kami memberikan kepadanya hadiah”,tetapi jika dibacanya benar dengan hamzah washol maka bermakna “tunjukkan kepada kami atasnya dan memberikan taufiq kepada kami dan dijelaskan kepada kami”
Seandainya orang membaca ayat ketujuh
“Shirotholladziina in’amta ‘alaihim”
Maka tidak sah karena maknanya berbeda yaitu al-in’am (nikmat) itu asalnya dari pembaca bukan dari Allah.
Contoh dari yang tidak menghilangkan makna seperti ucapan Alhamdi lillah dengan menggati harokat dhommah.
Jika mengucapkan dengan Alhamdulillahi robil ‘alamin dengan tidak mentasydid huruf “ba (pada kata yang seharusnya dibaca “Robbil ‘alamin) maka ini tidak sah disebabkan telah menghilagkan satu huruf,karena huruf tasydid merupakan ungkapan dari dua huruf.
Oleh karenanya harus dan mesti membacanya secara sempurna dengan ayat-ayatnya,kalimat-kalimatnya,huruf-hurufnya,harokat-harokatnya.Maka jika meninggalkan satu ayat saja atau huruf atau harokat dimana merubah makna maka tidak sah.
Dalam paragraf lain Syaikh meringkas :
Ucapannya “yaqro-ul fatihah” bermakna ucapan ini bahwasannya harus dibaca dengan keseluruhan huruf-hurufnya,harokat-harokatnya dan kalimat-kalimatnya dan tertib urutan ayatnya.
Inilah lima perkara :
- Ayat,
- kalimat,
- huruf ,
- harokat
- dan tertib urutan.
Dan ini diambil dari ucapan penulis “Al-Fatihah” karena Alif Lam (Al) disini untuk mengingatkan bahwa maksudnya Al-Fatihah yang dikenal dimana terdiri dari tujuh ayat beserta kalimat,huruf,harokat dengan tertib. Harus bersambungan yakni tidak memotongnya dengan jeda yang panjang,karena ini adalah ibadah yang satu maka disyaratkan bersambungan sebagaimana membasuh anggota-anggota wudhu
Penjelasan Al-Imam Albani
Beliau membuat bab khusus dalam Sifat Sholat Nabi (yang saya rujuk adalah kitab Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi), bab tersebut adalah Al-Qiroah ayatan ayatan.Tentu kita sering mendengar Imam sholat semisal membaca menyambungkan dua ayat atau lebih dalam surat ini seperti ini
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين مَالِكِ/مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Alhamdulillahi robbil ‘aalaminarrohmanirrohimimmaalikiyaumiddin…
Al-Imam Albani dalam pembahasan beliau dalam bab ini menjeaskan kaifiyat yang benar.
Beliau mengatakan :
Kemudian membaca Al-Fatihah dan memotongnya ayat per ayat: kemudian berhenti dilanjut membaca الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين kemudian berhenti dilanjut membaca الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ kemudian berhenti dilanjut membaca maaliki yaumiddin. Demikianlah sampai akhir surat. Demikian juga dalam bacaan selain Al-Fatihah,berhenti pada tiap-tiap ayat tanpa menyambungnya.
Dalilnya ada dalam Al-Irwa (343) diriwayatkan oleh Ummu Salamah rodhiyallahu ‘anha ,bahwasannya beliau ditanya tentang bacaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam,maka Ummu Salamah berkata:
يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً
Beliau membacanya dengan memotong ayat per ayat
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين
(Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam)
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
(Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
مَالِكِ/مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
(Yang menguasai hari pembalasan)
Keluasan takhrij hadist silahkan merujuk pada kitab beliau.
Adapun hal ini dikatakan beliau mutlak berlaku tidak hanya pada Al-fatihah tetapi juga pada surat lain, dasarnya adalah ucapan rawi hadist :
Rasulullah membaca ayat per ayat.Dan ini mutlak tidak diikat hanya pada Al-Fatihah,tidak berarti membatasi hanya pada Al-fatihah, tapi berlaku semisal pada surat yang lain
(Al-Zaad 1/521)
Syaikh Albani berkata
”Inilah yang afdhol,yakni berhenti tiap ayat,meskipun ayat sesudahnya berkaitan”
Juga beliau berkata:
“Mengikuti petunjuk Nabi dan sunnahnya adalah lebih utama.Diantara yang mengatakannya adalah Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan selainnya menguatkan berhenti pada tiap ayat meskipun berkaitan dengan ayat sesudahnya.”
Kemudian beliau menukilkan perkataan Syaikh Ali Al-Qori :
“Telah bersepakat Ahli Qiroat bahwasannya berhenti dalam tiap fasal adalah berhenti yang hasan (baik), meskipun ayatnya berkaitan dengan ayat sesudahnya.”
Silahkan membaca kaki nota beliau yang cukup panjang dari halaman 293-298 Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi cetakan 2006 Maktabah Al-Ma’arif.
Cara membacanya yakni:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
——-
Apakah basmallah merupakan bagian dari surat al-fatihah dan surat-surat lainnya?
Terjadi khilaf diantara para ulama mengenai hal ini
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa basmallah bukan merupakan bagian al-fatihah dan seluruh surat-surat lain di Al-Qur’an.
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa basmallah adalah bagian ayat dari Al-Quran dan diturunkan terpisah dari tiap surat di Al-Quran, dan bukan bagian dari Al-Fatihah.
Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa basmallah adalah bagian Al-fatihah dan surat-surat lain.
Dalam penjelasan hadits no 270/15, Imam Shon’aany menerangkan Imam Nasa’i berpendapat bahwa yang terkuat adalah membaca basmallah (baik itu jahr ataupun siir). Hukum bacaannya mengikuti hukum al-fatihah. Hadits terkuat dalam permasalahan ini (jahr/sir-nya basmallah) adalah riwayat Nu’aim dari Abi Hurairah
“Aku shålat di belakan Abu Hurairah rådhiyallåhu ‘anhu, lalu beliau membaca
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
kemudian membaca ayat Quran….”
di akhir hadits Abu hurayrah berkata:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, Aku adalah orang yang paling menyerupai Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam shalat.
(Shahiih, Riwayat Nasa’i)
Apakah pembacaan basmallah, siir atau jarh?
Ulama dari Madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa dibaca sir pada Al-Fatihah di tiap tiap råkaat dan sunnah untuk membacanya pada tiap surat yang lain
Ulama dari Madzhab Syafi’y berpendapat membaca basmallah adalah wajib, dibaca jahr waktu shålat jahr (baik pada surat al-fatihah atau surat-surat yang lain), dan dibaca sir waktu shålat sir, dan juga pada tiap tiap surat
Ulama dari Madzhab Hambaly berpendapat dibaca sir dan tidak sunnah men-jahr-kannya, baik itu pada waktu membaca al-fatihah ataupun surat-surat yang lain.
Berkata Syaikh Masyhur Hasan Salman,
“Yang benar dikatakan, “Masalah ini adalah masalah yang lapang. Dan pendapat yang membatasi pada satu tidak mungkin. Dan setiap yang berpegang kepada satu riwayat dia benar dan berpegang kepada As-Sunnah. Yang sempurna adalah mengikuti Al-Mushthofa shollallahu ‘alaihi wa sallama dalam segala keadaan. Maka kadang dijaharkan dan lebih sering di sirr-kan. Kepada Allah kita meminta tolong, dan Dialah yang menunjuki kepada jalan yang lurus”
[Al-Qowlul Mubin hal. (234)]
Maka keliru jika seseorang meninggalkan secara mutlak membaca basmallah tanpa pernah menjaharkannnya sekali-kali; sebagaimana kelirunya orang yang terus-menerus men-jaharkannya dan tidak pernah men-sirrkannya.
——-
Kemudian membaca:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين
(Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam)
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
(Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
مَالِكِ/مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
(Yang menguasai hari pembalasan)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين
(Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan)
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
(Tunjukilah kami ke jalan yang lurus)
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّين
((yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang Engkau murkai (Yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani))
Wajibnya membaca al-fatihah
Membaca al-fatihah merupakan salah satu rukun shålat, yang wajib dilaksanakan pada setiap raka’at dalam setiap shålat (baik jahr maupun sirh), berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam:
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak ada shålat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah di dalamnya.”
[H.R. Al Jamaah]
Pembacaan al-fatihah gugur, ketika makmum mendapati imam telah ruku’, karena tidak memungkinkan baginya untuk menyempurnakannya dan bisa jadi melewatkan ruku’, karena telah dijaminnya bagi makmum satu raka’at apabila ia mendapati imam sedang ruku’.
Maka hadits umum yang menyatakan
‎لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“tidak ada shålat bagi yang tidak membaca al-fatihah”
Digugurkan dengan hadits khusus
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا جِئْتُمْ وَاْلإِمَامُ رَاكِعٌ فَارْكَعُوْا, وَإِنْ كَانَ سَاجِدًا فَاسْجُدُوْا, وَلاَ تَعْتَدُّوْا بِالسُّجُوْدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ الرُّكُوْعُ
“Jika kalian datang, sedang imam ruku’, maka ruku’lah. Jika ia sujud, maka bersujudlah, dan jangan perhitungkan sujudnya, jika tak ada ruku’ yang bersamanya”.
[HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (2/89/no.2409)]
Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
عَنْ عَبْدِ اللهِ يَعْنِيْ ابْنَ مَسْعُوْدٍ قَالَ : مَنْ لَمْ يُدْرِكِ اْلإِمَامَ رَاكِعًا لَمْ يُدْرِكْ تِلْكَ الرَّكْعَةَ
“Barangsiapa yang tak mendapatkan imam sedang ruku’, maka ia tidak mendapatkan raka’at tersebut”.
[HR. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (2/90/no.2411)]
Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ: مَنْ أَدْرَكَ اْلإِمَامَ رَاكِعًا فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَرْفَعَ اْلإِمَامَ رَأْسَهُ, فَقَدْ أَدْرَكَ تِلْكَ الرَّكْعَةَ
“Barangsiapa yang mendapati imam dalam keadaan ruku’, lalu ia ruku’ sebelum imam mengangkat kepalanya, maka sungguh ia telah mendapatkan raka’at tersebut”.
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2520), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (2/90/no. 2413)]
Yang kemudian menjadikan hadits pertama menjadi hadits umum yang terkhususkan.
[Disalin dari buku Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
Syaikh ibn Baaz berkata:
“Membaca doa istiftah adalah sunnah dan membaca Al-fatihah adalah wajib (–dan termasuk rukun shalat–) bagi yang sholat dibelakang Imam, berdasarkan pendapat ulama yang lebih benar.
Apabila anda khawatir ketinggalan membaca Al-Fatihah maka mulailah dengan membacanya (tidak perlu membaca doa iftitah).
Dan jika Imam ruku sebelum anda selesai membaca al-fatihah maka rukulah bersama Imam dan yang tersisa dari kewajiban membaca Al-Fatihah itu telah terangkat berdasarkan sabda Nabi (shallallåhu ‘alaihi wa sallam):
‎إنما جعل الإمام ليؤتم به ، فلا تختلفوا عليه ، فإذا كبر فكبروا ، وإذا ركع فاركعوا
”Imam itu dangkat untuk diikuti, maka janganlah menyelisihinya.Apabila Imam takbir,maka bertakbir.Jika imam ruku, maka ruku’lah…”
(muttafaqun ‘alaihi)
(–sampai disini perkataan Syaikh ibn Baz–)
Bagi yang belum hafal dengan surat ini dapat menggantikannya dengan berdzikir kepada Allåh, dengan dzikir-dzikir yang ia ketahui. Namun sangat ditekankan baginya untuk menghafal surat ini, karena membaca surat ini merupakan salah satu rukun shalat.
Hukum bagi makmum
Ulama berbeda pendapat kedalam tiga pemahaman dalam masalah ini, dan pendapat mereka terbagi menjadi tiga pendapat:
1. Wajib diam mendengarkan bacaan Imam jika bacaannya dikeraskan. Apabila tidak terdengar bacaan Imam, misalkan karena jauh maka wajib membaca.
Pendapat ini dipilih dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Berbaris dalam barisan ini diantaranya Abu Darda radhiallahu ‘anhu, Imam Malik bin Anas,dan lainnnya.
2. Wajib membaca al-fatihah secara mutlak baik dalam shalat jahriyah atau sirriyah, juga baik mendengar suara imam maupun tidak.
Berbaris dalam pendapat ini diantaranya: ‘Umar bin Khattab, ‘Ubadah bin Shamit, ‘Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum jami’an, Imam Syafi’i dalam qoul jadidnya, Ishaq bin Rahawaih, Imam Al-Bukhari, Imam Asy-Syaukani,dan lain-lain.
3.Tidak wajib membaca, baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.
Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Imam Abu Hanifah dan lainnya.
Yang Rajih adalah pendapat yang kedua, berdasarkan hadits hadits berikut:
1. Dalam riwayat muslim,tirmidzi,An-Nasai,Abu Daud, Ibnu Majah,Imam Ahmad dan Imam Malik disebutkan, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam berkata (dalam lafadz riwayat Imam Ahmad):
أَيُّمَا صَلَاةٍ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ
Shalat apa saja yang tidak dibaca didalamnya surat Al-Fatihah maka shalatnya rusak kemudian rusak dan rusak

(Khidaz disebutkan oleh Imam Albani dalam bukunya, artinya “An-Nuqshon wal fasad”)
Huruf (Ayyu) menurut ulama ushul disebutkan sebagai minal huruf allati tadullu ‘alal umum (huruf yang menujukkan makna umum). Ditambah lagi bahwa kata “sholatin” yang berbentuk nakiroh yang bermakna umum juga. Maka disini, Nabi tidak membedakan shalat imam atau shalat makmum, juga tidak membedakah shalat jahriyah ataupun sirriyah.
Kaidah ushul mengatakan :

أن الأصل في العام أن يبقى على عمومه حتى يدل الدليل على التخصيص
Asal dalam bentuk umum adalah tetap pada keumumannya sampai datang dalil yang menunjukkan kekhususannya
Seandainya memang disana ada pengecualian, maka tentunya Nabi akan mengatakan :“Kecuali bagi makmum” atau “Kecuali bagi yang shalat dibelakang imam” atau yang semakna dengan ini.
2. Hadist Ubadah bin Shamit, hadist muttafaqun ‘alaih:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah
Kata shalat bentuknya nakiroh.
Adalah kaidah mengatakan :

أن النكرة في سياق النفي تدل على العموم
(Bahwa Nakirah dalam bentuk nafyu (peniadaan) menunjukkan makna umum)
Nabi menjelaskan bahwa shalat tidaklah sah apabila tidak membaca Al-Fatihah,sama saja apakah sebagai makmum atau ketika shalat sendiri atau ketika menjadi imam. Yang menunjukkan akan wajibnya membaca Al-Fatihah ini adalah kalimat “Laa shalata” sebagai peniadaan (nafyu).
Asal dari peniadaan adalah peniadaan wujud (nafyun lil wujud), apabila tidak mungkin dengan makna ini,maka nafyu tersebut dibawa kepada peniadaan keabsahan (nafyun lilshihhah). Dan apabila tetap tidak mungkin dengan makna kedua ini, maka dibawa maknanya kepada peniadaan kesempurnaan (nafyun lilkamal).Inilah urutan dari an-nafyu.
Contoh :

-Laa kholiqo illallah (tidak ada pencipta selain Allah ), maka peniadaan disini peniadaan wujud.

-Laa sholata bighoiri wudhu’ (tidak ada sholat dengan tanpa wudhu), maka peniadaan disini peniadaan keabsahan (sah).Karena bisa saja sholat dilakukan tanpa wudhu sebelumnya.

-Laa sholata bihadhroti tho’amin (tidak ada sholat dengan hadirnya makanan),maka peniadaan disini adalah peniadaan kesempurnaan.Karena sholat tetap sah walaupun dihadapannya tersedia makanan.
Setelah memahami perbedaan diatas, bagaimana penilaian kita dengan hadist Nabi “Laa sholata liman lam yaqro’ bifatihatil kitab”?
Jawab : Mungkinkah orang shalat tanpa membaca Al-Fatihah? Mungkin saja!.Oleh karenanya penafian disini bukanlah penafian wujud. Maka penafian disini bisa dipastikan penafian urutan kedua, yakni penafian keabsahan (sah). Maka kita katakan bahwa tidak sah shalat tanpa membaca Al-fatihah.
Kaidah mengatakan :

الأصل في النصوص العامة أن تبقى على عمومها ، فلا تخصَّصُ إلا بدليل شرعيٍّ ، إما نصٌّ ، أو إجماعٌ ، أو قياس صحيح
Asal dalam nash yang umum adalah tetap pada keumumannya, tidaklah dikhususkan kecuali dengan dalil syar’iy baik itu nash atau ijma’ atau qiyas yang shahih.
3. dari ‘Ubadah bin Ash Shamit, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam shalat shubuh bersama kami, bacaan terasa berat oleh beliau, seusai shalat beliau menghadapkan wajah ke arah kami lalu bersabda:
إِنِّي لَأَرَاكُمْ تَقْرَءُونَ خَلْفَ إِمَامِكُمْ إِذَا جَهَرَ
“Setahuku, kalian membaca dibelakang imam kalian saat (imam) membaca keras (jahr)?”
Mereka menjawab;
“Ya, demi Allah wahai Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam! Kami melakukannya”
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
فَلَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا
“Jangan lakukan (–yakni membaca surat–); kecuali ummul qur`an (–al fatihah–) karena tidak sah shalat bagi orang yang tidak membacanya.”
(Hasan, HR. Ahmad, Tirmidziy, ad-Daaruquthniy; dihasankan oleh al-Imam ad-Daaruquthniy, Ibn Hajar dan Syaikh Ahmad Syaakir)
Dalam riwayat an Nasaa-iy dan ad-Daaruquthniy:
dari Nafi’ bin Mahmud bin Ar Rabi’ah’ Al Anshariy, ia berkata;
‘Ubadah bin Shamit terlambat dari shalat shubuh, maka Abu Nu’aim seorang Mu’adzin mengumandangkan adzan untuk shalat, lalu Abu Nu’aim mengimami shalat orang banyak, tidak lama kemudian Ubadah datang bersamaku hingga kami mengambil shaf di belakang Abu Nu’aim, sedangkan Abu Nu’aim mengeraskan bacaannya, sementara ‘Ubadah membaca Al Fatihah.
Ketika shalat selesai, aku bertanya kepada Ubadah;
“Aku mendengar kamu membaca Al Fatihah ketika Abu Nu’aim mengeraskan bacaannya.”
Dia menjawab;
“Ya, kami juga pernah melakukan ketika shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sebagian shalat yang bacaannya di keraskan.”
Katanya melanjutkan;
“Hingga bacaannya bercampur, selepas shalat, beliau menghadap kami sambil bersabda:
“Apakah kalian juga ikut membaca ketika aku mengeraskan bacaanku?”
Sebagian kami menjawab;
“Kami melakukan hal itu.”
Beliau bersabda:
فَلَا وَأَنَا أَقُولُ مَا لِي يُنَازِعُنِي الْقُرْآنُ
Oleh karenanya aku berkata (dalam hati), kenapa ada yang membaca bersamaku dan mendahuluiku dalam membaca Al Qur’an?!
فَلَا تَقْرَءُوا بِشَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ إِذَا جَهَرْتُ إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ
Janganlah kalian membaca sesuatu pun ketika aku mengeraskan bacaan, kecuali bacaan Al Fatihah.”
Dan dari [Makhul] dari ['Ubadah] seperti haditsnya Ar Rabi’ah’ bin Sulaiman, mereka berkata;
“Mak-hul biasa membaca Al Fatihah dengan suara lirih pada waktu shalat Maghrib, Isya’ dan Shubuh, di setiap raka’atnya.”
Kata Mak-hul;
“Bacalah Al Fatihah dengan suara lirih (pelan) ketika imam mengeraskan bacaannya ketika berhenti dari membaca Al Fatihah, apabila imam tidak berhenti (diam), maka bacalah sebelum imam membaca atau membaca bersamanya atau setelah imam membacanya, yang penting, janganlah kamu meninggalkannya (tidak membaca Al Fatihah).”
(HR. an Nasaa-iy; diriwayatkan juga oleh al-Imam ad-Daruquthniy dan beliau berkata: رواته ثقات “para perawi dalam hadits ini seluruhny TSIQAH”)
3. Abu Hurairah berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثَلَاثًا غَيْرُ تَمَامٍ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur’an di dalamnya, maka shalatnya masih mempunyai hutang, tidak sempurna” Tiga kali.
Ditanyakan kepada Abu Hurairah,
“(Bagamaina kalau) kami berada di belakang imam?”
Maka dia menjawab,
اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ
“Bacalah Ummul Qur’an dalam dirimu…”
[---
Berkata Syaikh al-Albaniy mengomentari perkataan ini:
Dan kalimat : “Bacalah dalam dirimu”, tidak bisa kita artikan membaca sebagaimana lazimnya (hanya dalam hati saja); (akan tetapi) yaitu MEMBACA dengan memperdengarkan untuk dirinya, dengan mengeluarkan huruf-huruf dari makhraj-makhraj (tempat-tempaty) huruf.
(lihat sifat shalat nabi)
---]
karena aku mendengar Rasulullah bersabda,
يَقُولُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah berfirman, ‘Aku membagi shalat antara Aku dengan hambaKu, dan hambaku mendapatkan sesuatu yang dia minta.
فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ
Apabila seorang hamba berkata,
{ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }
‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.’
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي
Maka Allah berkata, ‘HambaKu memujiKu.’
وَإِذَا قَالَ { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }
Apabila hamba tersebut mengucapkan, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang)
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي
Allah berkata, ‘HambaKu memujiKu.’
وَإِذَا قَالَ { مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ }
Apabila hamba tersebut mengucapkan, مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (‘Pemilik hari kiamat.)
قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي
Allah berkata, ‘HambaKu memujiku.’
وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي
Selanjutnya Dia berkata, ‘HambaKu menyerahkan urusannya kepadaKu.’
فَإِذَا قَالَ { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }
Apabila hamba tersebut mengucapkan, إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين (Hanya kepadaMulah aku menyembah dan hanya kepadaMulah aku memohon pertolongan)
قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ
Allah berkata, ‘Ini adalah antara Aku dengan hambaKu. Dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta’.
{ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ }
Apabila hamba tersebut mengucapkan, اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat.)
قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah berkata, ‘Ini untuk hambaKu, dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta’.”
(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Bayhaqiy dll.)
Al-Imam ibnul-’Utsaimin berkata (secara makna):
“Nash-nash yang menyebutkan tentang kewajiban membaca al-fatihah, –baik dalam keadaan jahr maupun sirr– adalah SHAHIIH dan SHÅRIIH”
BAHKAN al-Imam al-Albaniy yang menguatkan pendapat diam ketika imam membaca dengan keras berkata setelah mengomentari hadits-hadits diatas:
“Pendapat yang kuat, bahwa (–hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa–) BOLEH membaca Al-Fatihah (–dalam shalat jahriyyah–), (namun) bukan wajib.”
(Lihat shifat shalat nabi beliau)
Namun yang benar, yang sesuai hadits-hadits yang SHAHIIH dan SHARIIH diatas bahwa membaca al-fatihah adalah WAJIB, dan merupakan SYARAT SAH shalat.
Wallåhu Ta'ala A'lam