DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Rabu, 24 November 2010

DAYYUS (AYAH atau BAPAK TIDAK PERNAH CEMBURU)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


Ada tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat oleh Allah (dengan pandangan kasih sayang) pada hari kiamat nanti, yaitu: orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan ad-dayyuts…” (HR. An-Nasa-i, no. 2562, Ahmad, 2/134 dan lain-lain. Dishahihkan oleh Adz-Dzahabi dalam Kitabul Kaba-ir, hal. 55 dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahihah, no. 284. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/498 mengenai makna hadits ini)
ad-dayyuts adalah seorang suami atau bapak yang membiarkan terjadinya perbuatan buruk dalam keluarganya (Lihat Fathul Baari, 10/406. Makna ini disebutkan dalam riwayat lain dari hadits di atas dalam Musnad Imam Ahmad, 2/69. Akan tetapi sanadnya lemah karena adanya seorang perawi yang majhul/tidak dikenal. Lihat Silsilatul Ahaaditsish Shahihah, 2/284).

Ancaman keras dalam hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar yang sangat dimurkai oleh Allah Ta’ala, karena termasuk ciri-ciri dosa besar adalah jika perbuatan tersebut diancam akan mendapatkan balasan di akhirat nanti, baik berupa siksaan, kemurkaan Allah ataupun ancaman keras lainnya. (Lihat Kitabul Kaba-ir, hal. 4)

Oleh karena itulah, Imam Adz-Dzahabi mencantumkan perbuatan ini dalam kitab beliau “Al-Kaba-ir”
(hal. 55), dan beliau berkata setelah membawakan hadits di atas: “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) bahwa tiga perbuatan tersebut termasuk dosa-dosa besar.” (Dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadiir, 3/327


Adapun keburukan terhadap agama istri dan anak-anaknya, dengan membiarkan atau menuruti keinginan mereka dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat, ini berarti menjerumuskan mereka ke dalam jurang kehancuran.

Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan dampak buruk perbuatan maksiat, di antaranya perbuatan ad-diyatsah/ad-dayytus (membiarkan perbuatan buruk dalam keluarga) yang timbul karena lemah atau hilangnya sifat CEMBURU dalam hati pelakunya, beliau berkata, “…Oleh karena itulah, ad-dayyuts adalah makhluk Allah yang paling buruk dan diHARAMKAN baginya masuk surga, demikian juga orang yang MENDIAMKAN, MEMBIARKAN dan menganggap baik perbuatan zhalim dan melampaui batas thdp orang lain. Barangsiapa yang tidak memiliki sifat cemburu, maka berarti dia tidak memiliki agama (iman).Karena sifat inilah yang akan menghidupkan hati (manusia) yang kemudian menghidupkan (kebaikan pada) anggota badannya, sehingga anggota badannya akan menolak (semua) perbuatan buruk dan keji (dari diri orang tersebut). Sebaliknya, hilangnya sifat cemburu akan mematikan hati (manusia) yang kemudian akan mematikan (kebaikan pada) anggota badannya, sehingga sama sekali tidak sanggup menolak keburukan pada dirinya…” (Kitab Ad-Da-u wad Dawaa’, hal. 84)


NASEHAT UNTUK AYAH / SUAMI:

Seorang suami dan ayah yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya, hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak hanya diwujudkan dengan mencukupi keperluan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi, yang lebih penting dari semua itu adalah pemenuhan keperluan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.

Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At Tahriim: 6)
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/535. Dishahihkan oleh Al Hakim sendiri dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar ) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan tanggung jawabnya.” (Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 640)


Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya atau pun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia[?] Allah Ta’ala berfirman :
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebahagian besar (dari kesalahan-kesal a hanmu)” (QS Asy Syuura: 30)

Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Da-u wad Dawaa’, hal. 68)
Barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata, serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala

Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS Az-Zukhruf: 67)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di ak h irat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/170)
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebahagian besar (dari kesalahan-kesal a hanmu)” (QS Asy Syuura: 30)

Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba -dengan izin Allah Ta’ala- akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,

Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi ora n g-orang yang bertakwa.” (QS Al Furqan: 74)


Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata: “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah, tidak ada sesuatu pun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim daripada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala.” (Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/439)

Akhirnya, tulisan ini ditutup dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa

KAFIRNYA DUKUN DAN TUKANG SIHIR

Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Yahya

الحَمْدُ للهِ بَارِئِ الأَنَامِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِهِ أَفْضَلَ صَلاَةٍ وَأَفْضَلَ سَلاَمٍ وَبَعْدُ :

Sesungguhnya tidak ada kesamaran bagi kita bahwa syirik adalah dosa yang terbesar secara mutlak. Allah Ta’ala berfirman :
]إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا[

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. An-Nisa’ : 48.

Oleh sebab itu ibadah kepada Allah yang terbesar adalah menyebarkan perkataan para Ulama’ yang membantah dan meruntuhkan berbagai syubhat dan tipu daya para penganut dan penyebar kesyirikan.

Diantara yang harus diwaspadai adalah serangan dan tipu daya para dukun, tukang sulap, ahli nujum, paranormal, illusionis dan sebagainya terhadap aqidah Islam.

Perhatikan petikan berita berikut :



Ki Gendeng Ikuti Pertemuan Dukun Voodoo Sedunia di Maladewa
Arfi Bambani Amri – detikcom

22/10/2007 15:33 WIB



Jakarta - ….Ki Gendeng menghadiri pertemuan dukun voodoo sedunia di Maladewa.
"Saya lagi di Maladewa nih. Ada pertemuan paranormal voodoo sedunia di sini," ungkap Ki Gendeng saat dihubungi detikcom, Senin (22/10/2007).
Ki Gendeng mengaku merupakan satu-satunya paranormal dari Indonesia yang diundang. "Karena saya satu-satunya paranormal voodoo di Indonesia," kata Ki Gendeng.
Pertemuan paranormal voodoo atau paranormal yang memakai perantaraan benda fetish ini diikuti juga oleh paranormal voodoo dari Afrika. "Meraka hitam-hitam. Juga ada dari Arab, Melayu dan segala macam. Menariknya, 100 persen orang Maladewa itu Islam lho," kata Ki Gendeng.
….(aba/nrl)



David Copperfield Dibujuk Tetap Sihir Jakarta
Nurvita Indarini - detikcom

22/10/2007 16:40 WIB



Jakarta - Ilusionis asal AS David Copperfield membatalkan tampil di Jakarta dan beberapa kota di Asia . Pihak promotor pun mengirim surat berisi bujukan.
"Promotor dari Singapura, Kuala Lumpur , Bangkok , dan Jakarta mengirim surat kepada kuasa hukum Copperfield. Isinya, sudah banyak orang yang menunggu penampilannya, jadi kami minta dia tidak batal tampil," ujar Presdir Buena Productions Peter Basuki dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (22/10/2007).
Intinya, lanjut dia, 4 promotor itu masih mencari solusi agar semua pihak sama-sama diuntungkan. "Dalam surat juga disampaikan penjualan tiketnya, berapa yang sudah dijual," imbuh Peter.
Surat tersebut dikirimkan pada Senin 22 Oktober ini. Para promotor itu berharap akan mendapatkan responsnya segera.
Menurutnya, tiket pertunjukan Copperfield di Bangkok saja sudah terjual 70 ribu lembar. Sedangkan di Indonesia, tiket yang dijual dengan harga mulai Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta itu sudah terjual 29 ribu lembar…..
(nvt/sss)



Maka saya berkata dengan mengharap taufiq dari Allah :



حَدَّثَنَا شَيْخُنَا أَحْمَدُ النَّجْمِيُّ مُتَّصِلاً بِشَيْخِ الإِسْلاَمِ الإِمَامِ المُجَدِّدِ مُحَمَّدِ بنِ عَبْدِ الوَهَّابِ بنِ سُلَيْمَانَ التَّمِيْمِيِّ النَّجْدِيِّ مِنْ طَرِيْقِ عَلاَّمَةِ عَسَّالِ الوَرْدِ -عَلَى حُدُوْدِ لُبْنَان- أَبِي الظَّاهِرِ العَسَّالِيِّ عَنْ عَبْدِ القَادِرِ القَصَّابِ عَنْ بَكْرِي بنِ حَامِدِ العَطَّارِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الكَزْبُرِيِّ عَنْ مُحَمَّد عَابِد السِّنْدِيِّ عَنِ الإِمَامِ عَبْدِ اللهِ بنِ مُحَمَّدِ بنِ عَبْدِ الوَهَّابِ عَنْ أَبِيْهِ شَيْخِ الإِسْلاَمِ أَنَّهُ قَالَ فِي رِسَالَتِهِ نَوَاقِضِ الإِسْلاَمِ :

السَّابِعُ : السِّحْرُ, وَمِنْهُ الصَّرْفُ وَالعَطْفُ, فَمَنْ فَعَلَهُ أَوْ رَضِيَ بِهِ كَفَرَ, وَالدَّلِيْلُ قَوْلُهُ تَعَالَى : ]وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ[



Telah menyampaikan kepada kami Syaikhuna Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan, Ahmad bin Yahya An-Najmi -Hafizhahullah- dengan sanad yang bersambung sampai kepada Syaikhul Islam Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman At-Tamimi An-Najdi –Rahimahullah-, beliau berkata dalam risalahnya Nawaqidhul Islam (pembatal-pembatal keislaman) :

Ketujuh : Sihir. Diantaranya adalah sharf (yaitu sihir yang dapat menjauhkan antara suami dengan istri) dan ‘athf (yaitu ilmu pengasih atau pelet). Barangsiapa melakukannya atau meridhainya, maka dia kafir. Dan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :



]وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ [

Artinya : Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang-pun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Al Baqarah : 102.



Syaikhuna Ahmad bin Yahya An-Najmi -Hafizhahullah- berkata :

Sesungguhnya Allah telah mengabarkan kepada kita bahwa belajar ilmu sihir adalah kekafiran dan konsekuensinya bahwa praktek sihir adalah kekafiran.

Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :



]وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ[

Artinya : Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh para setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya para setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberikan mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak bermanfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Al Baqarah : 102.

Ayat ini menegaskan bahwa belajar ilmu sihir adalah kekafiran dan praktek ilmu sihir adalah kekafiran, berdasarkan firman-Nya :



]وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ[

Artinya : Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya para setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia. Al Baqarah : 102.

Dan Allah berfirman :



]وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ[

Artinya : Dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Al Baqarah : 102.

Maka ini menunjukkan bahwa belajar ilmu sihir adalah kekafiran.

Dan diakhir ayat Allah Jalla Min Qail berfirman :



]وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ[

Artinya : Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. Al Baqarah : 102.

Yaitu, mereka tidak mendapatkan bagian apa-pun di akhirat, bahkan dia termasuk penduduk neraka dan termasuk yang berhak mendapatkan siksa. Ayat ini menegaskan kafirnya orang yang belajar ilmu sihir atau yang mempraktekkannya, sama saja apakah sihir sharf atau ‘athf atau selainnya.

Mayoritas Ulama’ berpendapat bahwa sihir adalah kekafiran, tetapi diriwayatkan dari Asy-Syafi’I yang berpendapat harus dirinci. Dia berkata :

“Kita tanya tukang sihir tersebut : Sifatkan bentuk sihirmu”. Al Umm : 1/256.

Saya berkata : Sesungguhnya pendapat yang mengkafirkan tukang sihir tanpa dirinci adalah pendapat yang benar, berdasarkan keterangan yang tersebut didalam ayat dan berdasarkan riwayat dari Hafshah Radhiyallahu ‘anha bahwa dahulu dia memiliki budak wanita, kemudian budak tersebut menyihirnya, maka dia memerintahkan untuk membunuh budak tersebut.

Dan di dalam hadits Bajalah, dia berkata : “Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menulis surat (yang berisi perintah) untuk membunuh setiap tukang sihir pria dan wanita”.

Bajalah berkata : “Kami telah membunuh tiga orang tukang sihir”.

Dan dari keterangan atsar-atsar juga menunjukkan –disandarkan kepada ayat yang telah lalu- bahwa sihir tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh orang yang telah kafir.

Diantaranya adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata :

“Seorang wanita dari penduduk Daumatul Jandal datang kepada saya. Dia bermaksud menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam setelah beliau wafat. Awalnya dia hendak bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan sihir yang belum dia lakukan”.

Aisyah Radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Urwah :

“Wahai anak saudariku, engkau melihat dia menangis ketika dia tidak berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang dapat menyelesaikan (masalahnya). Dia menangis sampai saya terharu kepadanya”.

Dia berkata : “Sesungguhnya saya takut menjadi orang yang binasa. Dahulu saya memiliki suami, kemudian dia pergi. Datang seorang wanita tua kepada saya, kemudian saya mengadukan hal tersebut kepadanya”

Maka dia menyarankan : “Jika kamu mau melakukan apa yang aku perintahkan, niscaya aku bisa membuatnya datang kembali kepadamu”.

Pada suatu malam, dia mendatangi saya dengan membawa dua anjing hitam. Maka dia menunggangi salah satunya dan saya mengunggangi yang lainnya. (Dalam perjalanan) tidak terjadi apa-apa sampai kami berhenti di Babil. Ternyata (saya mendapati) dua orang yang tergantung kaki-kakinya. Kemudian keduanya bertanya : “Apa yang mendorongmu datang kemari ?”

Saya menjawab : “Saya akan belajar ilmu sihir”.

Keduanya berkata : “Sesungguhnya kami adalah cobaan (bagimu), maka janganlah engkau menjadi kafir ! Kembalilah !”

Maka saya menolak seraya berkata : “Tidak !”

Keduanya berkata : “Kalau begitu pergilah ke tungku itu, kemudian kencinglah di dalamnya”.

Maka saya pergi tetapi saya takut dan urung saya lakukan, kemudian saya kembali kepada keduanya.

Keduanya bertanya : “Sudah kau lakukan ?”

Saya menjawab : “Ya !”

Keduanya bertanya : “Apakau engkau melihat sesuatu ?”

Saya menjawab : “Saya tidak melihat apa-apa !”

Keduanya bertanya : “Berarti engkau belum melakukannya ! Kembalilah ke negerimu dan janganlah engkau menjadi kafir !”

Maka saya bimbang dan (akhirnya) saya menolak (untuk kembali).

Keduanya berkata : “Kalau begitu pergilah ke tungku itu, kemudian kencinglah di dalamnya”.

Kemudian saya pergi, saya menggigil dan takut, lalu saya kembali kepada keduanya seraya berkata : “Sudah saya lakukan !”

Keduanya bertanya : “Apa yang kau lihat ?”

Saya menjawab : “Saya tidak melihat apa-apa !”

Keduanya berkata : “Engkau dusta, engkau belum melakukannya ! Kembalilah ke negerimu dan janganlah engkau menjadi kafir, maka engkau tetap dalam keadaanmu semula !”

Maka saya bimbang dan (akhirnya) saya menolak.

Keduanya berkata : “Kalau begitu pergilah ke tungku itu, kemudian kencinglah di dalamnya !”.

Maka saya pergi kepadanya dan kencing di dalamnya. Maka saya melihat seorang penunggang kuda bertopi baja keluar dari diri saya. Kemudian pergi ke langit dan menjauh sampai saya tidak melihatnya. Kemudian saya datang kepada keduanya.

Lalu saya berkata : “Sudah saya lakukan !”

Keduanya bertanya : “Apa yang kau lihat ?”

Saya menjawab : “Saya melihat seorang penunggang kuda bertopi baja keluar dari diri saya. Kemudian pergi ke langit dan menjauh sampai saya tidak melihatnya”.

Keduanya berkata : “Engkau benar. Itulah Imanmu, telah keluar darimu ! Pergilah !”

Maka saya berkata kepada wanita tua : “Demi Allah, saya tidak mendapat pengetahuan apa-apa, keduanya tidak berkata apa-pun kepada saya !”

Wanita tua itu berkata : “Tentu ! (Karena) kamu tidak ingin apa-apa, tetapi ambillah gandum ini, kemudian taburkan !”

Maka saya taburkan seraya berkata : “Tumbuhlah !” Maka tumbuhlah.

Dan saya berkata : “Bersemilah !”. Maka ia bersemi.

Kemudian saya berkata : “Rontokkanlah !” Maka ia merontokkannya.

Kemudian saya berkata : “Mengeringlah !” Maka ia mengering.

Kemudian saya berkata : “Tumbuklah !” Maka ia menumbuk.

Kemudian saya berkata : “Jadilah roti !” Maka ia menjadi roti.

Ketika saya melihat diri saya, bahwa tidaklah saya menginginkan sesuatu kecuali terjadi, saya bingung dan menyesal –demi Allah wahai Ummul mukminin !- Saya belum melakukan apa-apa dan tidak akan melakukannya selamanya.

Dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkannya dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman secara panjang lebar sebagaimana yang telah lalu. Dan dia menambahkan setelah ucapannya : “Dan saya tidak akan melakukannya selamanya”.

Maka wanita tersebut bertanya kepada para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang baru saja beliau wafat –jumlah mereka masih banyak saat itu-. Mereka tidak mengetahui apa yang harus diucapkan kepadanya. Semuanya enggan dan khawatir untuk berfatwa terhadap perkara yang belum mereka ketahui, tetapi Ibnu Abbas atau sebagian Shahabat yang ada disisinya berkata kepada wanita tersebut : “Andaikan kedua orang tua anda atau salah satunya masih hidup”.

Dan diantara hal yang menunjukkan bahwa tidak akan mampu menyihir kecuali dia telah kafir : Para setan yang dikirim melalui sihir pada orang yang disihir berkata : “Sesungguhnya si Fulan yang telah memerintahkan kami. Kami tidak bisa keluar darinya”.

Mereka menyebutkan bahwa ketika para setan itu mengajarkan sihir kepadanya, mereka mensyaratkan kepadanya untuk masuk toilet dengan membawa Al Qur’an, dia kencing diatasnya dan bersandal dengan Al Qur’an terrsebut selama 40 hari.

Maka ini semua menunjukkan bahwa tukang sihir tidak mampu menyihir kecuali setelah menjadi kafir.

Dari sini kami katakan bahwa sihir seluruhnya adalah kekafiran. Dan tukang sihir wajib dibunuh sebagai hukum had. Dan inilah yang tampak (dari keterangan yang ada) walaupun dia menampakkan taubatnya.

Ketahuilah bahwa sihir terbagi menjadi dua macam.

Pertama : Sihir ta’tsir.

Kedua : Sihir takhyil.

Sihir ta’tsir adalah sihir yang mengakibatkan khayalan-khayalan dan lain sebagainya pada orang yang disihir. Dan mempengaruhinya sampai hampir tidak mampu untuk mengendalikan diri. Terkadang bisa berlangsung tahunan, sementara dia tidak mampu merasakan ni’matnya ketentraman dan ni’matnya berakal. Dan jikalau dia dibawa ke rumah sakit dan para dokter memeriksanya secara medis, niscaya mereka akan menyatakan tidak ada penyakit apa-apa.

Dan dari jenis sihir ini terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah disihir. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata :

“Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam pernah disihir sampai berkhayal telah melakukan sesuatu, padahal tidak melakukan apa-apa. Sampai pada suatu hari –dan beliau berada pada giliran saya-, beliau berdoa kepada Allah dengan suatu doa, kemudian berkata :

“Apakan engkau mengetahui wahai Aisyah, bahwa Allah telah menjawab apa yang saya minta kepada-Nya tentangnya ?”

Saya bertanya : “Apa itu wahai Rasulullah ?”

Beliau bersabda : “Telah datang kepadaku dua orang, salah satunya duduk di bagian kepalaku dan yang lain duduk di bagian kedua kakiku. Kemudian salah satunya bertanya kepada temannya : “Apakah sakit orang ini ?”

Dia menjawab : “Disihir”.

Temannya bertanya : “Siapa yang telah menyihirnya ?”.

Dia menjawab : “Labid bin Al A’sham Yahudi dari Bani Zuraiq”.

Temannya bertanya : “Disihir dengan apa ?”

Dia menjawab : “Dengan sisir, rambut dan mayang kurma jantan yang sudah kering”.

Temannya bertanya : “Dimana barang-barang tersebut ?”

Dia menjawab : “ Ada di sumur Dzu Arwan”.

Periwayat berkata : Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersama rombongan para Shahabat pergi ke sumur tersebut. Kemudian beliau memandang kepadanya dan diatasnya terdapat sebuah pohon korma, kemudian beliau kembali kepada Aisyah, lalu berkata : “Demi Allah, sungguh airnya seperti genangan hinna’ dan pohon kormanya seperti kepala-kepala setan”

Saya (Aisyah) bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah anda telah mengeluarkannya ?”

Beliau bersabda : “Tidak ! Adapun diriku telah dipulihkan dan disehatkan oleh Allah dan aku khawatir (ia) berpengaruh jelek kepada muslimin”. HR Al Bukhari (5766) dan Muslim (2189).

Sedangkan sihir takhyil adalah apa yang telah Allah sebutkan tentang (kisah) para tukang sihir yang bersama Fir’aun. Allah Azza min Qail berfirman :

]قَالَ أَلْقُوا فَلَمَّا أَلْقَوْا سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ[

Artinya : Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar. Al A’raf : 116.

Dan Allah berfirman :

]قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى[

Artinya : Berkata Musa: "Silakan kalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Thaha : 66. Selesai.

Hukum mendatangi para dukun, tukang sulap, ahli nujum, paranormal, illusionis dan sebagainya.
Saikhuna Ahmad bin Yahya An-Najmi -Hafizhahullah- berkata :

Telah mutawatir hadits-hadits yang shahih yang menunjukkan bahwa barangsiapa datang kepada tukang ramal atau dukun atau ahli nujum, dia bertanya kepada mereka tentang sesuatu dari ilmu ghaib, kemudian dia membenarkan ucapan mereka, maka dia termasuk telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad e. Sebab Al Qur’an telah menunjukkan bahwa hanya Allah yang mengetahui ilmu ghaib. Allah Azza Wa Jalla berfirman :
]إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [

Artinya : Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Luqman : 34.

Kemudian Syaikhuna Ahmad An-Najmi berkata :

Maka barangsiapa datang kepada tukang ramal atau dukun atau ahli nujum, dia bertanya kepada mereka tentang sesuatu dari ilmu ghaib, kemudian dia membenarkan ucapan mereka, maka dia termasuk telah kafir dengan ayat ini dan tidak beriman dengannya. Sebab konsekuensi beriman dengannya adalah dengan tidak mendatangi para dukun, bertanya kepada mereka, terlebih lagi membenarkan mereka.

Sejumlah ahlul ilmi telah menyebutkan kompromi diantara hadits-hadits ini bahwa barangsiapa mendatangi para dukun, kemudian tidak membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari. Sebab ini adalah sanksi baginya karena mendatangi para dukun.

Adapun barangsiapa mendatanginya, kemudian membenarkannya, maka dia termasuk telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad e.

Padanya terdapat peringatan keras dari mendatangi para dukun, mendengar ucapan mereka dan membenarkan kedustaan-kedustaan mereka. Dan untuk diketahui, bahwa yang demikian tidaklah terjadi melainkan pada diri orang yang lemah iman dan keyakinannya. Selesai dari yang saya ingin nukilkan.

Saudara-saudaraku, marilah kita semakin bersemangat, berjibaku, dan bahu membahu dalam berjihad untuk memberikan pencerahan tentang pentingnya tauhid dan bahayanya syirik. Dan berupaya menyampaikannya seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat muslimin, baik di perkotaan, pedesaan maupun pelosok dengan cara yang termudah. Agar aqidah kaum muslimin terbentengi dengan kuat dari berbagai serangan iblis la’natullah ‘alaih dan bala tentaranya.

Al Faqir ila ‘afwi Rabbihi
Abu Abdillah Muhammad Yahya
11 Syawal 1428 H/22 Oktober 2007 M
Desa Nijamiyah-Kab. Shamithah-Prop. Jazan
Kerajaan Saudi Arabia

Ngalap Berkah Kyai, Bolehkah?

Orang alim memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan Allah. Juga tinggi kedudukannya di hadapan makhluk-Nya. Semua ini merupakan pemberian dan karunia-Nya. Allah mengatakan di dalam Al-Qur’an:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ
Katakanlah: ‘Hai Tuhan yang memiliki kerajaan, engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari siapa yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan.’” (Ali ‘Imran: 26)
Kedua ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa yang mengangkat dan menjatuhkan seseorang adalah Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, usaha untuk mengangkat diri atau mengangkat siapa saja di hadapan orang lain, semuanya dengan kehendak Allah. Tanpa berharap pun, jika di sisi Allah subhanahu wata’ala seseorang memang pantas diangkat kedudukannya, niscaya ia akan diangkat.
As-Sa’di di dalam tafsirnya mengatakan: “Perkaranya bukan hanya keinginan-keinginan ahli kitab (seseorang diangkat atau tidak) dan tidak pula selain mereka. Akan tetapi perkaranya adalah milik Allah subhanahu wata’ala. Semua Dia yang mengatur, tidak ada seorangpun yang sanggup menentang atau membantu-Nya dalam pengaturan ini.
Seandainya semua makhluk dari kalangan jin dan manusia dulu maupun sekarang, bahu-membahu dan memuji untuk mengangkatmu, maka mereka tidak akan sanggup kecuali memang yang telah dikehendaki Allah. Dan kehendak Allah subhanahu wata’ala, tidak sama dengan kehendak makhluk-Nya. Demikian juga jika seluruh makhluk bersatu-padu ingin menjatuhkan atau menghinakan seseorang, maka mereka tidak akan sanggup melainkan dengan kehendak-Nya.
Dan sebaliknya. Dalam pandangan makhluk bisa jadi seseorang pantas untuk diangkat kedudukannya. Akan tetapi karena dalam pandangan Allah tidak demikian, maka kita tidak bisa memaksakan keinginan kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Dialah Dzat tunggal yang berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.”
لاَ يُسْئَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْئَلُوْنَ
Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya dan merekalah yang ditanya (apa yang mereka perbuat).” (Al-Anbiya: 23)
فَعَّالٌ لِمَا يُرِيْدُ “(Allah) Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruj: 16)
Barakah Datang dari Allah
Barakah secara bahasa artinya “kebaikan yang banyak dan tetap.” Diambil dari kata “birkah” yang artinya kumpulan air. Sedangkan menurut syariat yaitu kebaikan yang banyak diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada siapa yang dikehendaki. Dari definisi keduanya, bisa ditarik kesimpulan bahwa barakah itu datang dari Allah subhanahu wata’ala sebagai satu bentuk karunia yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah mengatakan dalam Al-Qur’an:
بِيَدِكَ الْخَيْرُ Di tangan Engkaulah segala kebaikan.” (Ali ‘Imran: 26)
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْراً كَثِيْراً
Allah menganugerahkan kefahaman (Al-Hikmah) kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi Al-Hikmah itu, maka dia benar-benar telah dianugerahi kebaikan yang banyak.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِيْ يَدَيْكَ
Dan kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu.” (Shahih, HR. Muslim no. 771 dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Tabarruk dalam Agama
Bertabarruk, istilah yang sangat kita kenal ini, maknanya adalah mencari barakah (berkah). Mencari barakah tidak terlepas dari dua keadaan:
Pertama, mencari barakah dengan perkara yang telah disyariatkan seperti (dengan) Al-Qur’an. Allah berfirman tentang hal ini:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
“Al-Qur’an yang Kami telah turunkan kepadamu akan dapat memberikan barakah.”
Bentuk barakah Al-Qur’an di antaranya, barang siapa mengambil apa yang ada di dalamnya baik berupa perintah maupun larangan, niscaya akan terwujud kemenangan, dan Allah telah menyelamatkan umat-umat dengan Al-Qur’an ini. Termasuk juga dari barakah Al-Qur’an, bahwa satu huruf memiliki sepuluh kali lipat kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan tentang hal ini:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
”Sesungguhnya Allah mengangkat suatu kaum dengan Al-Qur’an ini dan menghinakan kaum yang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 817 dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu).
Kedua, bertabarruk dengan perkara yang umum dan dapat dirasakan seperti bertabarruk (mencari kebaikan yang banyak) dengan cara mengajar, berdoa dan sebagainya (misalnya: bertabarruk dengan ilmu dan dakwah menuju kebaikan). Tentunya ini merupakan wujud barakah yang karenanya kita mendapatkan kebaikan yang banyak. (Al-Qaulul Mufid, 1/240)
Islam sendiri telah menetapkan adanya barakah pada hal-hal yang telah ditentukan oleh syariat di mana setiap orang berhak untuk mendapatkannya. Barakah tidak hanya didapati oleh murid guru tertentu, kelompok ataupun pengikut tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang Al-Qur’an:
اقْرَؤُا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفَيْعاً لأَصْحَابِهِ
Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an itu akan menjadi pemberi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dan shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu)
اجْتَمِعُوْا عَلىَ طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيِهِ يُبَارِكَ لَكُمْ فِيْهِ
Makanlah kalian dengan berjamaah dan sebutlah Allah, niscaya Allah akan memberkahi kalian padanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3199, Shahih Sunan Ibni Majah no. 3286, dan di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 664 dari shahabat Wahsyi radhiallahu ‘anhu).
مَنْ تَطَهَّرَ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ وَصَلىَّ فِيْهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian dia mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ganjarannya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan Ibnu Majah, dan telah dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitabnya Shahih Sunan Ibni Majah, 1/238 no. 1160, dan Ta’liqul Ar-Raghib, 2/138)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang itsmid (celak mata):
عَلَيْكُمْ بِاْلإِثْمِدِ فَإِنَّهُ مَنْبَتَةٌ لِلشَّعْرِ مُذْهِبَةٌ لِلْقَذَرِ مُصْفَاةٌ لِلْبَصَرِ
Hendaklah kalian memakai itsmid karena sesungguhnya itsmid itu dapat menumbuhkan bulu mata, menghilangkan kotorannya, dan membersihkan penglihatan.” (HR. Al-Bukhari di dalam At-Tarikh, 4/2/412, dan Ath-Thabrani, 1/12/1, dan Abu Nua’im di dalam Al-Hilyah, 3/178, dan dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2/270 no. 665, dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Masih banyak lagi nash-nash yang menjelaskan adanya kebaikan (berkah) yang banyak pada makhluk-makhluk Allah yang lain. Dan itu menjadi sandaran bagi kita bahwa syariat menjelaskan adanya barakah yang dikandungnya.
Macam-Macam Tabarruk
Tabarruk terkadang dijadikan sebagai pembenaran atas amalan tertentu yang sebenarnya terlarang menurut syariat, bahkan termasuk dari perbuatan syirik besar. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui macam-macam tabarruk, mana yang diperbolehkan dan yang dilarang:
Pertama, tabarruk yang disyariatkan, sebagai berikut:
a. Tabarruk dengan ucapan, amalan, dan keadaan-keadaan (perilaku).
Di dalam Islam, ada beberapa perkataan, amalan, dan perilaku yang apabila dipraktekkan akan terwujud kebaikan dan barakah yang banyak. Tentu selama hal tersebut mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah dzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an. Di antara barakah dzikir kepada Allah adalah mendapatkan doa dari malaikat, sanjungan di hadapan makhluk-Nya dan ampunan dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Di antara barakah Al-Qur’an adalah sebagai obat, petunjuk, dan rahmat bagi seluruh manusia. Serta sebagai pemberi syafaat kelak di hadapan Allah sebagaimana dalam hadits Abu Umamah yang dikeluarkan Al-Imam Muslim.
Adapun contoh amalan yang mengandung berkah adalah menuntut ilmu dan mengajarkannya. Di antara barakahnya adalah terangkatnya derajat di dunia dan di akhirat. Kemudian shalat secara berjamaah, yang barakahnya adalah dihapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan.
Contoh perilaku (keadaan) di antaranya makan berjamaah, makan dari pinggir nampan, menjilat lidah dan menakar makanan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang shahih.
b. Tabarruk dengan tempat
Memang ada sejumlah tempat yang oleh Allah dijadikan tempat yang mengandung banyak kebaikan (barakah). Yakni apabila beramal di tempat tersebut dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah masjid-masjid, di mana mencari barakahnya dengan melaksanakan shalat lima waktu, beri’tikaf, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya dengan cara-cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perlu diketahui, bertabarruk pada masjid-masjid itu bukan dengan cara mengusap-ngusap tembok atau tanah masjid tersebut, atau yang hal-hal lain yang dilarang syariat.
Contoh lain bahwa Allah melalui lisan Rasul-Nya telah menjelaskan barakah kota Makkah, Madinah, Syam, Masjid Al-Haram, Masjid Quba, dan Masjid Al-Aqsha. Mencari barakah padanya bukan dengan menziarahi semata, mencium, atau mengusap tanahnya, namun dengan cara beribadah di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.
c. Tabarruk dengan waktu
Contoh waktu yang telah dikhususkan oleh syariat di mana waktu tersebut mengandung kebaikan yang banyak (barakah) adalah bulan Ramadhan. Caranya, mengisi bulan mulia tersebut dengan berpuasa yang akan terhapuskan dosa-dosa dan bertambahnya rizki orang-orang yang beriman. Contoh lain adalah malam Lailatul Qadar, sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Mencari barakah pada waktu-waktu tersebut adalah dengan cara melaksanakan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apa-apa yang disebutkan di atas maupun yang belum disebutkan yang sudah jelas nashnya, mencari barakahnya adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan tidak keluar dari pensyariatan tersebut. (At-Tabarruk Al-Masyru’, Al-’Ulyani, hal. 33-50)
Kedua, tabarruk batil yang tidak diperbolehkan. Di antara bentuk-bentuk tabarruk batil ini adalah:
a. Tabarruk pada tempat-tempat yang tidak dijelaskan oleh syariat baik dengan cara mencium, mengusap, atau mencari syafaat darinya.
b. Pergi ke kuburan dengan tujuan ziarah dan berdoa di sisinya, dengan keyakinan bahwa berdoa di sisinya lebih utama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim (hal. 433) mengatakan, “Bila seseorang shalat di sisi kuburan para nabi atau orang-orang shalih dengan tujuan untuk mencari barakah, maka ini merupakan bentuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama, dan mengada-ada di dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah.
c. Disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juga (hal. 424-426) contohnya seperti orang yang pergi ke gua Hira kemudian shalat di dalamnya, berdoa ke gua Tsur lalu shalat dan berdoa di dalamnya, atau ke bukit Thursina lalu shalat dan berdoa padanya. Atau pergi ke gunung-gunung atau selainnya yang disebut sebagai maqamat (tempat bersejarah) para nabi.
Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam fatwa beliau (3/334) membantah orang-orang yang menghidupkan peninggalan-peninggalan nubuwwah seperti jalan yang dilalui oleh beliau ketika berhijrah, atau tempat tenda Ummu Abd (atau Ummu Ma’bad ???) atau yang sejenisnya. Beliau menjelaskan bahwa cara demikian dapat mengarah pada perbuatan mengagungkan, berdoa di sisinya, atau shalat, dan lain sebagainya. Semua ini merupakan jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada kesyirikan.
d. Menetapkan waktu-waktu tertentu dengan berbagai macam bentuk pengagungan dan acara-acara serta berbagai bentuk ibadah lainnya.Seperti menyambut hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hari Isra’ Mi’raj, hari hijrah, hari Badr, hari Fathu Makkah, dan sebagainya. Bertabarruk pada hari-hari di atas termasuk perbuatan bid’ah dalam agama.
e. Bertabarruk dengan orang-orang shalih, peninggalan-peninggalan mereka seperti tongkatnya, air ludahnya, rambutnya, keringatnya, pakaian-pakaiannya, tempat tidurnya dan lain sebagainya.
(Ta’liq Al-Qaul Al-Mufid, 1/246-250)
Tabarruk Orang-Orang Jahiliyyah
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
أَفَرَأَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى
Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik menganggap) Al-Lata dan Al-‘Uzza dan Manat yang ketiga. Yang paling terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah)?” (An-Najm: 19-20)
Tiga sesembahan di atas merupakan tuhan-tuhan yang besar di kalangan mereka. Tuhan-tuhan itulah tempat mereka memuja dan memuji, serta bertabarruk kepada-Nya. Lalu apakah Al-Lata, Al-‘Uzza, dan Manat itu?
Adapun Al-Lata menurut Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/253), adalah sebuah batu besar yang terukir dan berwarna putih di mana di atasnya terdapat sebuah rumah. Memiliki kelambu dan juru kunci di sekelilingnya, serta terdapat halaman. Al-Lata memiliki kedudukan yang agung di sisi Bani Tsaqif, penduduk Thaif, di mana mereka sangat bangga dengannya di negeri Arab setelah Quraisy. Hakekat Al-Lata disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Rabi’ bin Anas bahwa dia adalah seseorang yang mengadon tepung untuk orang-orang yang melaksanakan haji di masa jahiliyyah. Ketika meninggal, orang-orang i’tikaf di kuburannya untuk kemudian menyembahnya.
Adapun Al-’Uzza menurut Ibnu Jarir adalah sebuah pohon yang di atasnya terdapat bangunan yang memiliki kelambu. Benda yang sangat diagungkan orang-orang Quraisy ini terletak di Nakhlah, yakni suatu tempat di antara Makkah dan Thaif.
Adapun Manat adalah sesembahan yang berada di Musyallal, tempat antara Makkah dan Madinah, di mana suku Khuza’ah, Aus, dan Khazraj mengagungkan dan memakaikan pakaian ihram padanya.
Di antara bentuk tabarruk mereka adalah apa yang diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsi. Beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain dan kami baru pindah dari agama kufur (menuju Islam). Orang-orang musyrik memiliki sidrah (sebuah pohon) tempat mereka berhenti dan beristirahat. Dan mereka juga menggantungkan pedang-pedang mereka (untuk bertabarruk dengannya). Pohon itu disebut Dzatu Anwath. (Kata Abu Waqid) kami kemudian melewati sebuah sidrah kemudian mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) memiliki Dzatu Anwath.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Allahu Akbar, sesungguhnya apa yang kalian katakan ini merupakan jalan-jalan (orang sebelum kalian). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seperti ucapan bani Israil kepada Musa: ‘Buatkanlah kami satu sesembahan sebagaimana mereka memiliki banyak sesembahan’. (Musa) berkata: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil.’ (Rasulullah berkata: ‘Kalian benar-benar akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian)’.” (HR. At-Tirmidzi no. 2181, beliau berkata: hadits hasan shahih).
Bentuk tabarruk mereka adalah mengagungkan pohon tersebut, beri’tikaf padanya lalu mengharapkan kebaikan darinya.
Tabarruk kepada Sang Guru, Benarkah?
Bagaimana dengan bertabarruk kepada kanjeng guru? Apakah hal ini dibenarkan? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tabarruk yang diperbolehkan adalah apa yang telah dijelaskan kebolehannya oleh syariat. Adapun tabarruk kepada zat orang shalih atau peninggalan-peninggalannya, tidak ada syariatnya sama sekali. Karena, hal tersebut termasuk bentuk tabarruk yang batil.
Lalu bagaimana dengan perbuatan para shahabat terhadap diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di mana mereka berebutan mengambil ludah beliau, air wudhu beliau, bahkan di antara mereka ada yang mengumpulkan keringat dan rambut beliau?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan di dalam Fathul Majid (1/264), syarah beliau terhadap Kitab Tauhid, menjawab syubhat ini, dengan ucapan: “Adapun yang didengungkan oleh orang-orang sekarang ini bahwa boleh bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan orang shalih, maka hal demikian terlarang dari beberapa sisi:
1. Generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat dan generasi setelahnya tidak pernah melakukannya kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak di masa hidup beliau ataupun setelah meninggalnya.
2. Bila yang demikian itu adalah baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya.
3. Seutama-utama shahabat adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman dan ‘Ali radhiallahu ‘anhum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan telah mempersaksikan mereka menjadi penghuni surga. Namun tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat atau tabi’in yang melakukan amalan tersebut (yaitu bertabarruk) kepada tokoh-tokoh shahabat itu. Begitu juga tidak pernah dilakukan oleh generasi tabi’in kepada ahli ilmu dan ulama di masa mereka.
4. Tidak boleh mengqiyaskan (menyamakan) kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan seorangpun dari umat ini.
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak boleh orang lain masuk ikut menyertai beliau dalam kekhususan itu.
6. Melarang yang demikian ini dimaksudkan sebagai cara untuk menutup pintu-pintu kesyirikan.
Seruan
Wahai saudaraku se-Islam, kembalilah kepada kemurnian agama ini, tinggalkan agama turun-temurun dan agama mengekor. Ketahuilah bahwa seorang kiai bukanlah agama, dan agama bukanlah kiai. Ucapan dan perbuatan mereka berikut keyakinan yang mereka miliki harus dicocokkan dengan agama, sesuai atau tidak? Oleh karena itu, karena mereka bukan agama sebagai sumber kebenaran, namun hanya manusia biasa tempat kekurangan dan kesalahan, maka tidak pantas bagi kaum muslimin untuk bertabarruk dengan air liur mereka, keringat mereka, bekas minum mereka, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
Dikutip dari www.asysyariah.com offline Penulis: Al-UStadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi, Judul: Ngalap Berkah Kyai