DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Sabtu, 20 November 2010

Risalah Hijab untukmu wahai wanita ( HUKUM CADAR dan JILBAB YANG SESUAI DENGAN SYARIAT )

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيمِ
 
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ به من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له
ونشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان وسلم
تسليماً كثيراً.

Amma ba’du,

Sungguh Alloh subhanahu mengutus Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa salam dengan membawa petunjuk dan agama yang haq untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan idzin Robb mereka kepada jalan Al Aziz Al Hamid, Alloh Ta’ala mengutus beliau untuk mewujudkan ibadah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, dan demikianlah dengan sebab kesempurnaan ketundukan untuk Alloh Tabaroka wa Ta’ala dengan mengerjakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya dan mendahulukan hal yang demikian itu atas hawa nafsu dan syahwat.

Dan Alloh Ta’ala mengutus beliau dalam keadaan sempurna akhlaqnya, beliau adalah da’i yang mengajak kepada akhlaq yang mulia dengan setiap wasilah. Maka datanglah syari’at yang sempurna dari semua sisi tidaklah butuh kepada makhuk untuk menyempurnakannya, maka sesungguhnya syari’at datang dari sisi Dzat Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui semua perkara yang menghantarkan hambanya kepada kebaikan, Dialah Dzat Yang Maha Pengasih.

Dan sesungguhnya termasuk akhlaq yang mulia yang dibawa oleh Rosululloh shollalohu ‘alaihi wa salam adalah sifat malu dimana Nabi shollallohu ‘alaihi wa salam menjadikannya termasuk keimanan, salah satu cabang dari cabang keimanan, tidak ada seorangpun mengingkari bahwa malu termasuk perkara yang diperintah baik tinjauan secara syar’i dan kebiasaan (urf).

Sifat malu yang menghiasi wanita sebagai akhlaq yang menjauhkan mereka dari fitnah. Dan tentunya hijab bagi mereka, tidaklah diragukan lagi termasuk hijab bagi mereka adalah tertutupnya wajah dimana wajah sebagai salah satu sumber utama terjadinya fitnah. Wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana mungkin agama yang bijaksana ini memerintahkan wanita menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah.. ?


Berikut ini akan disebutkan tentang dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah ini.
Alloh subhanahu wa ta’ala berkata :

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.” (QS. An Nur: 31)

Alloh ta’ala memerintahkan wanita mukmin untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu juga mencakup perintah melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan. Karena menutup wajah termasuk sarana untuk memelihara kemaluan, maka juga diperintahkan, karena sarana memiliki hukum tujuan. (Risalatul Hijab, hal 7).

Kedua, perkataan Alloh subhanahu wa ta’ala:

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nur: 31)

Ibnu Mas’ud rodhiyallohu 'anhu berkata tentang perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita: “(yaitu) pakaian” (Riwayat Ibnu Jarir, dishohihkan oleh Syaikh Mushthofa Al Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’ IV/486).

Dengan demikian yang boleh nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena memang tidak mungkin disembunyikan.

Ketiga, perkataan Alloh subhanahu wa ta’ala :

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31).

Berdasarkan ayat ini wanita wajib menutupi dada dan lehernya, maka menutup wajah lebih wajib !

Keempat, perkataan Alloh subhanahu wa ta’ala:

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31).

Alloh Ta'ala melarang wanita menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya. Hal ini karena dikhawatirkan laki-laki akan tergoda gara-gara mendengar suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan karena memandang wajah wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar dari pada sekedar mendengar suara gelang kaki wanita. Sehingga wajah wanita lebih pantas untuk ditutup untuk menghindarkan kemaksiatan. (Risalatul Hijab, hal 9).

Kelima, perkataan Alloh subhanahu wa ta’ala:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 60).

Wanita-wanita tua dan tidak ingin menikah diperbolehkan menanggalkan pakaian mereka. Ini bukan berarti mereka kemudian telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan pakaian di sini adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, pakaian yang dipakai di atas baju (seperti mukena), yang baju wanita umumnya tidak menutupi wajah dan telapak tangan. Ini berarti wanita-wanita muda dan berkeinginan menikah harus menutupi wajah mereka. (Risalatul Hijab, hal 10).

Abdulloh bin Mas’ud dan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata tentang perkataan Alloh Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka.” (QS An Nur:60): “(Yaitu) jilbab”. (Kedua riwayat ini dishohihkan oleh Syaikh Mushthofa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/523).

Dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: “Kami menemui Hafshoh binti Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab seperti ini, yaitu dia menutupi wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: “Semoga Alloh merahmati Anda, Alloh Ta'ala berkata:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ada keinginan menikah (lagi), Tidaklah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS. An-Nur: 60).

Yang dimaksud adalah jilbab. Dia berkata kepada kami: Apa perkataan Alloh setelah itu? Kami menjawab:

وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan jika mereka berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 60)
Dia mengatakan, “Ini menetapkan jilbab.” (Al Baihaqi. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/524).

Keenam, perkataan Alloh subhanahu wa ta’ala:

غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

“Dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS. An-Nur: 60).

Ini berarti wanita muda wajib menutup wajahnya, karena kebanyakan wanita muda yang membuka wajahnya, berkeinginan menampakkan perhiasan dan kecantikan, agar dilihat dan dipuji oleh laki-laki. Wanita yang tidak berkeinginan seperti itu jarang, sedang perkara yang jarang tidak dapat dijadikan sandaran hukum. (Risalatul Hijab, hal 11).

Ketujuh, perkataan Alloh subhanahu wa ta’ala:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Alloh memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab dari kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.” (Syaikh Mushthofa Al-Adawi menyatakan bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Tholhah yang tidak mendengar dari ibnu Abbas. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/513).

Qotadah berkata tentang perkataan Alloh ini (QS. Al Ahzab: 59), “Alloh memerintahkan para wanita, jika mereka keluar (rumah) agar menutupi alis mereka, sehingga mereka mudah dikenali dan tidak diganggu.” (Riwayat Ibnu Jarir, dihasankan oleh Syaikh Mushthofa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/514).

Diriwayatkan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Wanita itu mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, tetapi tidak menutupinya.” (Abu Dawud, Syaikh Mushthofa Al-Adawi menyatakan: Hasan Shohih, Jami’ Ahkamin Nisa IV/514).

Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya mempraktekkan cara mengulurkan jilbab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya dari atas (kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis. (Riwayat Ibnu Jarir, dishohihkan oleh Syaikh Mushthofa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/513).

As-Suyuthi berkata, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Hirosah Al-Fadhilah, hal 51, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid).

Perintah mengulurkan jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil :
  1. Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.
  2. Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah adalah wajah mereka, lalu Alloh perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi shollalohu ‘alaihi wa sallam serta istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata idna’ (pada ayat tersebut يُدْنِينَ) yang ditambahkan huruf (عَلَي) mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.
  3. Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanita-wanita sahabat.
  4. Dalam perkataan Alloh Ta'ala : “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”, merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin.
  5. Dalam perkataan Alloh Ta'ala : “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi wajahnya, maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran gangguan dari laki-laki nakal ataujahat. Maka dengan menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia tidak akan diganggu.
(Hirosah Al-Fadhilah, hal 52-56).

Kedelapan, perkataan Alloh subhanahu wa ta’ala:

لاَّ جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ وَلآ أَبْنَآئِهِنَّ وَلآ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَآئِهِنَّ وَلاَ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدًا

Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Alloh Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 55).

Ibnu Katsir rohimahullohu berkata, “Ketika Alloh memerintahkan wanita-wanita berhijab dari laki-laki asing (bukan mahrom), Dia menjelaskan bahwa (para wanita) tidak wajib berhijab dari karib kerabat ini.” Kewajiban wanita berhijab dari laki-laki asing adalah termasuk menutupi wajahnya.

Kesembilan, perkataan Alloh Ta’ala :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53).

Ayat ini jelas menunjukkan wanita wajib menutupi diri dari laki-laki, termasuk menutup wajah, yang hikmahnya adalah lebih menjaga kesucian hati wanita dan hati laki-laki. Sedangkan menjaga kesucian hati merupakan kebutuhan setiap manusia, yaitu tidak khusus bagi istri-istri Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat saja, maka ayat ini umum, berlaku bagi para istri Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan semua wanita mukmin. Setelah turunnya ayat ini maka Nabi shollallohu ‘alihi wa sallam menutupi istri-istri beliau, demikian para sahabat menutupi istri-istri mereka, dengan menutupi wajah, badan, dan perhiasan. (Hirosah Al-Fadhilah, hal: 46-49).

Kesepuluh, Perkataan Alloh ‘azza wa jalla :

يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا {32} وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Alloh dan RosulNya.Sesungguhnya Alloh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33).

Ayat ini ditujukan kepada para istri Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tetapi hukumnya mencakup wanita mukmin, karena sebab hikmah ini, yaitu untuk menghilangkan dosa dan membersihkan jiwa sebersih-bersihnya, juga mengenai wanita mukmin. Dari kedua ayat ini didapatkan kewajiban hijab (termasuk menutup wajah) bagi wanita dari beberapa sisi:
  1. Perkataan Alloh Ta’ala : “Janganlah kamu tunduk dalam berbicara” adalah larangan Alloh Ta’ala terhadap wanita untuk berbicara secara lembut dan merdu kepada laki-laki. Karena hal itu akan membangkitkan syahwat zina laki-laki yang diajak bicara. Tetapi seorang wanita haruslah berbicara sesuai kebutuhan dengan tanpa memerdukan suaranya. Larangan ini merupakan sebab-sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan hijab.
  2. Perkataan Alloh Ta’ala : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” merupakan perintah bagi wanita untuk selalu berada di dalam rumah, menetap dan merasa tenang di dalamnya. Maka hal ini sebagai perintah untuk menutupi badan wanita di dalam rumah dari laki-laki asing.
  3. Perkataan Alloh Ta’ala : “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” adalah larangan terhadap wanita dari banyak keluar dengan berhias, memakai minyak wangi dan menampakkan perhiasan dan keindahan, termasuk menampakkan wajah.
(Hirosah Al-Fadhilah, hal 39-44).

Kesebelas, Ummu ‘Athiyah rodhiyallohu ‘anha berkata:

أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat sholat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rosululloh, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” (Bukhori dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rosululloh tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Risalatul Hijab, hal 15).

Keduabelas, ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha berkata :

كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ

Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri sholat subuh bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan sholat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (Bukhori dan Muslim).

Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. (Risalatul Hijab, hal 16-17).

Ketiga belas, Perkataan ‘Aisyah rodhiyallohu 'anha : Seandainya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.” Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu.

Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. (Risalatul Hijab, hal 17).

Keempat belas, Perkataan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ

“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Alloh tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengkal” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (Tirmidzi, dan lainnya).

Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan wanita. (Risalatul Hijab, hal 17-18).

Kelima belas, perkataan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ

Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu) salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (Tirmidzi dan lainnya).

Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahrom). (Risalatul Hijab, hal 18).

Keenam belas, ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha berkata:

كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ

“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihrom bersama-sama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.” (Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).

Wanita yang ihrom dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shohihain. Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihrom wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihrom). (Risalatul Hijab, hal 18-19).

Ketujuh belas, Asma’ binti Abi Bakar rodhiyallohu ‘anha berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihrom.” (Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: Shohih berdasarkan syarat Bukhori dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Hirosah Al-Fadhilah, hal 68-69).

Kedelapan belas, ‘Aisyah rodhiyalohu ‘anha berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا

“Mudah-mudahan Alloh merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya).

Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” (Hirosah Al-Fadhilah, hal 69).

Kesembilan belas, Dari Urwah bin Zubair rodhiyallohu ‘anhu :

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ

Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku agar memberi izin kepadanya.” (Bukhori dan lainnya).

Ibnu Hajar rohimahullohu berkata : “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”(Fathul Bari 9/152).
Kedua puluh, Perkataan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam :

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (Tirmidzi dan lainnya).

Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Hirosah Al-Fadhilah, hal 74-75).

Kedua puluh satu, Perkataan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam :

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hatilah kalian masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda ipar (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “ipar adalah maut. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” (Bukhori, Muslim, dan lainnya).

Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahrom tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. (Hirosatul Fadhilah, hal 75).

Kedua puluh dua, Perkataan ‘Aisyah rodhiyalohu ‘anha dalam peristiwa Haditsul Ifki :

وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي

Dia (Showfan bin Al-Mu’athol) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku.” (Muslim).

Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah hijab. (Hirosatul Fadhilah, hal 72).

Kedua puluh tiga, Aisyah rodhiyallohu ‘anha berkata:

خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ حَاجَتَهَا وَكَانَتِ امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ يَا سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ تَخْرُجِينَ

“Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah) untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian berkata: “Hai Saudah, demi Alloh engkau tidaklah tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” (Muslim).

Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Jami’ Ahkamin Nisa IV/486, karya Syaikh Mushthofa Al-Adawi).

Kedua puluh empat, terjadinya ijma’ tentang kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan lewat di hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Hirosah Al-Fadhilah, hal 38).

Kedua puluh lima, banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan; hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Risalatul Hijab, hal 20-24).



JILBAB YANG SESUAI DENGAN SYARIAT


  • Menutupi seluruh badan

  • Tidak diberi hiasan-hiasan hingga mengundang pria untuk melihatnya, Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berkata :

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ


“Katakanlah (ya Muhammad) kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan mereka, dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak darinya. Hendaklah mereka meletakkan dan menjulurkan kerudung di atas kerah baju mereka (dada-dada mereka) (An-Nuur: 31)

  • Tebal tidak tipis Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :

“Akan ada nanti di kalangan akhir umatku para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang…

Kemudian beliau Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :

“…laknatlah mereka karena sesungguhnya mereka itu terlaknat”. (Ath Thobronidalam Al Mu`jamush Shoghir dengan sanad yang shohih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Albani dalam kitab beliau Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 125).

Berkata Ibnu Abdil Baar rohimahullohu: “Yang dimaksud Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam dalam perkataannya (di atas) adalah para wanita yang mengenakan pakaian dari bahan yang tipis yang menerawangkan bentuk badan dan tidak menutupinya maka wanita seperti ini istilahnya saja mereka berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang”.

  • Lebar tidak sempit
Usamah bin Zaid rodhiyallohu 'anhuma berkata :

"Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam memakaikan aku pakaian Qibthiyah yang tebal yang dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau maka aku memakaikan pakaian itu kepada istriku. Suatu ketika beliau Shollallohu 'alaihi wa sallam bertanya: “Mengapa engkau tidak memakai pakaian Qibthiyah itu?” Aku menjawab: “Aku berikan kepada istriku”. Beliau berkata : “Perintahkan istrimu agar ia memakai kain penutup setelah memakai pakaian tersebut karena aku khawatir pakaian itu akan menggambarkan bentuk tubuhnya”. (Diriwayatkan oleh Adl Dliya Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan, kata Syaikh Al-Albani rohimahullohu dalam Jilbab, hal. 131).

  • Tidak diberi wangi-wangian
Karena Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :

“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati sekelompok orang agar mereka mencium wanginya maka wanita itu pezina.” (An Nasai, Abu Daud dan lainnya, dengan isnad hasan kata Syaikh Al-Albani dalam Jilbab, hal. 137)

  • Tidak menyerupai pakaian laki-laki

Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu mengatakan : “Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki”. (Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya. Dishohihkan Syaikh Al-Albani dalamJilbab, hal. 141)

  • Tidak menyerupai pakaian wanita kafir, Karena Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam dalam banyak perkataannya memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka baik dalam hal ibadah, hari raya/perayaan ataupun pakaian khas mereka.

  • Bukan merupakan pakaian untuk ketenaran, yakni pakaian yang dikenakan dengan tujuan agar terkenal di kalangan manusia, sama saja apakah pakaian itu mahal atau mewah dengan maksud untuk menyombongkan diri di dunia atau pakaian yang jelek yang dikenakan dengan maksud untuk menampakkan kezuhudan dan riya.

Berkata Ibnul Atsir rohimahulloh : "Pakaian yang dikenakan itu masyhur di kalangan manusia karena warnanya berbeda dengan warna-warna pakaian mereka hingga manusia mengangkat pandangan ke arahnya jadilah orang tadi merasa bangga diri dan sombong."o

Rasululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :

“Siapa yang memakai pakaian untuk ketenaran di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya”. (Abu Daud, Ibnu Majah dengan isnad hasan kata Syaikh Albani dalam Jilbab, hal. 213)

(Dinukil dari kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani roahimahullohu).

Wallohu 'alam bish showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar