DO'AKU SELALU UNTUKMU UMMI.....

Senin, 06 Desember 2010


Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan


Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.



  • Ummu ‘Athiyah berkata:
أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

  • Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).


  • Perkataan ‘Aisyah: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.” Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).


  • sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

  • sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
“Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen) salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

  • ‘Aisyah berkata:
كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)
Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
  • Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

  • ‘Aisyah berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

  • Dari Urwah bin Zubair:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku agar memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”

  • sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).


  • sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).



Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:
وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي
“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku.” (HR. Muslim)
Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 72, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

6 komentar:

  1. Cadar itu hanya diwajibkan kepada para istri Rasul saja dan bukan untuk muslimah pada umumnya. wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat. pendapat tersebut telah dikemukakan oleh sebagian besar imam mujtahid dari berbagai macam mazhab. Akan tetapi sesudah hal tersebut disepakati bersama, selang beberapa waktu kemudian imam mujtahid dari berbagai mazhab yang berbeda telah mewajibkan cadar bagi para muslimah. Bukankah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata di dalam Majmu’ Al Fatawa yang menyatakan;
    والإنسان متى حلل الحرام المجمع عليه أو حرم الحلال المجمع عليه أو بدل الشرع المجمع اليه كان كافرا مرتدا باتفاق الفقهاء
    “Dan orang dikala menghalalkan keharaman yang sudah diijmakan atau mengharamkan kehalalan yang sudah diijmakan atau mengganti aturan yang sudah diijmakan, maka ia kafir lagi murtad dengan kesepakatan ulama.”

    BalasHapus
  2. membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya/fitnah, maka terlarang. (Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim) Perlu kita ketahui bahwasannya menjadikan kekhawatiran akan munculnya bahaya/fitnah sebagai ‘illat pengharaman menampakkan wajah dan mewajibkan menutupinya, tidak terdapat nash syar’i yang menyatakannya, baik secara jelas (sharâhatan), melalui penunjukan (dilâlatan), lewat proses penggalian (istinbâthan), maupun melalui analogi (qiyâsan). Karenanya ’illat tersebut bukan merupakan ‘illat syar‘iyyah, akan tetapi merupakan ’illat aqliyah (’illat yang bersumber dari akal). Padahal, ‘illat ‘aqliyyah tidak ada nilainya di dalam hukum syara’. ’Illat yang diakui di dalam hukum syara’ hanyalah ‘illat syar‘iyyah, bukan yang lainnya. Maka pengharaman menampakkan wajah dan mewajibkan untuk menutupinya, merupakan pengharaman atas apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT, dan mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Rabb semesta alam.

    BalasHapus
  3. “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.”(bukan Dalam QS Al Ahzab: 31 tapi QS an-Nûr : 31. Anda salah nulis!!! )
    Menurut saya ayat tersebut sudah menyatakannya secara jelas dan “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” itu perkataan yg sangat berlebihan dan bukanlah sbg ayat/dalil yang mewajibkan cadar. Karena Kata khumûr adalah bentuk jamak dari kata khimâr, yaitu kain untuk menutupi kepala. Sedangkan kata juyûb adalah jamak dari jayb yaitu tempat potongan (bukaan) jubah atau gamis. Maka Allah SWT memerintahkan agar kerudung dijulurkan ke atas leher dan dada. Hal itu menunjukkan wajibnya menutup leher dan dada. Allah SWT tidak memerintahkan untuk memakainya menutupi wajah. Maka hal itu menunjukkan bahwa wajah bukan merupakan aurat. Hal ini mengisyaratkan bahwa wajah bukanlah aurat. Makna kata jayb bukanlah dada sebagaimana yang disalah pahami. Tetapi jayb dari gamis adalah tawq (kerah)-nya yaitu bukaannya yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Menutupkan kain kerudung ke jayb adalah mengulurkan kain kerudung itu di atas kerah pakaian yang ada di leher dan dada. Jadi, perintah agar penutup kepala diulurkan ke atas leher dan dada itu merupakan pengecualian atas wajah. Sehingga hal itu menunjukkan bahwa wajah bukanlah aurat. Walhasil, tidak ada keharusan mengenakan cadar. Allah SWT juga tidak mensyariatkan cadar.

    BalasHapus
  4. Apalagi dalil yg umum digunakan dalam mewajibkan cadar yaitu Surat Al Ahzab ayat 59 yang isinya;

    يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

    ”Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.”
    Ayat tersebut dilihat dari sisi manapun sama sekali tidak menunjukkan kepada (kewajiban) menutup wajah, baik secara tekstual (manthûq) maupun secara kontekstual (mafhûm). Di dalamnya tidak terdapat satu lafazh pun, baik secara lepas maupun integral di dalam kalimat, yang menunjukkan kewajiban menutup wajah, berdasarkan asumsi sahihnya sabab an-nuzûl. Ayat tersebut mengatakan “yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna”, maknanya adalah hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Kata min dalam ayat ini bukan untuk menunjukkan sebagian (li at-tab‘îdh), melainkan untuk menunjukkan penjelasan (li al-bayân), yakni “yurkhîna ‘alayhinna jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka)”. Arti kata adnâ as-satr adalah arkhâhu (mengulurkannya hingga ke bawah bukan keatas sehingga menutupi wajah). Adnâ ats-tsawb (menurunkan pakaian) maknanya adalah arkhâhu (mengulurkan pakaian itu sampai ke bawah). Dan makna yudnîna adalah yurkhîna (mengulurkan sampai ke bawah). Dengan demikian ayat ini menunjukkan kepada jilbab yaitu sejenis baju kurung yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan niqob/cadar atau penutup wajah.

    BalasHapus
  5. sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
    إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
    “Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
    Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah.
    Pendapat Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid itu persis pada QS al-Ahzâb [33]: 53 !!! “Jika kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), hendaklah kalian memintanya dari belakang tabir (hijab).”
    Ayat tersebut dinyatakan tentang isteri-isteri Nabi dan khusus bagi mereka; tidak ada hubungannya dengan kaum Muslimah atau wanita mana pun selain isteri-isteri Nabi SAW. Yang memperkuat bahwa ayat tersebut khusus ditujukan bagi isteri-isteri Rasul SAW adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia menuturkan:
    “Aku sedang makan bersama Nabi SAW dalam sebuah mangkuk ceper dan besar. Lalu ‘Umar lewat. Maka Nabi pun memanggilnya lalu ia pun ikut makan. Jari-jemarinya menyentuh jari-jemariku. Maka ‘Umar lantas berkata, “Ah, andai saja ditaati, niscaya tidak satu mata pun yang akan memandang kalian (isteri-isteri Nabi).” Setelah itu, turunlah ayat mengenai hijab.” (HR al-Bukhârî)
    Diriwayatkan dari ‘Umar RA, ia berkata: “Aku berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang yang baik dan yang jahat masuk menemuimu. Andai saja para ibu kaum Mukmin (isteri-isteri Nabi SAW) itu mengenakan hijab?” Setelah itu, Allah SWT menurunkan ayat tentang hijab.” (HR al-Bukhârî)
    Juga diriwayatkan bahwa ‘Umar RA pernah berjalan melewati isteri-isteri Nabi SAW dan mereka sedang bersama dengan kaum Muslimah lain di Masjid. ‘Umar lantas berkata: “Andai saja kalian isteri-isteri Nabi SAW mengenakan hijab niscaya kalian lebih utama atas kaum wanita lainnya, sebagaimana suami kalian lebih utama dari semua pria)”. Zaynab RA kemudian menimpali: “Wahai Ibn al-Khaththâb, sesungguhnya engkau telah tertipu atas (urusan) kami, sedangkan wahyu turun di rumah-rumah kami.” Tidak lama kemudian, turunlah ayat tentang hijab. (HR Thabrâni)
    Teks ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan secara pasti bahwa ayat hijab ditujukan kepada isteri-isteri Nabi SAW dan tidak diperuntukkan bagi kaum Muslimah lainnya

    BalasHapus
  6. Jangan Lupa Tinggalkan Comentar baik Kritik, Saran atau Lainnya Yang bersifat Nasehat. (mengutip dari tulisan diatas !!!)
    Jika memang benar kata-kata anda ini bukan sekedar nonsens tapi suatu ketulusan. Maka saya mohon dengan kerendahan hati komentar-komentar saya janganlah dihapus, karena berisikan ttg nasihat yg bersifat membangun !!!
    Saya yakin anda lebih menguasai ilmu agama daripada saya. tetapi orang yang lebih pintar belum tentu selamanya benar. Dan sayapun tidak mau mengaku-ngaku bahwa saya Bermanhaj Salaf. Cukuplah Allah SWT yang menilainya. Karena orang yang mengaku-ngaku Bermanhaj Salaf, belum tentu 100% berittiba pada ajaran salafus shalih yang sesungguhnya. Mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang menyinggung baik disengaja ataupun tidak disengaja. Jazakallah

    BalasHapus